RPS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA 1-15

RPS 1

A.  Pengertian Teori Belajar Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya, mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dipunyai sebelumnya. Sehingga dengan belajar manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan paling pokok. Hal ini berarti bahwa keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan bergantung pada proses belajar yang dilakukan siswa sebagai anak didik.
Slameto (2003:13) menyatakan “belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Untuk mendapatkan sesuatu seseorang harus melakukan usaha agar apa yang di inginkan dapat tercapai. Usaha tersebut dapat berupa kerja mandiri maupun kelompok dalam suatu interaksi. Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam suatu situasi.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi.Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995).Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pembelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran.Dengan demikian, pemilihan strategi pembelajaran yang tepat dalam kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.
Gilstrap dan Martin (1975) menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi.Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa.Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.

B.  Pengertian Jenis – jenis Teori Belajar
1.      Teori Behaviorisme
Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus - respons. Menurut Skinner, perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan. Implikasi teori ini ialah bahwa guru harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak, dan sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai hadiah.
2.      Teori Nativisme
Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusiadan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis. Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD.
Mc. Neil (Brown, 1980:22) mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a.     Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain
b.    Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
c.    Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin.
d.   Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Chomsky dalam Hadley (1993: 49) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah dari sistem mereka.
3.      Teori Mentalisme
Ada dua pandangan utama mengenai sikap yaitu pandangan mentalism dan behaviorist. Menurut pandangan mentalistik, sikap adalah keadaan internal yang dibangkitkan oleh suatu stimulasi yang dapat menjadi perantara respon selanjutnya (Williams, 1974: 21). Sedangkan menurut pandangan behaviorist, sikap adalah respon yang dibuat oleh orang terhadap berbagai situasi sosial (Fasold, 1984: 147). Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236). Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan proses pemerolehan pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan binatang, yaitu tikus dan burung dara yang digunakan sebagai subyek dalam eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia merupakan fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada pula alasan lain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasan tersebut berhubungan dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada struktur (Dardjowidjojo, 2003:236).
Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
Noam Chomsky berpendapat bahwa seorang anak telah dilahirkan dengan kecakapan semula untuk menguasai bahasa apabila sampai peringkat kematangannya yang tertentu. Pada tiap-tiap peringkat kematangan anak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis terhadap peraturan-peraturan ahli masyarakatnya. Segala pembetulan kesalahan yang dibuat oleh ahli masyarakatnya akan memperkukuhkan lagi rumus-rumus bahasa yang tersimpan di dalam otaknya. Menurut Chomsky, anak lahir dengan kemampuan mental untuk bekerja di luar sistem yang mendasari ke campur aduk suara yang didengarnya. Ia membangun tata bahasa sendiri dan menerapkan pada semua suara mencapai otaknya. Tata bahasa mental ini merupakan bagian dari kerangka kognitif, dan apa pun yang didengar disimpan di otaknya sampai dia cocok terhadap apa yang dia sudah tahu dan menemukan sebuah 'benar' tempat untuk itu dalam kerangka ini. Chomsky berpendapat bahasa yang kompleks sehingga hampir luar biasa yang dapat diperoleh oleh seorang anak dalam waktu sesingkat itu. Dia mengatakan bahwa seorang anak akan lahir dengan beberapa kapasitas mental bawaan yang membantu anak untuk memproses semua bahasa yang didengarnya. Hal ini disebut Bahasa Device Akuisisi, dan dia gergaji sebagai daerah khusus yang terdiri dari otak yang hanya berfungsi adalah pengolahan bahasa. Fungsi ini, ia berpendapat, cukup terpisah dari kapasitas mental anak lain yang memiliki. Ketika Chomsky berbicara tentang 'aturan, ia berarti aturan dalam pikiran bawah sadar anak aturan ini memungkinkan untuk membuat kalimat gramatikal dalam bahasa mereka sendiri. Chomsky tidak berarti bahwa seorang anak dapat menjelaskan aturan ini secara eksplisit. Sebagai contoh, seorang anak berusia empat atau lima tahun dapat menghasilkan kalimat seperti saya telah melakukan pekerjaan saya, dia bisa melakukan itu karena ia memiliki sebuah 'tata bahasa mental' yang memungkinkan dia untuk membentuk struktur yang benar sempurna saat ini dan juga untuk menggunakan struktur tersebut dalam benar dan tepat situasi. Tapi dia tidak mampu untuk menentukan pembentukan tegang sempurna sekarang.
Teori Mentalis ini pula sangat bertentangan dengan teori mekanis. Teori Mekanis yang banyak menggunakan percobaan ke hewan dan menerapkan bahwa pembelajaran dan pengukuhan bahasa bisa berkembang jika adanya rangsangan dan gerak balas, hal ini bertentangan dengan golongan mentalis yang mengatakan bahwa manusia sebagai “makhluk yang berfikir” dan berbeda dengan hewan. Pembelajaran dan pengukuhan bahasa didapati secara sadar atau dengan kata lain berhubungan dengan daya fikir seseorang. Menurut Noam Chomsky (1959) proses pembelajaran bahasa pada tingkat permulaan diperoleh tidak semata-mata bergantung kepada rangsangan dan gerak balas saja. Proses Kognitif sudah pasti turut serta. Tanpa peranan kognitif, perkembangan bahasa terbatas pada yang dapat dialami saja, padahal semua komponen bahasa berkembang secara kreatif atau melampaui batasan pengalaman naluri yaitu rangsangan dan gerak balas. Perkembangan bahasa secara kreatif adalah hasil turut sertanya peranan operasi mental atau kognitif. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa adalah tindakan kreatif yang hanya ada pada manusia. Kreativitas manusia menggunakan bahasa hanya dapat difahami dengan menerima hakikat bahwa bahasa adalah satu sistem yang teratur sebagai sebagian daripada proses kognitif manusia. Dalam hal inilah, sebuah teori yang digerakkan dengan rangsangan dan gerak balas mampu menimbulkan kreativitas dan kecakapan orang menggunakan bahasa. Sebagai penganut mentalisme, Noam Chomsky dalam kajian kebahasaan berpendirian bahwa hasil kajiannya tidak untuk dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa karena memang dia tidak mempunyai alasan untuk itu (Chomsky, 1980). Penganut mentalisme kebahasaan, mengkaji bagaimana makna-makna bahasa diserap oleh anak-anak melalui analisis hubungan logis antar unsur yang hanya melibatkan konteks semotaktik (konteks keterkaitan secara logis antar unsur di dalam kalimat). Karena itu manfaat hasil kajiannya diuntukkan pada pengayaan khazanah kebahasaan dalam bidang psikolinguistik. Karena psikolinguistik mempunyai kaitan dengan ilmu otak (neurologi), pertanyaan muncul: "Apakah kajiannya dapat dimanfaatkan untuk terapi bagi orang-orang yang bermasalah dalam pengucapan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan gumpalan otak yang mengontrol bahasa (language lump)?" Jawabannya adalah "tidak" karena yang memperbaiki "kerusakan bahasa" bukanlah kajian Chomsky, tetapi kajian dan penelitian tentang otak itu sendiri. Kalau demikian, hasil kajian psikolinguistik hanya untuk kajian itu "perseorangan". Manfaat hasil kajian suatu bidang ilmu merupakan hak "prerogatif" pengkajinya sendiri. Dengan kata lain, hasil kajian bahasa yang demikian merupakan inventarisasi kekayaan ilmu dan pengetahuan. Karena itu, salah satu klasifikasi hasil kajian bahasa adalah inventarisasi kekayaan ilmu pengetahuan. Bahasa dalam hal ini berfungsi sebagai ilmu.
4.      Teori Kognitivisme
Menurut teori ini perkembangan bahasa harus berlandaskan pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Dapat dikemukakan bahwa pendekatan kognitif menjelaskan bahwa:
a.    Dalam belajar bahasa, bagaimana kita berpikir
b.    Belajar terjadi dan kegiatan mental internal dalam diri kita
c.    Belajar bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks.
Laughlin dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
5.      Teori Humanisme
Teori ini muncul diawali oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum”. Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa. 
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat.
Teori Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli psikologi humanisme seperti Abraham maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan berpusat pada siswa (learner centered-pedagogy). Prakteknya dalam dunia pendidikan yaitu dengan menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa.
Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan. 
Sementara menuut Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992-76) pengajaran bahasa menurut teori humanism sebagai berikut.
1.    Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication) berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan sebelumnya.
2.    Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3.    Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana siswa memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.
4.    Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5.    Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas dibanding silabus materi yang digunakan.
6.    Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7.    Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika diperlukan untuk memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari. 
Carl Rogers (1902-1987) dianggap sebagai penemu dan panutan dalam perkembangan pendekatan humanistik dalam pendidikan. Roger (1980) menekankan pada kebutuhan secara alamiah dari setiap orang untuk belajar. Peran guru adalah sebagai fasilitator pengajaran. 
6.      Teori Fungsionalisme
Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial. Kognisi dan perkembangan bahasa Piaget menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama
7.      Teori Konstruktivisme
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Dalam rangka kerjanya, ahli konstruktif menantang guru- guru untuk menciptakan lingkungan yang inovatif dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan dan mengoreksi pembelajaran. Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:
1)   Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan sehingga menarik dan memotivasi pelajar
2)   Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep, nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah
Teori ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’. Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society. (McNeil,1977) Sementara menurut Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992- 76) pengajaran bahasa menurut teori humanisme, sebagai berikut.
1.    Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication) berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan sebelumnya.
2.    Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3.    Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana siswa memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.
4.    Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5.    Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas dibanding silabus materi yang digunakan.
6.    Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7.    Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika diperlukan untuk memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari.
C.  Hubungan Teori Belajar dengan pendekatan  pembelajaran Bahasa Indonesia
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi di­definisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan sese­orang ketika meng­inte­grasikan unsur-unsur pe­ngetahuan yang ter­pisah-pisah ke dalam suatu unit konsep­tual. Proses ingatan merupakan pe­ngelolaan infor­masi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyim­panan informasi (stro­rage), dan kemu­dian mengungkapkan kembali informasi-infor­masi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Infor­mation Processing Model” yang men­des­kripsikan: proses penyandian informasi, proses pe­nyimpanan infor­masi, dan proses peng­ung­kapan kembali suatu infor­masi atau pe­nge­tahuan dari kon­sepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini se­makin men­dominasi sebagian besar riset atau pembahasan mengenai psiko­logi pendidikan atau pem­belajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transfor­ma­si-transformasi informasi dimulai dari input(masuk­an) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) be­rupa respon (Slavin, 1994).
Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan se­lanjut­nya suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pe­ngelolaan informasi yang berasal dari stimu­lus eksternal, Bruner menyampaikan tahap ter­sebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan me­nurut Witting (1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau pe­ne­ri­maan informasi), (2) Storage (tahap pe­nyim­pangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap me­nyampaikan kembali infor­masi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami se­suatu apabila pelajaran ter­sebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pe­ngertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pem­belajar harus diperhatikan.





RPS 2

A.    Pengertian Pendekatan
Pendekatan menurut Edwar M.Anthoni, 1963 adalah seperangkat asumsi korelatif yang menangani hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan pembelajaran bahasa. Pendekatan bersifat aksiomatik. Metode merupakan rencana keseluruhan penyajian bahasa secara rapi, tertib, yang tidak ada bagian-bagiannya yang berkontradiksi dan kesemuanya itu didasarkan pada pendekatan terpilih. Metode bersifat prosedural. Di dalam satu pendekatan mungkin terdapat banyak metode. Teknik merupakan suatu muslihat, tipu daya dalam menyajikan bahan. Teknik harus sejalan dengan metode dan serasi dengan pendekatan. Teknik bersifat implementasi.
Richards & Rodgers,1986 menyempurnakan pendapat Anthoni. Mereka menambahkan peran guru, siswa bahan, tujuan silabus dan tipe kegiatan dan pengajaran pada segi metode, sehingga muncul istilah desain atau rancang-bangun.istilah teknik diganti dengan istilah prosedur.
Pendekatan menurut Kosadi, dkk (1979) adalah seperangakat asumsi mengenai hakikat bahasa, pengajaran dan proses belajar-mengajar bahasa. Menurut Tarigan (1989) Pendekatan adalah seperangkat korelatif yang menangani teori bahasa dan teori pemerolehan bahasa. Sedangkan menurut Djunaidi (1989) Pendekatan merupakan serangkaian asumsi yang bersifat hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan belajar bahasa.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
B.     Jenis-Jenis Pendekatan
Berikut murupakan macam- macam pendekatan pengajaran bahasa, di antaranya adalah:
1.    Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran, bahwa dalam setiap kegiatan belajar mengajar yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu adalah tujuan yang hendak dicapai. Dengan memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan itu dapat ditentukan metode mana yang akan digunakan dan teknik pengajaran yang bagaimana yang diterapkan agar tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai. Jadi, proses belajar mengajar ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan itu sendiri. Misalnya untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”. Dengan berdasar pada pendekatan tujuan, maka yang penting ialah tercapainya tujuan yakni siswa memiliki kemampuan mengarang.
Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan “cara belajar tuntas”. Dengan “cara belajar tuntas”, berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil, apabila sedikit-dikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaranitu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penentuan keberhasilan itu didasarkan hasil tes sumatif. Jika sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa dapat mengerjakan atau dapat menjawab dengan betul minimal 75% dari soal yang diberikan guru maka pembelajaran dapat dianggap berhasil.
2.    Pendekatan Struktural
Pendekatan Struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu dititik beratkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup dalam fonologi, mofologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting. Dengan struktural, siswa akan menjadi cermat dalam menyusun kalimat, karena mereka memahami kaidah-kaidahnya.
3.    Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses adalah suatu pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang berfokus pada pelibatan siswa secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan hasil belajar. Jadi dapat diartikan bahwa pendekatan ketrampilan proses dalam pembelajaran  bahasa adalah pendekatan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan bahasa. Keterampilan proses meliputi keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik. Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan mengembangkan konsep.
Konsep yang telah ditemukan atau dikembangkan berfungsi pula sebagai penunjang keterampilan proses. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan pengembangan konsep dalam proses belajar mengajar menghasilkan sikap dan nilai dalam diri siswa. Tanda-tandanya terlihat pada diri siswa seperti teliti, kreatif, kritis, objektif, tenggang rasa, bertanggung jawab, jujur, terbuka, dapat bekerja sama, rajin, dan sebagainya.
Keterampilan proses dibangun sejumlah keterampilan-keterampilan. Karena itu pencapainnya atau pengembangannya dilaksanakan dalam setiap proses belajar mengajar dalam semua mata pelajaran. Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik sendiri. Karena itu dalam penjabaran keterampilan proses dapat berbeda pada setiap mata pelajaran.
Pendekatan ini merupakan pemberian/menumbuhkan kemampuan-kemampuan dasar untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan yang meliputi beberapa kemampuan seperti:
a.    Kemampuan mengamati
Merupakan salah satu ketrampilan yang sangat penting untuk memperoleh pengetahuan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalm pengembangan ilmu pengetahuan. Pengamatan dilaksanakan denagan memanfaatkan seluruh panca indara yang mungkin bias digunakan untuk memperhatikan hal-hal yang diamati. Kemudian, mencatat apa yang diamati, memilih-milih bagiannya berdasarkan criteria tertentu berdasarkan tujuan pengamatan, serta mengolah hasil pengamatan dan menulis hasilnya.
b.    Kemampuan menghitung
Salah satu kemapuan yang penting dalm kehidupan sehari-hari.
c.    Kemampuan mengukur
Dasar dari pengukuran ini adalah perbandingan. Dalam penajaran apresiasi sastra misalnya, kegiatan pengukuran dapat berupa telaah (kajian lebih dalam) terhadap suatu karya sastra denagan menggunakan kriteria nilai-nilai estetika, moral, dan nilai pendidikan.
d.   Kemampuan mengklasifikasi
Merupakan kemampuan mengelompokkan atau menggolongkan sesuatu yang berupa benda, akta, informasi, dan gagasan.. pengelompokan ini didasarkan pada karakteristik atau cirri-ciri yang sama dalam satu tujuan. Dalam pembelajan bahasa Indonesia, kemampuan ini misalnya berupa kemampuan membedakan antara opini dan fakta dalam suatu wacana dan mengelompokkan karya sastra berdasarkan cirri strukturnya.
e.    Kemampuan menemukan hubungan
Yang termasuk dalam kemampuan ini adalah fakta, informasi, gagasan, pendapat, ruang, dan waktu. Kemampuan ini diwujudkan dalam kemampuan siswa menentukan hubungan antara fakta yang terdapat dalam bacaan untuk membangun pemahaman kritis dan kreatif terhadap bacaan.  
f.     Kemampuan membuat prediksi
Kemampuan membuat prediksi atau perkiraan yang didasari penalaran, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kemampuan membuat prediksi disebut juga kemampuan menyusun hipotesis.
g.    Kemampuan melaksanakan penelitian
Merupakan kegiatan para ilmuan dalam kehidupan ilmiah. Namun dalam kehidupan sehari-hari kita juga perlu mengadakan penelitian. Artinya, mengadakan pengkajian terhadap sesuatu untuk memecahkan masalah yang kita hadapi.
h.    Kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data
Merupakan bagian dari kemampuan menagdakan penelitian. Siswa perlu menguasai bagaimana cara-cara mengumpulkan data, baik dalam penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Anak-anak dilatih untuk mengumpulkan data dalam pengamatan lapangan, kemudian meganalisis data tersebut dan membuat kesimpulan.
i.      Kemampuan mengkomunikasikan hasil
Misalnya siswa dilatih untuk menyusun laporan hasil pengamatan, kemudian mempresentasikannya didepan kelas dalm sebuah kegiatan diskusi. Selain itu, siswa di latih untuk menyusun laporan singkat tentang apa yang mereka teliti untuk dipublikasikan melalui majalah sekolah atau majalah dinding.
Keterampilan proses berkaitan dengan kemampuan. Oleh karena itu penerapan keterampilan proses diletakkan dalam kompetensi dasar. Keterampilan proses juga dikenali pada instruksi yang disampaikan oleh guru kepada siswa untuk mengerjakan sesuatu.
Contoh: Kompetensi Dasar: Siswa dapat menyusun sebuah pengumuman sebagai sarana menyampaikan informasi (keterampilan proses yang tersirat dalam kompetensi dasar adalah mengkomunikasikan).
4.    Pendekatan Whole Language
Whole language adalah satu pendekatan pengajaran bahasa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991; Froese,1990; Goodman,1986; Weaver,1992). Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian dari whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham constructivism.Whole language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan secara terpadu.
Menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada delapan komponen whole language:
a)   Reading Aloud
Reading aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan suara keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Manfaat yang didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan menyimak,memperkaya kosakata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan minat baca pada siswa.
b)   Jurnal Writing
Salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan siswa menulis adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran menulis jurnal atau menulis informal. Melalui menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar mencurahkan gagasan dan menceritakan kejadian di sekitarnya, menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Banyak manfaat yang diperoleh dari menulis jurnal antara lain:
a.                  Meningkatkan kemampuan menulis
b.                  Meningkatkan kemampuan membaca
c.                   Menumbuhkan keberanian menghadap risiko
d.                  Memberi kesempatan untuk membuat refleksi
e.                   Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi
f.                    Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menulis
g.                  Meningkatkan kemampuan berpikir
h.                  Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis
i.                    Menjadi alat evaluasi
j.                    Menjadi dokumen tertulis
c)    Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan siswa. Siswa dibiarkan untuk memilih bacaan yang sesuai dengan kemampuannya sendiri sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut. Oleh karena itu, guru sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah:
a.        Membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan
b.        Membaca dapat dilakukan oleh siapapun
c.        Membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut
d.       Siswa dapat membaca serta dapat berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama
e.        Guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca
f.         Siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR berakhir
d)   Shared Reading
Shared Reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun di kelas tinggi. Disini guru lebih berperan sebagai model dalam membaca.
Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini:
a.        Guru membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah)
b.        Guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku
c.        Siswa membaca bergiliran
Maksud kegiatan ini adalah:
a.        Sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model 
b.        Memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya
c.        Siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar
e)    Guided Reading
Guided reading disebut juga membaca terbimbing, guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca terbimbing    penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri, tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru melemparkan pertanyaan yang meminta siswa menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman.
f)     Guided Writing
Guided Writing atau menulis terbimbing, peran guru adalah sebagai fasilitator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Contoh kegiatan ini seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit yang dilakukan sendiri oleh siswa.
g)   Independent Reading
Independent Reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, dimana siswa berkesempatan untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebasmerupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading, siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari seorang pemrakarsa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilitator, dam pemberi respon.
h)    Independent Writing
Independent Writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa ada intervensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses menulis. Jenis menulis yang termasuk independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis respons.
Ciri-ciri kelas whole language
Ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language:
a.                  Kelas yang menerapkan whole language penuh dengan barang cetakan (dinding, pintu, dan furniture).
b.                  Siswa belajar melalui model atau contoh. Disini guru berperan sebagai model, guru menjadi contoh perwujudan bentuk aktivitas berbahasa yang ideal.
c.                   Siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya.
d.                  Siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran.
e.                   Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran bermakna.
f.                    Siswa berani mengambil risiko dan bebas bereksperimen
g.                  Siswa mendapat balikan (feedback) positif baik dari guru maupun temannya.
Penilaian dalam kelas whole language
Di dalam kelas whole language, guru senantiasa memperhatikan kegiatan yang dilakukan siswa. Secara informal selama pembelajaran berlangsung guru memperhatikan siswa menulis, mendengarkan, berdiskusi baik dalam kelompok ataupun diskusi kelas. Penilaian juga berlangsung ketika siswa dan guru mengadakan konferensi, alat penilaiannya seperti observasi dan catatan anecdote. Selain penilaian informal, penilaian dilakukan dengan portofolio. Portofolio adalah kumpulan hasil kerja siswa selama kegiatan pembelajaran. Dengan portofolio perkembangan siswa dapat terlihat secara otentik.
5.    Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstektual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Kontekstual merupakan strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, konstektual dikebangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan konstektual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dalam pendekatan ini dilibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan asesmen autentik.
Definisi yang mendasar tentang pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilannya dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memcahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Johnson (dalam Nurhadi, 2004:13-14) mengungkapakan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen utama yaitu:
a.                  Memiliki hubungan yang bermakna
b.                  Melakukan kegiatan yang signifikan
c.                   Belajar yang diatur sendiri
d.                  Bekerja sama
e.                   Berfikir kritis dan kreatif
f.                    Mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik
g.                  Mencapai standar yang tinggi
h.                  Menggunakan penilaian autentik.
                     Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas 
Langkah-langkah penerapan kontekstual di kelas yaitu sebagai berikut:
a.        Mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan bertanya (komponen konstruktivisme)
b.        Melaksanakan kegiatan menemukan sendiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan (komponen inkuiri)
c.        Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya (komponen bertanya)
d.       Menciptakan masyarakat belajar, kerja kelompok (komponen masyarakat belajar)
e.        Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran (komponen pemodelan)
f.         Melakukan refleksi di akhir pertemuan, agar peserta didik merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi)
g.        Melakukan penilaian yang autentik dari berbagai sumber dan cara (komponen asesmen autentik)
6.    Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan menghargai saling ketergantungan bahasa.
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Jadi pembelajaran yang komunikatif adalah pembelajaran bahasa yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan yang memadai untuk mengembangkan kebahasaan dan menunjukkan dalam kegiatan berbahasa baik kegiatan produktif maupun reseptif sesuai dengan situasi nyata, bukan situasi buatan yang terlepas dari konteks.       
Ciri-ciri utama pendekatan pembelajaran komunikatif ada dua kegiatan yang saling berkaitan yakni adanya kegiatan-kegiatan:
1)   Komunikasi Fungsional
Terdiri atas empat yakni: mengolah informasi, berbagi dan mengolah informasi,  berbagi informasi dengan kerja sama terbatas, dan berbagi informasi dengan kerja sama tak terbatas.
2)   Kegiatan yang sifatnya interaksi sosial.
Terdiri dari 6 hal yakni: improvisasi, lakon-lakon pendek yang lucu, aneka simulasi (bermain peran), dialog dan bermain peran, siding-sidang konversasi dan diskusi, serta berdebat. 
Ciri-ciri pendekatan pembelajaran komunikatif, Menurut Brumfit dan Finocchiaro ciri-ciri pendekatan komunikatif yaitu:
1.        Makna merupakan hal yang terpenting
2.        Percakapan harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal
3.        Kontekstualisasi merupakan premis pertama
4.        Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi
5.        Komunikasi efektif dianjurkan
6.        Latihan atau drill diperbolehkan
7.        Ucapan yang dapat dipahami diutamakan
8.        Setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik
9.        Segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal
10.    Penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak
11.    Terjemaah digunakan jika diperlukan peserta didik
12.    Membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal
13.    Sitem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi
14.    Komunikasi komunikatif merupakan tujuan
15.    Variasi linguistik merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi
16.    Urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat minat belajar
17.    Guru mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan menggunakan bahasa itu
18.    Bahasa diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan mencoba
19.    Kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama
20.    Peserta didik diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis
21.    Guru tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didiknya.
22.    Motivasi intrinsik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan.
Pendekatan komunikatif berorientasi pada proses belajar-mengajar bahasa berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi. Prinsip dasar pendekatan komunikatif ialah: a) materi harus terdiri dari bahasa sebagai alat komunikasi, b) desain materi harus menekankan proses belajar-mengajar dan bukan pokok bahasan, dan c) materi harus memberi dorongan kepada pelajar untuk berkomunikasi secara wajar ( Siahaan dalam Pateda, 1991:86).
Dalam pendekatan komunikatif, yang menjadi acuan adalah kebutuhan si terdidik dan fungsi bahasa. Pendekatan komunikatif berusaha membuat si terdidik memiliki kecakapan berbahasa. Dengan sendirinya, acuan pokok setiap unit pelajaran ialah fungsi bahasa dan bukan tata bahasa. Dengan kata lain, tata bahasa disajikan bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sarana untuk melaksanakan maksud komunikasi.
Strategi belajar-mengajar dalam pendekatan komunikatif didasarkan pada cara belajar siswa/mahasiswa aktif, yang sekarang dikenal dengan istilah Student Centered Learning (SCL). Cara belajar aktif merupakan perkembangan dari teori Dewey Learning by Doing (1854—1952) (lihat Pannen, dkk.2001:42). Dewey sangat tidak setuju dengan rote learning ‘belajar dengan menghafal’. Dewey menerapkan prinsip-prinsip learning by doing, yaitu siswa perlu terlibat dalam proses belajar secara spontan / siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar.            Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Pendekatan Komunikatif.
Strategi merupakan sebuah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Beberapa komponen yang terdapat dalam strategi adalah:
a)    Tujuan
Untuk mengembangkan kompetensi komunikatif para pembelajar bahasa yang mencakup kemampuan menafsirkan bentuk-bentuk linguistik.
b)   Materi
Menurut Tarigan(dalam Solchan,dkk.2001:6.42) ada tiga jenis materi yang di pakai dala pembelajaran bahasa denagn pendekatan komunikatif yakni materi yang berdasarkan teks, materi berdasarkan tugas, dan meteri berdasarkan realita.
c)    Metode
d)   Teknik
e)    Media
Media pembelajaran yang sering kita kenal adalah replika,gambar, duplikat, planel, kertas karton, radio, video, dsb.
f)    Evaluasi
Dalam pembelajaran bahasa sebenarnya ada tiga tes yang dapat di gunakan yaitu tes distrik, tes integratif, dan tes pragmatik. Namun pada pendekatan konunikatif, tes yang cocok untuk di gunakan adalah tes integratif dan tes pragmatif. Yang termasuk tes integratif: menyusun kalimat, menafsirkan wacana yang dibaca atau didengar, memahami bacaan yang didengar atau dibaca. Dan menyusun kalimat yang disediakan. Sedangkan yang termasuk tec pragmatif: dikte, berbicara, paraphrase, dan  menjawab pertanyaan.
7.    Pendekatan CBSA
         Pengertian pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif )
Pengertian CBSA dapat diartikan sebagai anutan pembelajaran yang mengarah kepada pengotimalisasian pelibatan intelektual-emosianal siswa dalam proses pembelajaran, dengan pelibatan fisik siswa apabila diperlukan.
Pelibatan intelektual-emosional/ fisik siswa optimalisasi dalam pembelajran , diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses pemerolehan belajarnya tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai. Keaktifan dalam pendekatan CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, baik intelektual maupun emosional, meskipun untuk merealisasikan dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.
         Konsep dan Prinsip Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) merupakan istilah yang bermakna sama dengan Student Active Learning (SAL). Dalam dunia pendidikan dan pengajaran termasuk bahasa Indonesia dan bahasa indonesia, CBSA bukanlah hal yang baru. Bahkan beberapa teori menunjukkan bahwa CBSA merupakan tuntutan logis dari hakikat pembelajaran yang sebenarnya. Hampir tidak mungkin terjadi proses pembelajaran yang tidak memerlukan keterlibatan siswa di dalamnya.
Sebagai suatu konsep, CBSA adalah suatu proses pembelajaran yang subjek didiknya terlibat secara fisik, mental-intelektual, maupun sosial dalam memahami ide-ide dan konsep-konsep pembelajaran (Ahmadi, 1991). Dengan kata lain, arah pembelajaran CBSA mengacu pada siswa atau “student oriented” yang bermakna pembentukan sejumlah keterampilan untuk membangun pengetahuan sendiri baik melalui proses asimilasi maupun akomodasi. Dalam proses pembelajaran yang seperti ini, siswa dipandang sebagai objek dan sekaligus sebagai subjek.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa CBSA adalah salah satu strategi pembelajaran yang menuntut aktivitas atau partisipasi peserta didik seoptimal mungkin sehingga mereka mampu mengubah tingkah lakunya dalam proses internalisasi secara lebih efektif dan efisien.
Ada beberapa prinsip belajar yang dapat digunakan dalam menunjang tumbuhnya CBSA di dalam pembelajaran (Ahmadi, 1991), yaitu:
a.    motivasi belajar siswa,
Motivasi belajar merupakan prinsip utama dalam CBSA. Tanpa adanya motivasi, hasil belajar yang dicapai siswa tidak akan optimal. Oleh karena itu, peranan guru dalam mengembangkan motivasi belajar ini sangat diperlukan sekali. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa dalam CBSA, antara lain melalui penggunaan metode atau cara belajar yang bervariasi, mengadakan pengulangan informasi, menggunakan media dan alat bantu yang bervariasi, memberikan pertanyaan-pertanyaan pengiring atau pelacak, dan lain-lain.

b.    pengetahuan prasyarat,
Bahasa indonesia bersifat hirarkis. Untuk menguasai suatu materi atau topik bahasa indonesia, peserta didik harus menguasai terlebih dahulu materi-materi sebelumnya yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan materi yang akan dipelajari tersebut. Oleh karena itu, tugas guru adalah menyelidiki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang telah dimiliki siswa untuk mempelajari suatu materi. Dengan cara demikian, siswa akan lebih siap untuk memahami materi yang akan dipelajarinya
c.    tujuan yang akan dicapai,
Pembelajaran yang terencana dengan baik akan memberikan hasil yang baik pula. Perencanaan pembelajaran ini biasanya diwujudkan dalam perumusan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan inilah yang menjadi pedoman bagi guru dalam menentukan keluasan dan kedalaman materi.
d.   hubungan sosial,
Dalam belajar siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan teman-temannya agar konsep-konsep yang sulit dipahami oleh siswa secara mandiri akan menjadi lebih mudah jika dipelajari secara berkelompok. Latihan bekerja sama ini juga bermanfaat dalam proses pembentukan kepribadian siswa terutama sikap sosialnya.
e.    belajar sambil bekerja,
Pada hakikatnya anak belajar sambil bekerja. Semakin banyak aktivitas fisik siswa, akan semakin berkembang pula kemampuan berpikir siswa. Apa yang diperoleh siswa dalam pembelajaran yang banyak melibatkan aktivitas fisiknya, akan lebih lama mengendap dalam memori siswa. Siswa akan bergembira dalam belajar apabila diberi kesempatan yang sebanyak-banyaknya dalam bekerja. Oleh karena itu, prinsip belajar sambil bekerja ini merupakan prinsip yang paling banyak mewarnai CBSA.
f.     perbedaan individu,
Setiap anak memiliki karakteristik tersendiri, misalnya dalam kemampuan, kebiasaan, minat, latar belakang keluarga, dan lain-lain. Dalam pembelajaran, guru sebaiknya dapat memperhatikan perbedaan individu pada anak didiknya. Guru tidak boleh memperlakukan semua anak dengan cara yang sama, walaupun tidak semua perbedaan anak dapat diakomodasi.
g.    menemukan,
Menemukan merupakan prinsip yang harus banyak mewarnai CBSA. Dalam CBSA, siswa harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari dan menemukan sendiri informasi-informasi yang ada di dalam pembelajaran. Dengan cara demikian, siswa akan merasa lebih bersemangat dalam belajar dan belajar menjadi pekerjaan yang tidak membosankan bagi siswa.
h.    pemecahan masalah.
Pembelajaran akan lebih terarah apabila dimulai dengan permasalahan yang harus dipecahkan siswa. Situasi yang menghendaki siswa harus memecahkan masalah ini akan mendorong siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya secara maksimal.

C.    Langkah - Langkah Menetapkan Pendekatan Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Serta Manfaatnya
Karakteristik bahasa Indonesia adalah ciri khas atau sifat pembelajaran bahasa Indonesia sebagai sebuah ilmu. Adapun langkah-langkah karakteristik pembelajaran bahasa Indonesia adalah bersifat kontekstual, bersifat komunikatif, bersifat sistematis, menantang pembelajar untuk memecahkan masalah-masalah nyata, membawa pembelajar ke arah pembelajaran yang aktif, dan penyusunan bahan pembelajaran dilakukan oleh guru sesuai dengan minat dan kebutuhan pembelajaran, itu adalah salah satu langkah awal dalam menetapkan pendekatan pembelajaran bahasa indonesia.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya tergolong ke dalam 3 jenis tujuan, yaitu tujuan afektif, kognitif, dan psikomotorik. Tujuan afektif berkaitan dengan penanaman rasa bangga dan menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. Tujuan kognitif berkaitan dengan proses pemahaman bentuk, makna, dan fungsi bahasa Indonesia. Tujuan psikomotorik berkaitan dengan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk berbagai kepentingan.
Fungsi pembelajaran bahasa Indonesia dapat digolongkan ke dalam 2 jenis, yaitu fungsi instrumentatif dan fungsi intrinsik. Fungsi instrumentatif adalah fungsi pembelajaran bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. Fungsi intrinsik adalah fungsi pembelajaran bahasa Indonesia sebagai proses pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
Manfaat pembelajaran bahasa Indonesia dapat bersifat praktis dan strategis. Adapun yang menjadi manfaat pembelajaran bahasa Indonesia adalah meningkatkan kemampuan komunikasi, pembentuk perilaku positif, sarana pengembang ilmu pengetahuan, sarana memperoleh ilmu pengetahuan, sarana pengembang nilai norma kedewasaan, sarana ekspresi imajinatif; sarana penghubung dan pemersatu masyarakat Indonesia, dan sarana transfer kultural.
Langkah-langkah pembelajaran (siswa melakukan wawancara):
         Guru Memberi Contoh Sebuah Teks Wawancara
         Guru Mengarahkan Kegiatan Siswa Dan Menjelaskan Sopan Santun Berwawancara
         Murid Merencanakan Wawancara : Menetapkan Topik Dan Nara Sumber
         Murid Menyusun Pertanyaan (Pedoman) Untuk Wawancara
         Guru Mengundang Nara Sumber Atau Menyuruh Siswa Mendatangi Nara Sumber
         Murid Berbagi Tugas Dalam Kelompoknya : Pewawancara, Penulis, Dan Pengamat
          Murid Menyusun Laporan Hasil Wawancara 




RPS 3

A.  Pengertian Bahasa
 Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
B.  Hakikat Bahasa
1.    Dinamis
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Tak ada kegiatan manusia yang tak disertai oleh bahasa. Bahkan dalam bermimpi pun manusia menggunakan bahasa.
2.    Unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahasa itu unik, maksudnya, setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat atau sistem-sistem lainnya.
3.    Universal
Selain bersifat unik, bahasa itu bersifat universal, artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal itu tentunya merupakan unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri atau sifat yang lain.
4.    Produktif
Arti produktif adalah “banyak hasilnya”, atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan”. Bahasa itu produktif, maksudnya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang bberlaku dalam bahasa itu. 
5.     Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa suatu lambang digunakan untuk mewakili konsep yang dilambangkannya.
6.    Arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, manasuka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Umpamanya, antara [kuda] dengan yang dilambangkannya, yaitu “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi [kuda], bukan [aduk] atau [akud].
7.    Bermakna
Dari tulisan sebelumnya sudah dibicarakan bahwa bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Maka, yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide atau pikiran, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
8.    Bunyi
Kata bunyi sering sukar dibedakan dengan suara, sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis, menurut Kridalaksana, bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi itu bisa bersumber pada gesekan atau benturan benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia.
9.    Lambang
Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama. Lambang dengan segala seluk-beluknya dikaji orang dalam kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.

C.  Fungsi Bahasa
1.    Fungsi Personal atau Pribadi
Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedang sedih, marah, atau gembira.
2.    Fungsi Direktif
Dilihat dari sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatuf tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara.
3.    Fungsi Fatik
Bila dilihat segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini tidak dapat diterjemahkan secara harfiah.
4.    Fungsi Referensial
Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya.
5.    Fungsi Metalingual atau Metalinguistik
Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti ekonomi, pengetahuan dan lain-lain. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa.
6.    Fungsi Imajinatif
Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif. Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginasi ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng dan sebagainya) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya.

D.  Karakteristik Bahasa
Bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa di antara karakteristik bahasa adalah abitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
1.    Bahasa Bersifat Abritrer     
Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan. Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.
2.    Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.
3.    Bahasa Bersifat Dinamis      
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
4.    Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.
5.    Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi







RPS 4

Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia : Hakikat belajar menyimak, membaca, menulis, berbicara, viewing, presentasi visual.
Bahasa merupakan salah satu kemampuan terpenting manusia yang memungkinkan ia unggul atas makhluk-makhluk lain di muka bumi, sehingga tidak ada sistem komunikasi yang terintegrasi, mencakup ujaran, membaca dan menulis, melainkan sistem kebahasaan. Pada dasarnya setiap pengajaran bahasa bertujuan agar peserta didik atau para murid mempunyai keterampilan berbahasa. Menurut Tarigan (1991: 40) bahwa “Terampil dalam berbahasa meliputi empat hal, yakni: terampil menyimak, terampil berbicara, terampil menulis dan terampil membaca”. Keempatnya merupakan catur tunggal dalam pengajaran bahasa Indonesia. Keempat aspek tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:  keterampilan yang bersifat menerima (reseptif) yang meliputi keterampilan membaca dan menyimak, dan keterampilan yang bersifat mengungkap (produktif) yang meliputi keterampilan menulis dan berbicara (Muchlisoh, 1992).
Kemampuan bahasa yang dimiliki anak melalui tahap-tahap berikut ini:
1.    Tahap pralinguistik, yaitu fase perkembangan bahasa di mana anak belum mampu menghasilkan bunyi-bunyi yang bermakna. Bunyi yang dihasilkan seperti tangisan, rengekan, dekutan, dan celotehan hanya merupakan sarana anak untuk melatih gerak artikulatorisnya sampai ia mampu mengucapkan kata-kata yang bermakna.
2.    Tahap satu-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang baru mampu menggunakan ujaran satu-kata. Satu-kata itu mewakili ide dan tuturan yang lengkap.
3.    Tahap dua-kata, yaitu fase anak telah mampu menggunakan dua kata dalam pertuturannya.
4.    Tahap banyak-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang telah mampu bertutur dengan menggunakan tiga-kata atau lebih dengan penguasaan gramatika yang lebih baik (Anonim, 2009).
Adapun keterampilan dalam belajar bahasa diantara ialah :
a.  Keterampilan Menyimak
Keterampilan menyimak dalam pembelajaran bahasa adalah suatu proses penerimaan pesan yang disampaikan oleh orang lain. Sebagai proses, kegiatan menyimak terdiri atas tahap penerimaan rangsangan lisan, pemusatan perhatian, serta pemahaman makna atas pesan yang disampaikan. Penyimak akan dapat menyimak dengan baik apabila ia memiliki kemampuan berkonsentrasi, menangkap bunyi tuturan, mengingat hal-hal penting, serta memahami unsur linguistik dan nonlinguistik secara memadai (Anonim, 2009).
b. Keterampilan Berbicara
Di dalam sebuah pembelajaran diperlukan keterampilan untuk menguasai aspek-aspek berbahasa. Seorang ahli mengemukakan bahwa “language conventionally distinguish betwen four aspect of language which are mastered by means ‘four skill’ listening, speaking, reading, and writing. Speaking is an active produktive or output counterparts”. Maksudnya, bahwa keterampilan berbicara merupakan sebuah kemampuan untuk memproduksi suara atau sebuah pemaknaan secara aktif dan mampu menimbulkan umpan balik/ feedback. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 114), berbicara adalah suatu kegiatan berkata, bercakap-cakap, berbahasa, atau mengungkapkan suatu pendapat secara lisan. Dengan berbicara manusia dapat menuangkan ide, gagasan, perasaan kepada orang lain sehingga dapat menghasilkan suatu interaksi di dalam sebuah komunitas di masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi bahasa untuk menyampaikan pesan berupa gagasan, pikiran serta perasaan secara lisan kepada individu lain.
 Sebagai alat komunikasi di dalam berbicara, pembicara sebagai pemberi informasi mutlak perlu dan pendengar sebagai penerima informasi. Pembicara yang baik harus dapat menyampaikan isi pembicaraan dengan baik dan efektif. Pembicara harus mengetahui betul isi pembicaraannya, dan harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap orang lain. Jadi bukan hanya mengetahui apa yang dibicarakannya tetapi juga mengetahui bagaimana cara mengemukakan yang berkaitan dengan masalah bunyi bahasa. Pembicara juga harus dapat memperlihatkan keberanian dalam berbicara dengan jelas dan tepat.Ada beberapa faktor yang yang harus diperhatikan oleh seseorang pembicara untuk berbicara efektif. Menurut Arsyad dan Mukti (1993 7-22) yang dapatmempengaruhi keefektifan berbicara. Faktor non kebahasaan dan kebahasaan. Faktor non kebahasaan meliputi sikap tubuh dalam berbicara, pandangan mata lurus terhadap lawan bicara, kesediaan menghargai pendapat orang lain, gerakgerik atau mimik yang tepat, kenyaringan, kelancaran, penalaran, penguasaan topik. Sedangkan faktor kebahasaan meliputi ketepaan ucapan, penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, pemilahan kata dan diksi, ketepatan sasaran pembicaraan, dan ketepatan penggunaan kalimat dan tata bahasa.
c. Keterampilan Membaca
Sementara untuk pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I dan II dengan tujuan agar murid memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Pembelajaran membaca permulaan merupakan tingkatan proses pembelajaran membaca untuk menguasai sistem tulisan sebagai representasi visual bahasa. Tingkatan ini sering disebut dengan tingkatan belajar membaca (learning to read). Adapun membaca lanjut merupakan tingkatan proses penguasaan membaca untuk memperoleh isi pesan yang terkandung dalam tulisan.
Tingkatan ini disebut sebagai membaca untuk belajar (reading to learn). Kedua tingkatan tersebut bersifat kontinum, artinya pada tingkatan membaca permulaan yang fokus kegiatannya penguasaan sistem tulisan, telah dimulai pula pembelajaran membaca lanjut dengan pemahaman walaupun terbatas. Demikian juga pada membaca lanjut menekankan pada pemahaman isi bacaan, masih perlu perbaikan dan penyempurnaan penguasaan teknik membaca permulaan (Syafi’ie, 1999).
d. Keterampilan Menulis
Keterampilan menulis dalam pembelajaran bahasa adalah proses penyampaian pesan kepada pihak lain secara tertulis. Sebagai proses, menulis terdiri atas tahap prapenulisan, menulis, dan pascapenulisan. Adapun keterampilan membaca merupakan proses penyampaian pesan secara tertulis dari pihak lain. Sebagai proses, membaca merupakan kegiatan pemaknaan yang terus-menerus berdasarkan apa yang tersaji dalam teks karangan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pembacanya (Anonim, 2009).
Selain empat keterampilan diatas, belajar bahasa indonesia juga memperhatikan viewing dan presentasi visual.
e. Viewing
Viewing mengacu pada keterampilan berbahasa individu dalam menafsirkan hal-hal yang dilihat dari media visual dengan bahasa sendiri (termasuk foto, gambar, ilustrasi, grafik, poster, peta, diagram dari buku/internet. Pesan/informasi dari media visual ini harus dipahami sebagaimana kemampuan memahami bahasa cetak. Pemahaman informasi dari internet dengan informasi visual yang kompleks ini sangat penting.
f. Presentasi Visual
Merupakan metode penyampaian informasi dengan menggunakan gambar, grafik, bagan, atau tampilan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan ketertarikan audience dalam menerima informasi pada saar dilakukan presentasi. Pada presentasi visual ini kita memerlukan media visual.
Media visual adalah media yang memberikan gambaran menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa media visual merupakan salah satu media untuk pembelajaran.
Tujuan metode presentasi visual ialah agar penyampaian informasi dari presenter kepada audience dapat disampaikan secara efektif, maka penting bagi presenter untuk memilih metode presentasi yang sesuai dengan topik bahasannya.
Contoh metode presentasi penyampaian informasi dalam wujud visual
§  Tabulasi Data
§  Grafik
§  Media gambar / Grafis foto
§  Sketsa
§  Media Kartun
§  Ilustrasi
§  Karikatur
§  Poster




RPS 5
Belajar berbahasa lisan merupakan salah satu upaya yang harus ditingkatkan oleh peserta didik dalam meningkatkan kemampuan berbicara secara lisan, maka berbahasa lisan juga sangat perlu ditingkatkan, oleh sebab itu tiap-tiap pendidik perlu mempelajari bagaimana cara meningkatkan keterampilan berbahasa di sekolah dasar agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses belajar mengajar.
Pada kenyataannya peningkatan kemampuan berbahasa lisan tersebut dimaksudkan agar anak-anak sekolah dasar mampu memahami pembicaraan orang lain baik langsung maupun lewat media misalnya radio, televisi, dan pita rekaman, tujuan yang lain adalah agar anak-anak mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka secara lisan. Dengan demikian kemampuan mereka dalam berkomunikasi secara lisan diharapkan dapat meningkat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Bahasa adalah pemahaman dasar dalam memahami bahasa. Dalam memahami Bahasa Indonesia, kita juga perlu memahami hel-hal tersebut, sehingga pemahaman kita dalam memahami bahasa Indonesia, bisa lebih mendalam dan dapat mengaplikasikan dengan baik. Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbiter (tidak ada hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi, kerja sama, dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder.
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Bahasa lisan lebih ekspresif dimana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau atau silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara atau target komunikasi.
Bahasa lisan adalah suatu bentuk komunikasi yang unik dijumpai pada manusia yang menggunakan kata-kata yang diturunka dari kosakata yang besar (kurang lebih 10.000) bersama-sama dengan berbagai macam nama yang diucapkan melalui atau menggunakan organ mulut. Kata-kata yang terucap tersambung menjadi untaian frasa dan kalimat yang dikelompokkan secara sintaktis. Kosa kata dan sintaks yang digunakan, bersama-sama dengan bunyi bahasa yang digunakannya membentuk jati diri bahasa tersebut sebagai bahasa alami.
B.   Pengertian Strategi Pembelajaran
Strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan.Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. ( J.R. David dalam Sanjaya, 2008 ; 126).Selanjutnya dijelaskan strategi pembelajaran adalah sesuatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. (Kemp dalam Sanjaya, 2008: 126).
Istilah strategi sering digunakan dalam banyak konteks dengan makna yang selalu sama. Dalam konteks pengajaran strategi bisa diartikan sebagai suatu pola umum tindakan guru-peserta didik dalam manifestasi aktivitas pengajaran (Ahmad Rohani,2004:32). Sementara itu,Joyce dan Well lebih senang memakai istilah model-model mengajar daripada menggunakan strategi pengajaran (Joyce dan Well dalam Rohani,2004: 33).
Nana Sudjana menjelaskan bahwa strategi mengajar (pengajaran) adalah taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) secara lebih efektif dan efisien (Nana Sudjana dalam Rohani, 2004: 34). Jadi, menurut Nana Sudjana, strategi mengajar/ pengajaran ada pada pelaksanaan, sebagai tindakan nyata atau perbuatan guru itu sendiri pada saat mengajar berdasarkan pada rambu-rambu dalam satuan pembelajaran.
Berdasarkan pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa strategi pembelajaran harus mengandung penjelasan tentang metode/prosedur atau teknik yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Berbagai jenis strategi pembelajaran,yaitu Strategi deduktif dimulai dari penampilan prinsip-prinsip yang diketahui ke prinsip-prinsip yang belum diketahui. Sebaliknya, dengan strategi induktif, pembelajaran dimulai dari prinsip-prinsip yang belum diketahui. Strategi ekspositori langsung merupakan strategi yang berpusat pada guru. Guru menyampaikan informasi terstruktur dan memonitor pemahaman belajar,serta memberikan balikan.
Strategi belajar tuntas merupakan suatu strategi yang memberi kesempatan belajar secara individual sampai pebelajar menuntaskan pelajaran sesuai irama belajar masing-masing. Ceramah dan demonstrasi merupakan dua strategi yang pada hakikatnya sama, yaitu guru menyampaikan fakta dan prinsip-prinsip, namun pada demonstrasi sering kali guru menunjukkan (mendemonstrasikan) suatu proses.
Antara pertanyaan dan resitasi terdapat kesamaan yaitu, resitasi juga dapat berupa pertanyaan secara lisan. Praktik merupakan implementasi materi yang telah dipelajari, sedangkan drill dilakukan untuk mengulangi informasi sehingga pebelajar benar-benar memahami materi yang dipelajari. Reviu dilakukan untuk membantu guru menentukan penguasaan materi para pebelajar, baik materi untuk prasyarat maupun materi yang telah diajarkan. Bagi pebelajar, reviu berguna sebagai kesempatan untuk melihat kembali topik tertentu pada waktu lain
C.   Bahasa Lisan
1.    Pengertian Bahasa Lisan
Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagsan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983). Berbicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial karena berbicara merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas. Ada dua ragam komunikasi yang digunakan manusia dalam aktivitas kegiatan berbahasa sebagaimana yang diungkapkan Moeliono (Ed), bahwa ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan (1988:6).
Penggunaan ragam bahasa lisan memiliki keuntungan, yaitu karena hadirnya peserta bicara sehingga apa yang mungkin tidak jelas dalam pembicaraan dapat dibantu dengan keadaan atau dapat langsung ditanyakan kepada pembicara. Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu :
(1) faktor kejelasan, karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya, (2) faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan, (3) dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi, dan (4) faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit. Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan.
Apa yang tidak jelas dalam bahasa tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat dikoreksi, sedangkan dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar. Menurut Badudu, bahasa lisan lebih bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kalimat Badudu (1985: 6). Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada.
Dalam penggunaan bahasa lisan, meskipun kalimat yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita dapat menangkap maknanya dengan melihat lagu kalimat dan gerak-gerik kinesik lainnya. Dalam hal ini Uhlenbeck (dalam Teeuw, 1984: 27) menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual saja, pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil dari data pengetahuan lingual dan ekstralingual, dari informasi auditif, visual, dan kognitif. Gambaran karakteristik bahasa lisan sebagaimana telah diungkapkan oleh para ahli yang dimaksud yaitu:
a. Kalimat bahasa lisan banyak yang kurang terstruktur ketimbang bahasa tulisan, yaitu (a) bahasa lisan berisi beberapa kalimat tidak lengkap, bahkan sering urutan frasa-frasa sederhana, (b) bahasa lisan secara khusus memuat lebih sedikit kalimat subordinat, dan (c) dalam percakapan lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi, dan biasanya berbentuk kalimat deklaratif aktif.
b. Dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu, biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. Dalam bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang jika.
c. Kalimat bahasa tulisan secara umum berstruktur Subjek–Predikat, sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
d. Dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
e. Dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk membantu suatu acuan.
f. Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
g. Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
h. Penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan, baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, juga (Brown dalam Yule, 1983: 12).
2.    Penggunaan Bahasa Ragam Lisan
Berbicara tentang penggunaan bahasa, tentunya tidak terlepas dari penutur-penutur bahasa itu atau orang yang menggunakan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Penutur-penutur bahasa itu dalam proses sosialisasinya dapat berfungsi sebagai pembicara, penulis, pembaca, atau penyimak. Penyimak dan pembaca dalam hal proses berbahasa berfungsi sebagai penerima, sedangkan pembicara dan penulis berfungsi sebagai orang yang memproduksi bahasa.
Komunikasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan lancar, apabila di antara kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat bahasa yang sama. Dengan demikian, setiap bahasa memiliki seperangkat sistem, yaitu sistem bunyi bahasa, sistem gramatikal, tata makna, dan kosa kata. Perangkat sistem ini ada dalam benak penutur. Saussure memberinya istilah dengan langue, yaitu totalitas dari sekumpulan fakta satu bahasa.
Istilah kompetensi diartikan sebagai “… the speaker hearers knowledge of his language …” (Aiwasilah, 1985: 4). Langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu, sama bagi semuanya dan berbeda di luar kemauan penyampainya. Langue adalah suatu sistem yang memiliki susunan sendiri. Langue merupakan norma dari segala pengungkapan bahasa. Berbeda halnya dengan penggunaan bahasa, karena penggunaan bahasa bersifat heterogen. Konsep penggunaan bahasa itu didasari teori Sassure, yaitu diistilahkan dengan parole. Parole adalah bahasa sebagaimana ia dipakai karena itu sangat bergantung pada faktor-faktor linguistik ekstern (dalam Rahayu, 1988: 88).
Setiap penutur dapat dikatakan terampil berbahasa apabila ia memiliki kompetensi atau langue dari bahasa yang dikuasainya. Keterampilan berbahasa pada umumnya jarang dikuasai penutur dengan sama baiknya. Ada penutur yang terampil berbicara, tetapi kurang terampil menulis dan begitu pula halnya dengan keterampilan yang lainnya. Namun, dengan pemakaiannya keterampilan penutur dalam menggunakan bahasa sesuai dengan sistem-sistem di atas, belumlah dapat dikatakan mampu berbahasa dengan baik.
Rusyana (1984: 104) menjelaskan bahwa berbahasa dengan baik berarti bukan saja dapat menguasai struktur bahasa dengan baik, tetapi juga dapat memakainya secara serasi, sesuai pokok permasalahan, tokoh bicara, dan suasana pembicaraan. Untuk itu, setiap penutur harus menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan fungsinya. Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah bahwa bahasa itu terdiri dari berbagai ragam, ada yang berhubungan dengan pemakaian bahasa, ada pula yang berhubungan dengan pemakaiannya. Dalam hal ini Fishman (1972:149) membedakan variasi bahasa tersebut menurut penuturnya, yang disebut dengan dialek, dan variasi bahasa menurut penggunaannya disebut dengan istilah register.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang lain. Kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh siapa yang berbicara, lawan bicara, situasi, topik pembicaraan, dan sebagainya. Del Hymas merinci faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi delapan faktor. Kedelapan faktor itu adalah:
(1) setting and scence, yang mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi, (2) participant, yang mengacu kepada peserta komunikasi yang terdiri atas pembicara/pengirim, pendengar/penerima, (3) ends (pupose and goals), yang mengacu kepada tujuan dan hasil atau harapan mengadakan komunikasi, (4) actsequence, yang mengacu kepada bentuk dan isi pesan komunikasi, (5) key, yang mengacu kepada gaya, ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi, (6) instrumentalities, yang mengacu kepada sarana atau perantara yang digunakan dalam komunikasi dan bentuk tuturan, bahasa, dialek, (7) norms, yang mengacu kepada norma perilaku dalam berinteraksi, interpretasi komunikasi, dan (8) genres, yang mengacu kepada bentuk dan jenis bahasa yang digunakan dalam komunikasi, misalnya cerita, prosa puisi (Hymes dalam Bell, 1976: 81).
Untuk mengetahui ragam bahasa apa yang dipakai oleh seseorang kita dapat mengenalnya melalui (1) pilihan kata atau leksis, (2) fonologi, (3) morfologi, (4) sintaksis, dan (5) intonasi (Badudu, 1991: 85). Sejalan dengan pendapat tersebut, Nababan (1984: 22) menjelaskan bahwa setiap bahasa memiliki banyak ragam, yang dipakai dalam keadaan atau keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam-ragam itu menunjukan perbedaan struktural dalam unsur-unsurnya. Perbedaan struktural ini berbentuk ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis.
3.   Pelafalan
Masyarakat Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku, dan masing-masing suku memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut dipergunakan masyarakat sebagai sarana komunikasi antar suku, dan juga dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Badudu (1985: 12) mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari pengaruh itu seratus persen.
Badudu menjelaskan bahwa yang sering sukar dihindari adalah pengaruh lafal bahasa daerah, karena lidah penutur yang sudah “terbentuk” sejak kecil oleh lafal bahasa daerahnya (1985: 12). Bila kita perhatikan lafal orang Tapanuli misalnya, kata-kata yang befonem /e/ akan dilafalkan dengan /é/. Kata-kata seperti mengapa, karena, kemana, diucapkan dengan menggunakan /é/. Atau orang Jawa, akhiran /kan/ akan diucapkan dengan /ken/. Demikian pula dengan suku Sunda, Bali, Aceh, bila berbicara akan diwarnai pengaruh bahasa daerahnya.
Bila seseorang dalam berbahasa lisan terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal nonbaku. Bila seseorang dalam berbahasa Indonesia tidak terdengar lafal bahasa daerahnya, maka lafalnya digolongkan pada bahasa baku. Badudu menjelaskan, “Lafal bahasa Indonesia baku adalah lafal yang tidak memperdengarkan warna lafal bahasa dialek, juga tidak memperdengarkan warna lafal bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris atau Arab (1980: 115. Soemantri (1987: 11) mengatakan bahwa lafal bahasa Indonesia yang standar adalah tuturan bahasa Indonesia yang tidak terlalu menonjol ciri lafal daerahnya.
4.   Struktur Bahasa Ragam Lisan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Dalam wujudnya, bahasa yang kita gunakan terdiri dari unsur bunyi, bentuk morfologis, sintaksis dan semantik. Unsur-unsur bahasa itu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah-pisah. Dalam bahasa lisan, unsur-unsur tersebut terangkai dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat yang pertama pada dasarnya digunakan sebagai acuan munculnya kalimat yang kedua, kalimat kedua dapat memunculkan kalimat ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, memahami bahasa lisan seseorang dapat dilakukan, antara lain dengan cara menganalisis unsur-unsur bahasa dan aturan yang berlaku dalam bahasa itu.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa struktur bahasa ragam lisan anak-anak pun dapat dianalisis melalui unsur-unsur bahasa yang dugunakannya. Di samping itu, aturan-aturan yang berlaku juga dapat digunakan sebagai tolak ukur baku atau tidaknya penggunaan bahasa secara keseluruhan. Dari deskrifsi dan hasil analisis data, struktur bahasa ragam lisan anak-anak dwibahasawan masih dipengaruhi oleh bahasa ibu dan bahasa percakapan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan terjadinya peristiwa bahasa, seperti frekuensi penggunaan bahasa ibu yang dominan.
Anak-anak cenderung atau lebih sering menggunakan bahasa ibu daripada bahasa Indonesia ketika di rumah. Peristiwa itu terjadi karena faktor lingkungan (keluarga dan masyarakat) mendominasi terjadinya penggunaan bahasa daerah setempat. Efek dari peristiwa itu, maka penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun diwarnai bahasa daerah. Dalam hal ini, ada beberapa hal, yang dapat dikemukakan berkenaan dengan peristiwa tersebut.
a. Upaya yang dilakukan guru pada saat proses belajar berlangsung adalah digunakan bahasa Indonesia yang baik ketika mengajar di kelas. Pada saat proses belajar berlangsung terjadi berbagai ungkapan pikiran dan perasaan melalui bahasa lisan. Dalam peristiwa itu terjadi penggunaan struktur bahasa lisan pada anak-anak. Karena pada umumnya siswa tergolong dwibahasawan, maka dalam peristiwa itu ragam bahasa lisan tidak bisa dielakkan. Meskipun demikian, secara umum anak-anak telah mampu menggunakan seperangkat penanda linguistik yang diperlukan dalam berbahasa lisan sehingga mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan orang lain. Keseluruhan sistem bahasa itu meliputi fonologi, morfologi, leksikal, semantik dan sintaksis.
b. Digunakannya ragam baku dan tidak baku dalam peristiwa komunikasi pada prinsipnya tidak mengganggu proses belajar mengajar di kelas. Hal ini disebabkab oleh penggunaan ragam baku yang lebih sering digunakan dari pada ragam tidak baku. Ragam tidak baku pada dasarnya digunakan anak-anak atas dasar pertimbangan situasi dan sosial. Situasi atau konteks peristiwa yang terjadi itu memang mengharapkan penggunaan ragam tidak baku oleh anak-anak. Misalnya, ketika meminjam buku, menyuruh, bertanya, dan marah dengan temannya yang sebahasa (bahasa ibu).
Pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar telah menguasai struktur bahasa secara sempurna. Pada usia ini anak-anak di samping udah matang organ-organ bicaranya, mereka juga mampu merespon pembicaraan orang lain. Kematangan anak-anak dapat diwujudkan secara verbal, seperti penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat-kalimat kompleks.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini pun menunjukan bahwa penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat anak-anak dwibahasawan secara struktur sudah baik. Hal ini terlihat pada kemapuan dalam penggunaan afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Hanya terjadi beberapa kesalahan penggunaan afiksasi karena pengaruh bahasa daerah atau bahasa percakapan sehari-hari. Hal ini, antara lain dapat terlihat pada penghilangan awalan me- dalam kata manjat, metik, nembak, dan mbeli, yang seharusnya memanjat, memetik, menembak, dan membeli. Kesalahan juga terjadi pada kata ngambilin dan nunggu, seharusnya mengambil dan menunggu.
Di samping itu, terjadi juga beberapa kesalahan penggunaan pada kata ulang. Yang dimaksud adalah bintangnya-bintang dan mutar-mutar, seharusnya bintang-bintang dan berputar-putar. Salah satu hal yang paling sempurna adalah penggunaan pemajemukan. Artinya, tidak ditemukan kesalahan dalam penggunaan kata majemuk pada bahasa lisan anak-anak dwibahasawan. Pilihan kata, kosakata atau istilah, dan penggunaannya dalam ujaran sangat mempengaruhi isi pembicaraan.
Pilihan kata atau istilah yang tepat dan penggunaan kata yang baku dalam konteks pembicaraan akan mencerminkan kemampuan berbahasa. Artinya, makna atau isi pembicaraan akan terwakili secara jelas berdasarkan ketepatan dalam penggunaannya. Dalam hal ini, pilihan kata atau istilah yang digunakan anak-anak dwibahasawan secara umum dapat dikatakan baik bila diukur dengan konteks pembicaraan.
Berbagai pilihan dan penggunaan kata terkait langsung dengan topik pembicaraan, terarah, kontekstual, dan situasional. Di dalam konteks komunikasi formal, topik prmbicaraan yang telah ditentukan dapat dibahas bersama sesuai dengan pengalaman hidup sehari-hari. Keterkaitan itu terbukti oleh adanya saling dimengerti topik pembicaraan yang yang dibicarakan melalui berbagai pilihan atau penggunaan kata atau istilah.
Hanya ada beberapa pilihan kata yang menyimpang akibat pengaruh bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari. Pilihan dan penggunaan kata daerah digunakan anak-anak dwibahasawan karena kesulitan mencari padanannya. Hal ini terdapat pada kata daerah (Jawa), seperti pangnya, nyucuk, dan membandil (Indonesia=cabang pohon, mematuk makanan melalui paruh burung, dan melempar batu dengan ketapel). Selain itu, ada beberapa pilihan dan penggunaan kata yang disebabkan oleh bahasa pergaulan. Kata-kata itu, antara lain cuma, aja, nggak, dan duren (tidak baku), seharusnya hanya, saja, tidak dan durian (baku).
Penggunaan bahasa lisan banyak kelonggaran bila dibandingkan dengan bahasa tulisan. Akan tetapi, bukan berarti penggunaan dapat dilakukan seenaknya. Dalam menggunakan bahasa lisan perlu diperhatikan oleh setiap penutur mengenai situasi, lawan bicara dan masalah yang dikemukakan. Kaitan dengan penilaian ini, struktur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan berupa (1) topik komentar, (2) kalimat deklaratif aktif lebih banyak daripada konstruksi pasif, dan (3) lepasnya unsur subjek, predikat, dan objek.
Sesuai dengan sifat dan penggunaannya, maka penggunaan bahasa lisan anak-anak lebih banyak berisi komentar. Hal ini terjadi karena topik yang harus disampaikan dalam proses komunikasi memerlukan penjelasan. Misalnya, anak-anak harus menjelaskan ‘pentingnya memelihara lingkungan’, ’menceritakan pengalaman pribadi’, dan ‘bagaimana cara belajar yang baik’. Rangkaian penjelasan itu secara kongkrit diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang sesuai dan saling terkait.
Dalam wujudnya, kalimat yang digunakan anak-anak dwibahasawan terdiri dari beberapa kalimat deklaratif aktif, dalam hal ini konstruksi pasif jarang terjadi. Selanjutnya, struktur kalimat yang terjadi pada anak-anak dwibahasawan adalah lesapnya unsur subjek, predikat dan objek. Meskipun demikian, lesapnya unsur-unsur kalimat tersebut masih dapat dianggap wajar karena hal itu terjadi dalam konteks bahasa lisan atau hadirnya antara pembicara (komunikator) dan pendengar (komunikan). Kenyataan seperti ini juga dijelaskan oleh Rusyana (1984: 130), bahwa dalam penuturan lisan, pembicara dan pendengar ada dalam ruang dan waktu yang memberikan kemungkinan untuk berkontak secara langsung. Situasinya juga diketahui oleh kedua belah pihak. Andaikan ada yang tidak dipahami, dapat ditanyakan dan kemudian dijelaskan. Karena itu, walaupun ada yang jika dipandang dari kalimat-kalimat yang digunakan, tidak begitu jelas, ketidak jelasan itu mungkin sudah teratasi oleh pemahaman terhadap hubungan dalam peristiwa pembicaraan atau langsung dijelaskan oleh pembicara. Dengan demiklian, penyimpangan-penyimpangan struktur kalimat dan lesapnya unsur-unsur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan disebabkan oleh sifat bahasa lisan itu sendiri. Dengan kata lain, penyimpangan-penyimpangan struktur bahasa lisan yang digunakan anak-anak dwibahasawan SD masih dalam batas kewajaran.
Berbagai uraian di atas pada dasarnya terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang paling dominan karena pada umumnya masyarakat Indonesia, termasuk juga anak-anak sekolah dasar tergolong masyarakat dwibahasawan. Sebagai masyarakat dwibahasawan tentunya mereka mampu menggunakan lebih dari satu bahasa. Keadaan seperti ini tentu akan mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia mereka dalam komunikasi sehari-hari, baik dalam tataran formal ataupun nonformal.
Kedwibahasaan seseorang di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari kemampuannya menggunakan dua bahasa atau lebih. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih, yang pertama kali mempengaruhi mendasari bahasa seseorang umumnya adalah bahasa ibu. Bahasa ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya diperoleh dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Kecenderungan pemakaian bahasa ibu atau bahasa pertama sangat tergantung pada bahasa yang paling dominan dipergunakan di tengah-tengah masyarakat. Terutama di daerah-daerah pedesaan, biasanya yang dominan adalah bahasa ibu daerah. Dalam rentang waktu selanjutnya, sesuai dengan usianya kemudian seseorang akan mempelajari bahasa kedua. Bagi anak-anak, hal ini akan dialami apabila anak-anak mulai masuk sekolah. Dari perjalanan waktu dan usia sekolah itulah, maka akan diperoleh dan dikuasai bahasa kedua, sehingga mereka dapat menguasai lebih dari satu bahasa.
Sebagian besar masyarakat, termasuk anak-anak sekolah dasar kebanyakan berbahasa ibu bahasa daerah. Meskipun anak-anak telah memasuki sekolah, karena sebagian besar masyarakat menggunakan bahasa daerah, maka pemakaian bahasa daerahlah yang cenderung dominan dalam berkomunikasi. Hal ini terbukti karena bahasa daerah lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan bahasa yang lain, misalnya bahasa Indonesia. Dengan demikian, kita tidak heran bila kalau bahasa daerah atau bahasa percakapan akan mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia penuturnya.
5.    Ragam Bahasa Lisan yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Pada bagian terdahulu telah diuraikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lisan dalam situasi formal atau resmi hendaknya digunakan ragam bahasa baku. Demikian juga, dalam proses belajar mengajar di kelas, karena dituntut penggunaan bahasa yang cermat terutama terkait dengan keperluan keilmuan, maka hendaknya menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Namun, tidak dapat disangkal bahwa seseorang (dwibahasawan) akan mengalihkan atau mencampurkan bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan pada saat komunikasi sedang berlangsung.
Hal tersebut di atas dapat terjadi karena berbagai alasan. Alasan-alasan itu, antara lain agar pembicaraan dapat berlangsung komunikatif, untuk menunjukan status sosialnya, dan kesulitan mencari padanan kata. Senada dengan hal ini, Grosjean (1982: 149) menjelaskan, bahwa kegiatan beralih bahasa (kode) terjadi manakala dwibahasawan kekurangan fasilitas pada suatu bahasa pada saat dwibahasawan itu mengemukakan suatu topik. Alih kode juga terjadi sewaktu dwibahasawan menemukan kata yang sulit diungkapkannya tidak ada padanan yang tepat. Selanjutnya alih kode sering terjadi ketika dwibahasawan sedang dalam keadaan lelah, atau sedang marah.
Berdasarkan deskripsi dan hasil analisis data ditemukan pergantian bahasa dalam ujian lisan anak-anak dwibahasawan ketika berinteraksi atau mengikuti pelajaran di kelas, yaitu pergantian penggunaan ragam baku keragam tidak baku atau sebaliknya. Pergantian ragam baku ke ragam tidak baku terjadi apabila interaksi terjadi antar anak-anak atau antara anak dan guru yang sebahasa ibu. Adapun faktor lain yang menyebabkan timbulnya peralihan bahasa (kode) tersebut disebabkan oleh kesulitan mencari padanan kata dan faktor situasi yang melingkupinya. Faktor-faktor situasional ini terjadi pada anak-anak dwibahasawan, khususnya ketika proses belajar-mengajar berlangsung, sementara mereka mengalami berbagai kendala.
Wujud kendala itu adalah berupa kesulitan-kesulitan tertentu, seperti pada saat merespon atau memahami materi pelajaran. Di samping itu, situasi kelas yang ramai, ribut, penat dan panas (jam pelajaran terakhir), maka mereka beralih bahasa (kode) ketika menyampaikan ujarannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suwito (1983: 149), bahwa ada kalanya terjadi kesenjangan penutur dengan situasinya. Pemakaian bahasa yang demikian biasanya tidak disadari dimaksudkan untuk mengubah situasi tertentu menjadi yang lain. Oleh karena itu, wajarlah apabila dalam ujaran anak-anak dwibahasawan SD terdapat ragam tidak baku ketika mengungkapkan kembali isi/materi pelajaran di kelas.
6.   Fungsi Bahasa yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan SD
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini berbagai penjelasan mengenai fungsi bahasa telah dapat dikemukakan para ahli bahasa. Bebereapa pakar memberikan penjelasan mengenai fungsi bahasa dilihat dari cara pandang masing-masing. Akan tetapi, penjelasan mengenai fungsi bahasa tersebut secara keseluruhan memiliki banyak persamaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, secara konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak dwibahasawan berfungsi (1) sebagai alat untuk berinteraksi atau interaksional, (2) merupakan alat untuk diri atau personal, (3) alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau heuristik, dan (4) untuk menyatakan imajinasi dan khayal. Selanjutnya, dilihat dari struktur kalimatnya penggunaan bahasa lisan anak-anak dwibahasawan berfungsi (1) untuk menyatakan perasaan atau ekspresi, (2) bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan atau jawaban, (3) untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran, dan (4) memberi atau membuat contoh.
Fungsi untuk menyatakan perasaan atau ekspresi dalam ujaran anak-anak dwibahasawan, antara lain ditandai oleh adanya rasa gembira, senang, kagum, atau kecewa. Ungkapan ini dapat tergambar pada kalimat (a) Aku sangat senang pergi bersama-sama keluarga, (b) Aduh, senagnya pengalaman waktu libur, dan (c) Pada saat aku mengamati gambar tugu monas aku heran melihat bangunan yang amat tinggi.
Fungsi untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran ini terkait secara kontekstual. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat tergambar pada kalimat (a) Paman Mus pergi bertransmigrasi karena Gunung Galunggung meletus. Sekarang masa depan Paman dan keluarganya terjamin, (b) Rumah Wangi terbakar karena ledakan kompor tetangganya, dan (c) Keamanan di Desa Pak Thomas sangat terganggu. Ayam di kandang hilang tanpa suara. Begitu pila kambing dan ternak lainnya. Akhir-akhir ini malingnya berani mencongkel jendela rumah Pak Lurah. Untung cepat diketahui, tapi maling itu melarikan diri. Berkaitan dengan fungsi ‘untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran’, fungsi ‘memberi atau membuat contoh’ pun berkaitan dengan topik dan situasi pembicaraan. Fungsi tersebut dapat digambarkan melalui kalimat (a) Ada anjungan dari berbagai daerah di Indonesia, Pak, (b) Kita mengadakan upacara di sekolah, di desa, di kecamatan, (c) Saya Pak, ada Burung Pipit, Kutilang, Bangau, dan (d) Saya Pak, perlombaan panjat pinang, lari karung, tarik tambang, baca puisi.
Fungsi ‘bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan, atau jawaban’ juga terjadi karena terikat oleh konteks pembicaraan. Pembicaraan tersebut berlangsung di kelas, ketika proses belajar-mengajar berlangsung antara murid dan guru. Hal ini dapat dilihat pada contoh-contoh kalimat (1) Judulnya liburan, Pak?, (2) Judulnya apa, Pak?, (3) Pahlawan juga, ya, Pak?, (4) Judulnya Ronda Malam, ya Bu?, (5) Di buku halaman berapa, Pak?, dan (6) Yang mana, Bu?…
Melihat kontek ujaran anak-anak dwibahasawan di atas, pada dasarnya masih terkait dengan fungsi-fungsi yang lain. Hal ini disebabkan oleh faktor materi pelajaran yang disampaikan di sekolah. Materi pelajaran bahasa Indonesia yang disajikan kepada murid pada umumnya berhubungan dengan masalah sosial, kebudayaan, ekonomi, pertanian, dan alam sekitar. Untuk itu, fungsi lain yang berkaitan, antara lain bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa dan kebudayaan ini mengemban fungsi kebudayaan. Fungsi kebudayaan itu mencakup fungsi bahasa sebagai (1) sarana pengembangan kebudayaan, (2) jalur penerus kebudayaan, dan (3) inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dalam konteks itu, bahasa merupakan unsur kebudayaan yang memungkinkan pengembangan dan perkembangan kebudayaan.
Apabila dikaitkan dengan pengajaran bahasa Indonesia, tampak jelas bahwa pengajaran bahasa Indonesia itu dimaksudkan untuk membuat anak didik mampu mengintegrasikan diri dalam masyarakat Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia diharapkan anak didik menjadi bagian utuh dari bangsa Indonesia. Sekaitan dengan itu, bahasa Indonesia adalah bahasa yang membuka jalan bagi kita menjadi anggota yang seutuhnya dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu sangat penting bagi lembaga pendidikan di sekolah dasar untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia kepada anak-anak.
7.    Pembelajaran Bahasa Lisan
Keterampilan berbicara menunjang pula keterampilan menulis sebab pada hakikatnya antara berbicara dan menulis terdapat kesamaan dan perbedaan. Dua-duanya bersifat produktif. Keduanya berfungsi sebagai penyampai, penyebar informasi. Bedanya terletak dalam media. Bila berbicara menggunakan media bahasa lisan maka menulis menggunakan bahasa tulisan. Namun keterampilan menggunakan bahasa lisan akan menunjang keterampilan bahasa tulis. Begitu juga kemampuan menggunakan bahasa dalam berbicara jelas pula bermanfaat dalam memahami bacaan. Apalagi dalam cara mengorganisasikan isi pembicaraan hampir sama dengan cara mengorganisasikan isi bacaan. Keterampilan berbicara bersifat mekanistis. Semakin sering dilatihkan semakin lancar orang berbicara. Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara harus melalui pengajaran berbahasa. Hal ini dapat berlangsung di dalam dan di luar sekolah.
Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara siswa di sekolah menjadi tanggung jawab guru-guru bahasa Indonesia. Mereka harus dapat menciptakan suasana dan kesempatan belajar berbicara bagi siswa-siswa. Mereka harus sabar dan tekun memotivasi dan melatih siswa berbicara. Karena itu guru bahasa Indonesia harus mengenal, mengetahui, menghayati, dan dapat menerapkan berbagai teknik, teknik atau cara mengajarkan keterampilan berbicara, sehingga pengajaran berbicara menarik, merangsang, bervariasi, dan menimbulkan minat belajar berbicara bagi siswa. Teknik pengajaran berbicara yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.
a.     Teknik Ulang – Ucap
Teknik ulang-ucap sangat baik digunakan dalam melatih siswa mengucapkan atau melafalkan bunyi bahasa kata, kelompok kata, kalimat, ungkapan, peribahasa, semboyan, kata-kata mutiara, paragraf, dan puisi yang pendek. Pada kelas-kelas rendah teknik ini biasa digunakan dalam melatih siswa mengucapkan fonem kata-kata, dan kalimat-kalimat yang pendek. Model ucapan harus jelas, jernih, dan tepat. Guru bahasa harus dapat menjadi model yang akan ditiru oleh siswa. Model ucapan ini dapat berupa ucapan langsung atau lisan dan dapat pula berupa rekaman. Berikut ini disajikan beberapa contoh dalam bentuk kegiatan guru dan siswa pada pembelajaran berbicara di Sekolah Dasar.
b.     Teknik Lihat – Ucap
Teknik lihat-ucap digunakan dalam merangsang siswa mengekspresikan hasil pengamatannya. Yang diamati dapat berbagai hal atau benda, gambar benda, atau duplikat benda. Pada kelas-kelas rendah benda yang diperlihatkan untuk diamati sebaiknya benda-benda yang dekat dengan kehidupan siswa. Lebih baik lagi bila benda itu nyata. Jadi bukan benda atau hal yang bersifat abstrak. Bila benda atau hal yang bersifat abstrak dapat diberikan pada kelas-kelas lanjutan.
c.    Teknik Deskripsi
Deskripsi berarti menggambarkan, melukiskan, atau memerikan sesuatu secara verbal. Teknik deskripsi digunakan untuk melatih siswa berani berbicara atau mengekspresikan hasil pengamatannya terhadap sesuatu. Melalui deskripsi ini, pembicara menggambarkan sesuatu secara verbal kepada para pendengarnya.
d.    Dramatisasi
Ada beberapa alasan yang melatar belakangi penggunaan strategi dramatisasi dalam pembelajaran bahasa lisan, yaitu sebagai berikut.
a) Dramatisasi memungkinkan dapat membangkitakan dorongan aktif siswa.
b) Dramatisasi memungkinkan dapat memberi peluang ekspresi yang kreatif dan melatih menggunakan bahasa lisan bagi siswa secara sempurna.
c) Melalui dialog memungkinkan siswa berinteraksi sosial dengan teman lain.
Berdasarkan alasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa berbahasa lisan lebih tepat jika disampaikan dengan menggunakan strategi dramatisasi. Ada beberapa keuntungan dari penggunaan strategi ini :
a) Menyajikan materi pelajaran lebih menarik.
b) Melatih kemampuan berbicara, sehingga pada kelas lebih tinggi ketrampian mengeluarkan pendapat lebih tampak.
c) Mengembangkan sikap sosial dan saling menghargai.
d) Pencapaian tujuan pembelajaran lebih mudah.
8.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Berbahasa Lisan
Di dalam berbahasa lisan tentu harus memiliki kemampuan yang kuat dalam berbicara, karena bahasa lisan tidak mudah di ucapkan apabila tidak adanya kemampuan dalam berbicara. Kenyataannya bahasa lisan masih sangat perlu dikembangkan lagi. Jadi bagi seorang pendidik harus benar-benar menguasai atau mempelajari bagaimana seharusnya berbahasa lisan di sekolah dasar ditingkatkan bahasa lisan sangat perlu di kembangkan di sekolah dasar yang tujuannya agar setiap anak berani mengemukakan pandangan dan pendapatnya baik dilingkungan sekolah maupun di luarnya.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi siswa dalam berbahasa lisan adalah kekurangan interaksi antara murid dengan pendidiknya sehingga siswa tidak mendengar pembicaraan dari gurunya dan tidak termotivasi dalam melakukan proses pembelajaran. Dalam berbahasa lisan proses menyimak mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan siswa dalam berbahasa lisan adapun faktor yang mempengaruhi diantaranya:
a. kurangnya minat siswa dalam membaca.
b. tidak adanya kemampuan dalam mendengar.
c. sedikitnya keterampilan dalam berbicara.
d. kurangnya motivasi dalam melakukan proses pembelajaran.
Dari penjelasan diatas itu merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi siswa dalam meningkatkan kemampuan berbahasa lisan, untuk itu bagi pendidik harus mempunyai beberapa kriteria yang dapat meningkatkan keterampilan berbahasa lisan siswa.
9.   Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Lisan
Dalam meningkatkan kemampuan berbahasa lisan sangat penting sekali memahami beberapa sumber yang relevan, yang mampu meningkatkan keterampilan berbahasa anak dan bagi seorang pendidik harus juga melihat bagaimana karakter siswa dalam menyampaikan informasi atau menerima informasi dari sumber yang ia peroleh, dari semua anak tidak ada yang memiliki kemampuan yang sama dalam mengembangkan keterampilan berbahasanya. Untuk itu dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa sangat penting yaitu keterlibatan siswa berinteraksi dengan lingkungannya atau sumber media yang relevan, yang mampu meningkatkan siswa dalam berbahasa lisan seperti contoh menyimak melalui acara televisi atau radio. Dari menyimak itu anak mampu menangkap beberapa hal atau memberi tanggapan-tanggapan yang berkaitan dengan pembelajaran yang telah disimak sehingga dari belajar tersebut anak terbiasanya mengungkapkan pemikiran secara lisan berdasarkan topik yang telah disimak.
Dalam meningkatkan kemampuan berbahasa lisan, setiap anak harus berperan aktif dalam melakukan proses belajar mengajar, baik dalam menjelaskan, mengemukakan pendapat, bertanya, menjawab pertanyaan dan sebagainya. Setiap anak memiliki dorongan untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya Berdasarkan imformasi yang telah didapatkan. Di samping itu menyimak juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa lisan, karena dari proses menyimak setiap anak akan terlatih dalam memperhatikan pembicaraan orang lain serta mengemukakan beberapa pandangannya. Selanjutnya dari proses itu akan terbentuk kebiasaan memahami, dan menanggapi secara kritis pembicaraan orang lain sehingga anak itu menimbulkan kemampuan dalam berbahasa lisan.
Strategi lain yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa lisan adalah dengan menggunakan permainan bahasa lisan. Bermain merupakan sarana yang cukup efektif untuk belajar. Dalam suasana bermain, perhatian anak terhadap pelajaran akan lebih menarik, lebih menyenangkan, lebih bermakna dan berkesan. Ciri khusus dan permainan Bahasa Lisan adalah mengembangkan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang ditempuh dengan langkah yang menyenangkan dan mengembirakan.
Ellis (lewat Numan, 1991: 46) mengemukakan adanya tiga cara untuk mengembangkan secara vertikal dalam meningkatkan kemampuan berbicara:
• Menirukan pembicaraan orang lain.
• Mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai.
• Mendekatkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa yang sudah benar.
Upaya untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Indonesia di sekolah, dapat dilaksanakan program sebagai berikut :
a.    Guru menjadi model yang baik untuk dicontoh oleh siswa
Siswa sangat membutuhkan suatu model guru yang dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Guru hendaknya memberikan contoh konkret dengan keteladanan dalam berbahasa. Agar siswa dapat menirukan dan melafalkan kata atau kalimat dengan tepat sesuai kaidah yang berlaku.
b.    Menerapkan pembelajaran dengan pendekatan Modeling The Way
Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia perlu menerapkan pendekatan modeling the way (membuat contoh praktik). Strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan keterampilan berbicara bahasa Indonesia melalui demonstrasi, dari hasil demonstrasi ini kemudian diterapkan dalam keseharian di sekolah, yaitu siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil, identifikasi beberapa situasi umum yang biasa siswa lakukan di ruang kelas dan luar kelas dalam berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar, kemudian siswa mendemonstrasikan satu persatu dalam berbicara bahasa Indonesia.
c.    Adanya penilaian keterampilan berbicara bahasa Indonesia
Walaupun pelaksanaannya di luar kegiatan belajar mengajar tetapi guru harus mengadakan penilaian keterampilan berbicara pada kesehariannya. Penilaian ini akan menjadi motivasi bagi siswa untuk berusaha mempraktikkannya baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian siswa termotivasi untuk melakukan perbuatan yang sama bahkan berusaha meningkatkannya.
d.    Sekolah Membuat Program Sehari Berbahasa Indonesia
Program sehari berbahasa di tiap sekolah merupakan kondisi eksternal yang efektif untuk mempraktikkan keterampilan berbahasa.
10.  Strategi pembelajaran dalam meningkatkan keterampilan berbahasa lisan
Tujuan pembelajaran berbicara di SD adalah melatih siswa dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara, misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan, menceritakan kembali isi cerita yang pernah dibaca atau didengar, bermain peran, pidato.
Banyak cara untuk meelaksanakan pembelajaran berbicara di SD, misalnya siswa diminta merespons secara lisan gambar yang diperlihatkan guru, bermain tebak-tebakan, menceritakan isi bacaan, bertanya jawab, membicarakan kaidah sebuah puisi, melanjutkan cerita guru, berdialog, dan sebagainya. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan bahwa pembelaran berbicara harus dikaitkan dengan pembelajaran keterampilan lainnya.
Kesempatan yang baik untuk mengembangkan keterampilan berbicara ialah pada tahap publikasi dalam proses menulis. Banyak anak yang senang mengubah karangannya dalam bentuk drama pendek yang diperankan dikelas. Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan bepikir anak-anak ialah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka kepada mereka.
Segera setelah anak-anak mulai dapat berpikir tentang proses mereka sendiri dalam berpikir, mereka siap untuk menggunakan strategi berpikir yang khas, misalnya membedakan fakta dan pendapat, mengenal hubungan sebab akibat, dan melakukan kegiatan berpikir yang lebih sulit yaitu menilai hasil, mengevaluasi argumen, dan menyelidiki hal-hal yang melandasi tanggapan emosional (Yeager, 1991:102). Keterampilan berbicara lebih mudah dikembangkan apabila murid-murid memperoleh kesempatan untuk mengkomunikasikan sesuatu secara alami kepada orang lain dalam kesempatan-kesempatan yang bersifat informal.
• Berpartisipasi dalam Diskusi. Diskusi kelompok merupakan teknik yang paling sering digunakan sebagai teknik pengembangan bahasa lisan yang menuntut kemampuan murid untuk membuat generalisasi dan mengajukan pendapat-pendapat mengenai suatu topik atau permasalahan.
• Strategi pembelajaran berbahasa lisan dan penerapannya melaui kegiatan bercerita dan dramatisasi kreatif. Berbicara merupakan keterampilan berbahasa lisan yang amat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berbicara kita dapat memperoleh dan menyampaikan informasi. Oleh sebab itu, setiap orang, lebih-lebih siswa, dituntut keterampilannya untuk mampu berbicara dengan baik.
Guru yang berpengalaman dan kreatif rasanya tidak akan mengalami kesulitan dalam memilih strategi yang tepat untuk melaksanakan tugas itu. Agar strategi yang dipilih dan diterapkan dapat mencapai sasarannya perlu diperhatikan beberapa prinsip yang melandasi pembelajaran berbahasa lisan seperti berikut :
a. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mempunyai tujuan yang jelas yang diketahui oleh guru dan siswa.
b. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan disusun dari yang sederhana ke yang lebih kompleks, sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.
c. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mampu menumbuhkan partisipasi aktif terbuka pada diri siswa.
d. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus benar-benar mengajar bukan menguji. Artinya, skor yang diperoleh siswa harus dipandang sebagai balikan bagi guru.
Agar pembelajaran berbahasa lisan memperoleh hasil yang baik, strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memenuhi criteria berikut :
a. Relevan dengan tujuan pembelajaran.
b. Menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
c. Mengembangkan kreativitas siswa secara individual ataupun kelompok.
d. Memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
e. Mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
f. Mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakannya peralatan yang rumit.
g. Menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.
11.   Kendala dalam upaya meningkatkan keterampilan berbahasa lisan
Salah satu faktor yang menimbulkan kesulitan dalam berbicara adalah yang datang dari teman bicara. Apabila teman bicara tidak dapat menangkap makna pembicaraan maka tujuan komunikasi tidak tercapai. Disamping itu, usaha untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Indonesia di sekolah akan ditemui hambatan yang datang dari lingkungan sekolah itu sendiri, antara lain :
a. Adanya pandangan guru bahwa berbicara bahasa Indonesia dalam keseharian di sekolah itu tidak lazim. Hal ini tercermin ketika dalam pergaulan sehari-hari mereka enggan berbicara bahasa Indonesia bahkan dengan lugasnya berbicara seenaknya.
b. Belum adanya penilaian bagi siswa yang berbicara bahasa Indonesia. Keadaan yang demikian menimbulkan sikap apatis pada diri siswa karena merasa tidak ada gunanya baik yang berbicara bahasa Indonesia maupun yang tidak.
c. Tidak adanya program berbahasa Indonesia dari lembaga pendidikan. Untuk sementara ini pada setiap lembaga pendidikan belum ada yang mempunyai inisiatif memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Entah karena gengsi atau merasa bahasa Indonesia tidak terkenal.
12. Peran Guru Dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Lisan
Biasanya guru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berbicara dan kurang memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Baik dalam kegiatan yang bersifat klasikal maupun dalam kegiatan kelompok. Dalam pembelajaran bahasa secara holistik, (berdasarkan pandangan, whole language) situasinya jauh berbeda, setiap anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan mengajar (menjelaskan, mengemukakan pendapat, bertanya, menjawab pertanyaan, dan sebagainya). Baik guru maupun murid bertanggung jawab untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya. Dengan demikian setiap anak mengerti bahwa menyimak merupakan bagian yang penting sekali untuk mengembangkan Keterampilan Berbahasa Lisan.
Pemberian kesempatan kepada murid untuk saling menyampaikan pendapatnya secara lisan dalam bentuk diskusi sangat besar artinya, kesempatan ini juga dapat merupakan latihan untuk murid mengemukakan kritik yang konstruktif. Agar pembelajaran berbahasa lisan memperoleh hasil yang baik, srategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. relevan dengan tujuan pembelajaran.
b. menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
c. mengembangkan kreativitas siswa secara individual atau kelompok.
d. memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
e. mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan pembelajaran yang telah di tetapkan.
f. mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakan peralatan yang rumit.




RPS 6

Cakupan Materi Ajar Bahasa Indonesia SD
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, baik reseptif maupun produktif, yang diharapkan dapat menunjang keberhasilan siswa dalam mempelajari bidang studi lain (Azmy, Bahauddin. 2012:2).
Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh murid terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Cakupan materi ajar Bahasa Indonesia SD terdiri dari aspek kebahasaan, keterampilan, dan kesusastran. Aspek kebahasaan meliputi sistem bunyi (fonem), kata (morfem), kalimat (sintkas) sampai makna (semantik). Aspek keterampilan meliputi  keterampilan reseptif (menyimak dan membaca) dan keterampilan produktif (berbicara dan menulis). Sedangkan aspek kesusastraan meliputi puisi, rosa, dan drama.
Bahan ajar atau materi ajar merupakan seperangkat materi pembelajaran
(teaching materials) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari
kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran (website
Dikmenjur Depdiknas). Ketersediaan bahan ajar merupakan tanggung jawab pendidik yang berfungsi sebagai pedoman bagi pendidik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa; pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya; dan alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran (Direktorat Pembinaan SMA, 2008: 6)
2.1.1  Kebahasaan
Aspek kebahasaan bahasa Indonesia meliputi, aspek bunyi, bentukan kata, kalimat, dan makna. Aspek kebahasaan tidak secara eksplisit dituangkan di dalam KTSP, namun dalam pembelajaran bahasa Indonesia aspek kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari komponen keterampilan berbahasa dan bersastra. Aspek kebahasaan merupakan unsur pembentuk bahasa yang dipakai dalam kegiatan berbahasa. Pembelajaran aspek kebahasaan bukan hal yang dapat begitu saja ditinggalkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, namun juga bukan berarti dominasi pembelajaran bahasa dilakukan pada aspek kebahasaan (Azmy, Bahauddin. 2012:7).
Materi pembelajaran kebahasaan, meliputi bunyi atau huruf, lafal, intonasi, kata, kalimat, dan makna. Materi pembelajaran kebahasaan di kelas awal SD meliputi pengenalan bunyi atau huruf, lafal, intonasi, kata, dan kalimat sederhana. Materi pembelajaran kebahasaan di kelas tinggi SD, meliputi merangkai kata menjadi kalimat dengan bahasa yang baik dan benar (ejaan yang tepat dan pilihan kata yang tepat dan santun).
a. Bunyi (Fonem)
Fonem adalah unsur bahasa yang terkecil dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1961: 9).
b. Lafal
Lafal adalah suatu cara seseorang atau sekelompok orang dalam mengucapkan bunyi bahasa. Bunyi bahasa Indonesia meliputi vokal, konsonan, diftone, gabungan konsonan.
c. Intonasi
Intonasi adalah naik turunnya lagu kalimat. Intonasi berfungsi sebagai pembentuk makna kalimat
d. Kata (Morfem)
Morfem adalah bentuk terkecil yang dapat membedaka makna dan atau mempunyai makna. Wujud morfem dapat berupa imbuhan, klitika, partikel dan kata dasar (misalnya –an, -lah, -kah, bawa). Sebagai kesatuan pembeda makna, semua contoh wujud morfem tersebut merupakan bentuk terkecil dalam arti tidak dapat lagi dibagi menjadi kesatuan bentuk yang lebih kecil. (Lamuddin, 2012:4)
Menurut bentuk dan maknanya, morfem dikelompokkan menjadi 2 yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas, yaitu morfem yang berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua kata dasar tergolong morfem bebas. Morfem terikat, yaitu morfem tidak dapat berdiri sendiri dari segi makna. (Lamuddin, 2012:5)
Makna morfem terikat baru jelas setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem lainnya. Semua imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta kombinasi awalan dan akhiran) tergolong sebagai morfem terikat. Selain itu unsur-unsur kecil seperti klitika, partikel, dan bentuk lain yang tidak dapat berdiri sendiri, juga tergolong sebagai morfem terikat.

e. Kalimat (Sintkas)
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh . kalimat ada yang berupa fakta ada pula yang berupa opini. (Widjono, 2010:11)
Kalimat fakta adalah kalimat yang berisi peristiwa atau berita yang pasti. Mempunyai data yang valid dan dapat dibuktikan. Sedangkan kalimat opini adalah kalimat pernyataan yang berupa perkiraan atau pendapat terhadap suatu hal baik yang tidak pasti atau belum terjadi, tidak membutuhkan data yang valid dan bersifat subjektif.
2.1.2  Keterampilan Berbahasa
Komunikasi menurut Tohir, Muhammad (2011) adalah hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dalam melakukan interaksi komunikasi, manusia tidak bisa terlepas dari komunikasi lisan dan tulisan. Dilihat dari segi aktivitas, ketrampilan komunikasi terbagi menjadi dua yaitu ketrampilan reseptif dan ketrampilan produktif. Ketrampilan reseptif yang terdiri dari membaca dan mendengarkan tidak bisa dipisahkan dengan berbicara dan menulis yang merupakan ketrampilan produktif. Produktif adalah sikap aktif dari manusia dalam menghasilkan sesuatu yang telah diperolehnya.
1.      a.      Aspek Keterampilan Berbahasa Reseptif
Aspek keterampilan berbahasa reseptif meliputi mendengarkan/menyimak dan membaca.
1. Mendengarkan/Menyimak
Menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam bentuk reseptif lisan. Menyimak dapat diartikan sebagai aktivitas penggunaan alat pendengaran secara sengaja yang bertujuan untuk memperoleh pesan atau makna dari apa yang disimak.  Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan
untuk keterampilan menyimak adalah memahami wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk, pesan, pengumuman, berita, deskripsi berbagai
peristiwa dan benda di sekitar, serta karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun dan cerita rakyat (Azmy, Bahauddin. 2012:9).
Mendengarkan/menyimak dapat terjadi dalam 2 situasi yang berbeda, yaitu secara interaktif dan non-interaktif. Mendengarkan/menyimak secara interaktif terjadi dalam percakapan tatap muka melalui telepon/sejenisnya dimana komunikasi terjadi secara bergantian antara penutur yang satu dengan penutur yang lainnya (2 orang/lebih) yang melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara sehingga memiliki kesempatan bertanya guna mendapatkan penjelasan, meminta lawan bicara mengulang apa yang telah diucapkan/meminta penutur untuk melambatkan tempo bicaranya.
Mendengarkan/menyimak secara non-interaktif berlangsung tanpa ada penutur yang berhadapan langsung dengan penuturnya. Situasi ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak dapat meminta pembicara mengulangi apa yang diucapkannya, dan tidak dapat meminta pembicaraan diperlambat.
2. Membaca
Membaca adalah keterampilan reseptif bahasa tulis yang bertujuan untuk memahami isi bacaan dan maksud penulisnya (Mulyati, 2008).  Membaca merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam bentuk reseptif tulis. Keterampilan membaca merupakan modal dasar yang sangat krusial untuk menunjang keberhasilan belajar siswa. Kurang terampilnya siswa dalam membaca dapat menyebabkan terhambatnya siswa untuk mempelajari bidang studi lain. Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk keterampilan membaca adalah menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa petunjuk, teks panjang, dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
Membaca dikelmpokkan menjadi 2 bagian yaitu membaca permulaan dan membaca lanjut. Membaca permulaan adalah tahap awal dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal symbol-simbol atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf, sehingga menjadi pondasi agar dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut (Dalwadi, 2002). Sedangkan membaca lanjut adalah anak tidak sekedar mengenal symbol atau tanda-tanda tapi sudah mulai mempergunakannya untuuk membaca kata atau kalimat sehingga anak memahami apa yang dibacanya (Amin, 1995).
Pada tahap membaca permulaan anak lebih diarahkan kepada membaca huruf atau kata (Shodiq, 1996). Tahap membaca permulaan dilakukan pada masa peka yaitu usia enam atau tujuh tahun bagi anak normal dan sembilan tahun bagi anak tunagrahita. Tahap membaca permulaan merupakan saat kritis dan strategis dikembangkannya kemampuan membaca tanpa teks yaitu membaca dengan cara menceritakan gambar situasional yang tersedia.
1.      b.      Aspek Keterampilan Berbahasa Produktif
1. Berbicara
Berbicara merupakan keterampilan berbahasa lisan yang bersifat produktif. Jenis situasi dalam berbicara meliputi: 1) sistuasi interaktif, missalnya percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya aktivitas pergantian antara berbica ra dan mendengarkan; 2) situasi semi-interaktif, misalnya sitiuasi berpidato dihadapan umum secara langsung. Audiens memang tidak dapat melakuka interupsi terhadap pembicara, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka; dan 3) situasi non-interaktif, misalnya berpidato lewat radio/TV. Audiens sama sekali tidak bisa melakukan komunikasi secara langsung dengan narasumber karena berada dalam dua dimensi media yang berbeda.
2. Menulis
Menulis merupakan salah satu aspek kemamouan berbahasa yang bersifat produktif. Kemampuan ini biasanya hadir setelah seseorang diidentifikasi mampu menguasai tiga kemampuan berbahasa lainnya. Kemampuan membaca seseorang biasanya sangat berpengaruh terhadap tingkat kemampuan menulis seseorang.
Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam bentuk kegiatan produktif tulis. Menulis dapat diartikan sebagai kegiatan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk tulis. Keterampilan menulis juga memegang peranan penting bagi keberhasilan belajar siswa. Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk keterampilan menulis adalah melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan, parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan pantun.


2.1.3  Kesusastraan
Pengertian sastra menurut Sumarno dan Saini (dalam situsnya http://sugikmaut.blog.com/) adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa. Pembelajaran sastra di SD ditekankan pada apresiasi sastra Indonesia, khususnya pada apresiasi sastra anak. Yang dimaksud dengan sastra anak adalah karya sastra untuk konsumsi anak, yang dapat ditulis oleh orang dewasa maupun oleh anak. Seperti halnya karya sastra secara umum, sastra anak juga meliputi puisi anak, cerita anak, dan drama anak.
a. Puisi
Salah satu materi karya sastra anak adalah puisi. Karakteristik puisi adalah
adanya baris, bait, dan penggunaan bahasa yang indah. Dalam pembelajarannya, puisi dapat dipakai sebagai media apresiasi reseptif maupun produktif. Unsur-unsur yang ada dalam puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
b. Prosa
Kata prosa berasal dari bahasa latin “prosa” yang artinya “terus terang”. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat. Sedangkan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun. Jenis prosa lama meliputi: hikayat, kisah, dongeng, dan cerita berbingkai. Sedangkan jenis prosa baru meliputi: roman, novel, cerpen, riwayat, kritik, resensi, esai (http://id.wikipedia.org/wiki/Prosa).
c. Drama
Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa Yunani). Sedangkan dramatik adalah jenis karangan yang dipertunjkkan dalam suatu tingkah laku, mimik, dan perbuatan. Orang yang memainkan drama disebut actor atau lakon (http://dhono-wareh.blogspot.com/2012/04/pengertian-drama-adalah.html). Drama sebagai karya sastra sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan. Dengan demikian tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca novel atau puisi. Pokok drama ialah cerita yang membawakan tema tertentu, diungkapkan oleh dialog dan perbuatan para pelakunya. Dialog dalam drama dapat berbentuk bahasa prosa maupun puisi.

2.2  Pembelajaran Bahasa Indonesia secara Terpadu
Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep dapat diartikan sebagai pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami (Resmini, Novi. 2008:3).
Penerapan pendekatan pembelajaran terpadu di sekolah dasar bisa disebut sebagai suatu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan, terutama dalam rangka mengimbangi gejala penjejalan isi kurikulum yang sering terjadi dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah kita. Penjejalan isi kurikulum tersebut dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan anak, karena terlalu banyak menuntut anak untuk mengerjakan aktivitas atau tugas-tugas yang melebihi kapasitas dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, anak kehilangan sesuatu yang seharusnya bisa mereka kerjakan. Jika dalam proses pembelajaran, anak hanya merespon segalanya dari guru, maka mereka akan kehilangan pengalaman pembelajaran yang alamiah dan langsung (direct experiences).
Fokus perhatian pembelajaran terpadu terletak pada proses yang ditempuh siswa saat berusaha memahami isi pembelajaran sejalan dengan bentuk-bentuk keterampilan yang harus dikembangkannya (Aminuddin, 1994). Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian pembelajaran terpadu dapat dilihat sebagai:
1.      Pembelajaran yang beranjak dari suatu tema tertentu sebagai pusat perhatian (center of interest) yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang berasal dari mata pelajaran yang bersangkutan maupun dari mata pelajaran lainnya
2.      Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai mata pelajaran yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak
3.      Suatu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak secara serempak (simultan)
4.      Merakit atau menggabungkan sejumlah konsep dalam beberapa mata pelajaran yang berbeda, dengan harapan siswa akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa secara terpadu di sekolah dasar, terutama pada saat penggalian tema-tema. Dalam proses penggalian tema-tema perlu diperhatikan prinsip-prinsip yang meliputi: 1) tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan mata pelajaran; 2) tema harus bermakna, maksudnya tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya; 3) tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa; 4) tema yang dikembangkan harus mampu menunjukkan sebagian besar minat siswa; 5) tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar; 6) tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang berlaku serta harapan masyarakat; dan 7) tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar.

2.3  Temuan Materi Ajar Bahasa Indonesia SD dikaitkan dengan GBPP/Silabus
Di dalam kurikulum mata pelajaran Bahsa Indonesia SD kelas IV semester 2 terdapat 4 Standar Kompetensi dengan 10Kompetensi Dasar. Cakupan materi ajar yang ada di dalam buku paket Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas IV yang ditulis oleh Umri Nur Aini sudah sesuai dengan materi yang ada di silabus (kurikulum) tersebut. Adapun materi yang terdapat di dalam buku tersebut meliputi kebahasaan (bunyi, lafal, intonasi, kata, kalimat, dan makna); keterampilan berbahasa (pemahaman dan penggunaan); dan kesusastraan (pantun).
2.4  Keterkaitan Materi Ajar Bahasa Indonesia dengan Materi Ajar Bidang Studi yang Lain
Materi ajar yang ada di dalam buku paket Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas IV yang ditulis oleh Umri Nur Aini memiliki keterkaitan dengan materi ajar bidang studi yang lain. Adapun contohnya adalah sebagai berikut.
1.      Tema 4: pekerjaan berkaitan dengan mata pelajaran IPS dan Pendidikan Agama Islam.
·         Teks bacaan tentang lowongan pekerjaan berkaitan dengan mata pelajaran IPS. Karena di dalam teks tersebut berisi tentang pokok bahasan ilmu ekonomi, sosiologi, geografi, dan sejarah yang semuanya ada di mata pelajaran IPS SD.
·         Teks bacaan pantun nasehat berkaitan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Karena pantun tersebut berisi perintah untuk menunaikan sholat.
1.      Tema 8: budi pekerti berkaitan dengan mata pelajaran PKn dan IPS
·         Teks bacaan pantun nasehat berkaitan dengan mata pelajaran PKn. Karena pantun tersebut berisi perintah untuk saling tolong menolong antar sesama. Dalam tema 8 juga terdapat teks bacaan tentang kejujuran, dimana kejujuran merupakan pokok bahasan mata pelajaran PKn SD.
·         Teks bacaan yang berisi pengumuman pengadaan bakti sosial berkaitan dengan mata pelajaran IPS dan PKn. Karena kegiatan tersebut bentuk dari sosialisasi yang merupakan pokok bahasan ilmu sosiologi yang termasuk dalam mata pelajaran IPS SD.  Bakti sosial  juga merupakan bentuk tenggang rasa, yang merupakan pokok bahasan PKn.
1.      Tema 9: informasi berkaitan dengan mata pelajaran Penjasorkes dan PKn,
·         Teks bacaan pantun nasehat berkaitan dengan mata pelajaran penjasorkes. Karena pantun tersebut berisi perintah untuk berolahraga.
·         Teks bacaan yang berjudul “Sesudah suatu Kegagalan” berkaitan dengan mata pelajaran PKn. Karena teks bacaan tersebut memberikan amanat kepada pembaca agar tidak mudah putus asa.
1.      Tema 10: lingkungan berkaitan dengan mata pelajaran  PKn.
·         Teks pengumuman mengenai menghadiri rapat berkaitan dengan mata pelajaran PKn. Karena rapat adalah salah satu bentuk dari musyawarah.
1.      Tema 11: komunikasi berkaitan dengan mata pelajaran IPS.
·         Teks pengumuman mengenai lomba baca puisi tema kemerdekaan berkaitan dengan mata pelajaran IPS. Karena kemerdekaan adalah salah satu pokok bahasan dalam mata pelajaran IPS.





RPS 7 Hakek Menyimak

Sebelum mendeskripsikan teknik pengajaran menyimak di Sekolah Dasar, dipandang perlu untuk memaparkan terlebih dahulu tentang hakikat menyimak.
1.    Pengertian Menyimak
Menyimak adalah proses mendengarkan dengan penuh pemahaman, apresiasi dan evaluasi. Dalam proses menyimak, diawali dengan kegiatan mendengarkan bahan simakan oleh siswa (penyimak), selanjutnya bahan simakan dipahami berdasarkan tingkat pemahaman siswa yang dimaksud, kemudian dalam proses pemahaman tersebut terjadi proses evaluasi – menghubungkan antara topik yang disimak dengan pengalaman dan/atau pengetahuan yang dimiliki siswa. Setelah proses tersebut selesai, barulah siswa memberikan respon terhadap isi bahan yang disimaknya. Jadi dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan kegiatan yang disengaja melalui proses mendengar untuk memahami bunyi-bunyi bahasa, sedangkan mendengar adalah kegiatan yang dilakukan hanya sekedar tahu tetapi tidak memahami bunyi-bunyi bahasa yang disimak.
2.    Tujuan Menyimak
Secara umum tujuan menyimak ada dua macam, yaitu tujuan bersifat khusus dan tujuan bersifat umum. Adapun tujuan yang bersifat khusus adalah untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran. Namun tujuan yang bersifat umum tersebut dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek tertentu yang ditekankan. Adapun tujuan menyimak menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a. Mendapatkan fakta
Mendapatkan fakta dapat dilakukan melalui penelitian, riset, eksperimen, dan membaca. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menyimak melalui radio, tape recorder, TV, dan percakapan.
b. Menganalisis fakta
Fakta atau informasi yang telah terkumpul dianalisis. Kaitannya harus jelas pada unsur-unsur yang ada, sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Apa yang disampaikan penyimak harus dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman penyimak dalam bidang yang sesuai.
c. Mendapatkan inspirasi
Dapat dilakukan dalam pertemuan ilmiah atau jamuan makan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ilham. Penyimak tidak memerlukan fakta baru. Mereka yang datang diharapkan untuk dapat memberikan masukan atau jalan keluar berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
d. Menghibur diri
Para penyimak yang datang untuk menghadiri pertunjukkan sandiwara, musik untuk menghibur diri. Mereka itu umumnya adalah orang yang sudah jenuh atau lelah sehingga perlu menyegarkan fisik, mental agar kondisinya pulih kembali.
3.    Jenis-jenis Menyimak
Jenis menyimak dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Menyimak Ekstensif
Menyimak ekstensif merupakan kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang umum dan bebas terhadap suatu bahasa. Dalam prosesnya di sekolah tidak perlu langsung di bawah bimbingan guru. Pelaksanaannya tidak terlalu dituntut untuk memahami isi bahan simakan. Bahan simakan perlu dipahami secara sepintas, umum, garis besarnya saja atau butir-butir yang penting saja. Jenis menyimak ekstensif dapat dibagi empat, yaitu sebagai berikut.
1)      Menyimak sekunder
Menyimak sekunder adalah sejenis mendengar secara kebetulan, maksudnya menyimak dilakukan sambil mengerjakan sesuatu.
2)      Menyimak estetik
Dalam menyimak estetik penyimak duduk terpaku menikmati suatu pertunjukkan misalnya, lakon drama, cerita, puisi, baik secara langsung maupun melalui radio. Secara imajinatif penyimak ikut mengalami, merasakan karakter dari setiap pelaku.
3)      Menyimak pasif
Menyimak pasif merupakan penyerapan suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya penyimak pada saat belajar dengan teliti. Misalnya, seseorang mendengarkan bahasa daerah, setelah itu dalam kurun waktu dua atau tiga tahun berikutnya orang itu sudah dapat berbahasa daerah tersebut.
4)      Menyimak sosial
Menyimak ini berlangsung dalam situasi sosial, misalnya orang mengobrol, bercengkrama mengenai hal-hal menarik perhatian semua orang dan saling menyimak satu dengan yang lainnya, untuk merespon yang pantas, mengikuti bagian-bagian yang menarik dan memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa yang dikemukakan atau dikatakan orang.
b. Menyimak Intensif
Menyimak intensif adalah kegiatan menyimak yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh konsentrasi untuk menangkap makna yang dikehendaki. Menyimak intensif ini memiliki ciri-ciri yang harus diperhatikan, yakni: (a) menyimak intensif adalah menyimak pemahaman, (b) menyimak intensif memerlukan konsentrasi tinggi, (c) menyimak intensif ialah memahami bahasa formal, (d) menyimak intensif diakhiri dengan reproduksi bahan simakan. Adapun yang tergolong menyimak intensif ada lima, yaitu sebagai berikut.
1)      Menyimak kritis
Menyimak dengan cara ini bertujuan untuk memperoleh fakta yang diperlukan. Penyimak menilai gagasan, ide, dan informasi dari pembicara.
2)      Menyimak konsentratif
Menyimak konsentratif merupakan kegiatan untuk menelaah pembicaraan/hal yang disimaknya. Hal ini diperlukan konsentrasi penuh dari penyimak agar ide dari pembicara dapat diterima dengan baik.
3)      Menyimak kreatif
Menyimak kreatif mempunyai hubungan erat dengan imajinasi seseorang. Penyimak dapat menangkap makna yang terkandung dalam puisi dengan baik karena ia berimajinasi dan berapresiasi terhadap puisi itu.
4)      Menyimak interogatif
Menyimak interogatif merupakan kegiatan menyimak yang menuntut konsentrasi dan selektivitas, pemusatan perhatian karena penyimak akan mengajukan pertanyaan setelah selesai menyimak.
5)      Menyimak eksploratori
Menyimak eksploratori atau menyimak penyelidikan adalah sejenis menyimak dengan tujuan menemukan;
a)      hal-hal baru yang menarik,
b)      informasi tambahan mengenai suatu topik,
c)      isu, pergunjingan atau buah bibir yang menarik.
Metode Pembelajaran Menyimak
Pada dasanya terdapat banyak Metode Pembelajaran Menyimak di Sekolah Dasar kelas rendah di antaranya
1.      Metode berkisah
Diberikan oleh guru di depan kelas dengan membawakan sebuah kisah. Dongeng dan fabel dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran dengan metode berkisah. Metode berkisah tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dialog dan humor dengan suara berubah-ubah.
2.      Metode pembacaan
Pembacaan yang menarik dicontohkan oleh guru di depan kelas dapat mengundang perhatian siswa untuk ikut terlibat dan berempati dalam suasana karya sastra yang dibacanya. Siswa kelas 1-3 sekolah dasar dapat dengan cepat menangkap irama puisi atau cerita pendek yang dibacakan oleh gurunya tanpa menghiraukan maknanya.
3.      Metode tanya-jawab
Pertanyaan diberikan guru kepada siswa, setelah siswa itu mendengarkan cerita gutu atau menonton pertunjukan pentas karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk ukuran kelas rendah biasanya lebih sederhana seperti siapa tokoh dalah cerita tersebut ? dimana kisah tersebut terjadi ? dsb.
4.      Metode penugasan
Guru dapat memberi tugas membaca, mendengar, ataupun menonton pertunjukan karya sastra baik di dalam kelas ataupun sebagai pekerjaan rumah.

Teknik Pembelajaran Menyimak
Teknik atau cara pengajaran menyimak di Sekolah Dasar dapat dilakukan secara variatif untuk menghindari kesan yang monoton terhadap strategi mengajar guru di Sekolah Dasar. Selain itu, melalui penggunaan teknik menyimak yang beragam menjadikan pembelajaran lebih menarik bagi siswa. Adapun beberapa teknik menyimak yang dapat digunakan guru dalam proses belajar mengajar di Sekolah Dasar, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Teknik Ulang-Ucap (Menirukan)
Teknik ini biasa digunakan guru pada siswa yang belajar bahasa permulaan, baik belajar bahasa ibu maupun bahasa asing. Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa dengan dengan pengucapan atau lafal yang tepat dan jelas oleh guru.
Dengan teknik ini, pertama-tama guru mengucapkan kata-kata yang sederhana, seperti “mata”, misalnya, kemudian guru memperjelas kata tersebut dengan cara mendemonstrasikannya; guru menggunakan jari tangannya untuk menunjuk salah satu bagian wajahnya, yaitu mata. Langkah kedua, guru mengucapkan kata “mata” dengan jelas dan keras, siswa diminta menyimaknya dengan baik, kemudian menirukan apa yang diucapkan guru. Langkah ketiga, guru memberikan latihan ekstensif dengan mengulang kata-kata yang sudah dikenalkan, kemudian menambah kosa kata serta mengenalkan struktur kalimat kepada siswa sampai siswa dapat mengucapkan kata-kata dengan tepat, dan akhirnya menggunakan kata itu dalam struktur yang sederhana
2.      Teknik Informasi Beranting
Guru memberi informasi kepada salah seorang siswa kemudian informasi tersebut disampaikan kepada siswa di dekatnya; begitu seterusnya, informasi disampaikan secara beranting. Siswa yang menerima informasi terakhir, mengucapkan keras-keras informasi tersebut di hadapan teman-temannya. Dengan demikian, kita tahu apakah informasi itu tetap sama dengan sumber pertama atau tidak. Jika tetap sama, berarti daya simak siswa sudah cukup baik, akan tetapi, bila informasi pertama berubah setelah beranting, ini berarti daya simak siswa masih kurang
ContohInformasi: Andi membeli mie bersama Rani tadi pagi.
3.      Teknik Satu Mulut Satu Kelas
Guru membacakan sebuah wacana yang dapat berupa artikel atau cerita di hadapan siswa, dan siswa diminta menyimak baik-baik. Sebelum siswa menyimak, guru memberi penjelasan tentang apa-apa yang pernah disimak. Setelah guru selesai membacakan, guru dapat meminta siswa, misalnya:
a.       menceritakan kembali isi materi yang disimaknya;
b.      menyebutkan urutan ide pokok dari apa yang disimak;
c.       menyebutkan tokoh atau pelaku cerita dari apa yang disimaknya;
d.      menemukan makna yang tersurat dari apa yang disimaknya;
e.       menemukan makna yang tersirat dari apa yang disimaknya;
f.       menemukan ciri-ciri atau gaya bahasa yang digunakan dalam wacana yang dibacakan;
g.      menilai isi dari apa yang disimaknya
Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan guru kepada siswa tentu saja harus disesuaikan dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam penggunaan teknik ini, guru dituntut untuk dapat membaca dengan baik sesuai dengan jenis wacana yang dibacanya. Oleh karena itu, guru perlu menyiapkan benar-benar bahan bacaan dan cara membacanya, jangan sampai siswa mengalami kesulitan memahami isi yang disimaknya hanya karena pembacaan yang kurang siap.
4.      Teknik Satu Rekaman Satu Kelas
Guru terlebih dahulu menyiapkan rekaman melalui kaset (tape recorder), CD, ataupun laptop yang berisi ceramah, pembacaan puisi, pidato, cerita/dongeng, drama, dan sebagainya. Kemudian guru memberi petunjuk-petunjuk sebelum kaset di putar tentang hal-hal yang perlu disimak. Setelah itu guru memutar rekaman yang telah disiapkan sebelumnya (dongeng, misalnya). Siswa diminta menyimak baik-baik. Rekaman dapat diputar ulang bila siswa belum dapat mengikuti tentang apa yang diputar. Kemudian siswa diberikan tugas menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk menguji pemahamannya terhadap rekaman yang disimaknya, seperti:
a.       apa tema dari dongeng yang anak-anak simak?
b.      siapa yang menjadi tokoh dalam dongeng tersebut?
c.       bagaimana watak dari tokoh tersebut?
d.      sebutkan amanat yang terdapat dalam dongeng tersebut! dan lain-lain.
5.      Teknik Group Cloze
Dalam penggunaan teknik ini, guru membacakan sebuah wacana sekali, siswa diminta menyimak baik-baik. Kemudian, guru membacakan lagi wacana tersebut dengan  cara membaca paragraf awal penuh, sedangkan paragraf berikutnya ada beberapa kata atau kelompok kata yang dihilangkan. Setelah itu, tugas siswa adalah memikirkan konteks wacana dan mengisi tempat yang kosong dengan kata-kata atau peristilahan atau kelompok kata yang asli dari wacana yang dibacakan sebelumnya.
6.      Teknik Parafrase
Dalam penggunaan teknik ini, guru terlebih dahulu menyiapkan sebuah puisi untuk disimak oleh siswa. Setelah itu, guru membacakan puisi yang telah disiapkan dengan jelas. Kemudian setelah siswa selesai menyimak, siswa secara bergiliran disuruh menceritakan kembali isi puisi yang telah disimaknya dengan kata-kata sendiri.
Dalam menerapkan teknik ini, guru harus menyesuaikan dengan perkembangan kebahasaan siswa, agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan sesuai tujuan.
7.      Teknik Simak Libat Cakap
Sesuai dengan nama teknik ini, penyimak terlibat dalam pembicaraan. Dalam pelaksanaan teknik ini guru dapat menugaskan siswa mengadakan wawancara, misalnya dengan guru wali, guru pengajar bahasa Bali, budayawan. Sebelum mengadakan wawancara, siswa diminta menyiapkan apa yang perlu ditanyakan kepada orang yang diwawancarai. Tugas selanjutnya siswa menyusun hasil wawancara yang kemudian diserahkan kepada guru untuk teliti.
8.      Teknik Simak Bebas Libat Cakap
Teknik ini senada dengan teknik simak libat cakap yang mementingkan keterlibatan penyimak dalam pembicaraan. Penyimak di sini hanya berlaku sebagai pemerhati yang penuh minat, tekun menyimak apa yang disampaikan oleh pembicara sehingga penyimak dapat memahami isi pembicaraan, tujuan pembicaraan, menganalisis apa yang dibicarakan, serta akhirnya menilai isi pembicaraan.

BERBICARA

Kegiatan berbicara adalah kegiatan yang tidak dapat dilepaskan dalam keseharian kehidupan kita sebagai manusia. Sehingga sejak dini melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa dilatih untuk belajar bicara. Tujuan dari belajar berbicara adalah menyampaikan buah pikiran, gagasan dan ide dengan bahasa yang dapat dipahami orang lain dengan tingkat kebahasaan sesuai dengan karakter umur dan kelompok kelas siswa bersangkutan. Dengan berbicara maka segala unek-unek, gagasan, ide dan pendapat akan tersampaikan. Apabila isi dari pembicaraan seseorang mendapat tanggapan yang baik dari si penyimak maka akan menciptakan efek kepercayaan diri yang lebih dari si pembicara untuk selanjutnya berkreasi menyampaikan gagasan lainnya. Melalui penyampaian gagasan akan berdampak pada daya imajinasi siswa dalam mengolah pikirannya sehingga akan meningkatkan daya pikir dan logika. Tak ayal lagi hanya melalui melatih siswa dalam berbicara mereka akan berkreasi tanpa batas menghasilkan manusia-manusia unggul dan berhasil kelak dikemudian hari.

1. BAHAN PEMBELAJARAN BERBICARA
Sebagai pendukung upaya guru dalam membelajarkan pembelajaran berbicara beberapa bahan pelajaran yang digunakan disesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan. Kesesuaian itu diperlukan karna antara media/bahan pembelajaran dengan metode saling terkait. Bahan pembelajaran tersedia apbila tidak didukung oleh metode yang tepat maka pembelajaran menjadi tidak bermakna. Demikian pula jika metode pembelajaran dengan prosedur yang teratur dan baik tetapi tidak dilengkapi dengan media ataau bahan ajar yang baik maka proses pembelajaran menjadi tidak baik pula.
Beberapa bahan atau media yang layak dipertimbangkan dalam membelajarkan berbicara kepada siswa SD adalah :
§  Media bacaan sederhana baik fiksi maupun non fiksi yang dibaca habis oleh siswa yang diramu dengan metode tanya jawab diskusi dan bermain peran
§  Media audio visual yang disajikan oleh guru yang diramu dengan metode diskusi, tanya jawab dan bermain peran. Melalui tema yang disajikan pada media tersebut guru memancing siswa agar dapat berbicara.
§  Cerita rekaan guru berdasarkan kejadian yang bersifat fiktif ataupun fakta, yang diakhiri dengan kegiatan diskusi yang memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk berpendapat dan setiap pendapat adalah baik dan mendapat reward dari guru.
§  Bahan dibawa sendiri oleh siswa melalui metode penugasan dimana siswa ditugaskan untuk menceritakan pengalamannya sendiri berdasarkan suatu tema yang selanjutnya disajikan oleh siswa dalam bentuk tulisan untuk mempermudah guru dalam mengevaluasi. Dengan kegiatan ini akan didapatkan manfaat berganda selain siswa dibelajarkan tentang berbicara selebihnya mereka akan mendapat pembelajaran menulis pula.
§  Kegiatan membahas puisi yang disajikan oleh siswa untuk kemudian di paraprase. Kegiatan diskusi dapat mengikutinya sehingga terjadi interaksi lebih baik antara siswa dan guru.

2. METODE PEMBELAJARAN BERBICARA

Senada dengan pembahasan di atas bahwa tanpa metode yang tepat maka bahan pembelajaran dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa menjadi tidak berarti. Maka berikut akan diuraiakan beberapa metode pembelajaran yang layak dipertimbangkan dalam kegiatan berbicara pada pembelajaran Bahasa Indonesia SD.
a. Metode Ulang Ucap
Kegiatan ini dapat dimulai dari kegiatan sederhan terutama untuk kelas awal SD yaitu dengan menugaskan siswa mengulang kata yang diucapakan oleh guru.


b. Metode Lihat Ucap
Siswa ditugaskan untuk mengucapkan sesuatu kata atau kalimat yang berhubungan dengan benda yang diperlihatkan oleh guru
c. Metode Memberikan Deskripsi
Dengan metode ini siswa diberikan tugas untuk untuk mendeskripsikan suatu benda yang diperlihatkan oleh guru. Keterampilan yang dilatih selain kemampuan pokok yaitu mengungkapkan pendapat adalah megamati benda, memilih dan mencocokkan sehingga sangat cocok diterapkan pada siswa kelas awal sampai menengah di Sekolah Dasar.
d. Metode Menjawab Pertanyaan
Metode ini sudah sangat umum sehingga dapat diterapkan pada kondisi dan jenis sembarang bahan ajar. Pertanyaan dapat dikondisikan sedemian rupa oleh guru untuk merangsang kreatifitas berfikir dan menyampaikan tanggapan terhadap suatu masalah yang diajukan.
e. Metode Bertannya
Metode bertanya juga sangat layak digunaka pada sembarang bahan ajar. Dengan menyajikan bahan ajar telebih dahulu kemudian siswa ditugaskan untuk membuat pertanyaan tentang sesuatu yang tidak dipahami oleh siswa atau bahkan dalam tataran menguji materi ajar itu sendiri. Dengan bertanya mereka akan mendapat jawaban dan tanggapan tersebut. Tanggapan dan jawaban tersebut yang diterima oleh siswa akan masuk dalam suatu kondisi benar dan tidak. Apabila siswa memang dasarnya adalah murni bertanya maka setelah mendengarkan jawaban/tanggapan dan menganalisanya akan menanggapi benar atau salah. Dan apabila siswa bermaksud menguji sudah barang tentu mereka sudah memiliki jawaban dan hal itu adalah proses berfikir yang selangkah lebbih maju. Sehingga siswa ini tergolong memiliki kecerdasan lebih dan layak mendapatkan penghargaaan yang lebih pula. Kondisi-kondisi unik lainnya dapat ditemui secara langsung dilapangan dengan tingkat variasi dan kompleksitas yang lebih tinggi.
f. Metode Pertanyaan Menggali
Metode ini sangat baik digunakan jika kondisi siswa yang stagnan dan dengan rata-rata tingkat pemahaman bahkan IQ biasa-biasa saja. Karna untuk mengantarkan mereka kepada suatu pemahaman yang menjadi tujuan pembelajaran diperlukan langkah-langkah yang menggiring siswa sehingga sampai pada suatu keadaan paham kepada tema atau permasalahan yang ingin kita sampaikan. Terkadang usaha ini agak sulit dan membuat kita jengkel karna harus berputar-putar mencari pengandaian dan logika lain, akan tetapi disinilah letak seni kita sebagai guru.Akhirnya siswa akan dapat berbicara untuk menyampaikan gagasan, ide dan pendapat mereka.
g. Metode Melanjutkan
Pada kegiatan ini siswa secara bergilir ditugaskan untuk membuat ide cerita dan siswa yang lainnya melanjutkan cerita tersebut. Dalam keadaan tertentu dapat dikondisikan suatu bentuk permainan dalam kegiatan ini.
h. Metode Menceritakan Kembali
Kegiatan ini sudah sangat umum dilaksanakan terutama dalam pembelajaran yang menggunakan bahan ajar certai baik fiksi maupun non fiksi. Dimana siswa ditugaskan untuk membaca atau mendengar cerita untuk kemudian menceritakan kembali isi cerita tersebut secara lisan di depan teman-teman mereka yang berperan sebagai audien. Dengan kegiatan ini maka siswa akan tertantang untuk berlomba memahami cerita yang sudah pernah mereka dengar atau basa.
i. Metode Percakapan atau Bermain Peran
Kegiatan ini sangat baik dilaksanakan untuk pemahaman tingkat lanjut tentang suatu cerita dimana dengan memerankan siswa akan lebih memahami bukan hanya kepada alur cerita akan tetapi akan lebiih kepada penjiwaan karakter masing masing tokoh. Dalam keadaan ini pemahaman siswa terhadap cerita akan utuh karna dengan berbicara mengucapkan naskah cerita atau drama mereka akan sangat menghayati setiap adegan dan untaian kata percakapan yang diucapkan.
j. Metode Parafrase
Metode ini dapat dilaksanakan dalam kegiatan belajar menggunakan bahan ajar puisi yang selanjutnya dirubah menjadi prossa yang kemudian siswa ditugaskan menceritakan secara lisan hasil paraprase tersebut.
k. Metode Reka Cerita Gambar
Metode ini sangat kreatif dan layak untuk dicoba karna dengan menyajikan gambar acak siswa akan mereka kembali dengan susunan yang benar urutan gambar tersebut. Dalam kegiatan tersebut dengan sudah sangat pasti mereka akan berbicara setelah guru bertanya, “Anak anak, Bagaimanakah susunan yang benar dai gambar tersebut ?” .


l. Metode Memberi Petunjuk
Metode ini layak juga untuk dicoba terutama untuk mempelajari bahan ajar tentang denah, petunjuk penggunaan obat dan alat tertentu. Dengan penugasan untuk menyampaikan hal tersebut siswa akan tertantang untuk berbicara dan menyampaikan penjelasan berdasarkan ide dan pendapat masing-massing melalui bahasa sederhana dan sesederhanapun penyampaian layak mendapat penghargaaan.
m. Metode Pelaporan
Melalui pengamatan terhadap obyek pada kegiatan tertentu siswa kemudian melaporkan hasil pengamatan dengan penyampaian lisan yang didahului oleh konsep tulisan. Dalam hal ini terjadi proses mirip dengan proses pada metode identifikasi akan tetapi memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Sehingga sesederhana apapun penyampaian siswa layak dihargai karna sebagai awal mula yang baik untuk proses penelitian dan pelaporan dalam kegiatan ilmiah yang sangat mendukung proses meningkatkan kreatifitas siswa.
n. Metode Wawancara
Kegiatan ini adalah kegiatan tingkat tinggi dari bertanya hingga menganalisa jawaban audien kemudian mengajukan pertanyaan berikutnya yang diikuti oleh proses pelaporan layaknya seorang wartawan. Proses berbicara dari nkegiatan ini adalah awal dari membentuk pribadi yang kritis dan santun.
o. Metode Diskusi
Kegiatan ini adalah proses interaksi tingkat tertinggi yang merangsang daya fikir, logika, kritis dan santun. Dalam kegiatan ini sejelek apapun pendapat, sanggahan dan klarifikasi siswa adalah hal yang maha baik dalam memulai suatu sikap peka terhadap lingkungan dan isu-isu tertentu dalam mencari jalan keluar. Dimana sudah barang tentu merupakan kreatifitas yang sangat layak mendapat penghargaan.
p. Metode Bertelpon
Seiring dengan teknologi informasi yang kian maju maka keterampilan bertelpon sangat penting dalam membentuk sikap cepat, efektif dan sopan dalam berkomunikasi. Karna berbicara melalaui telpon tanpa hadirnya lawan bicara secara langsung memerlukan tingkat kepekaan yang tinggi dalam tata cara pergaulan sehari-hari dalam kegiatan bertelpon
q. Metode Dramatisasi
Metode ini adalah kelanjutan dari kegiatan bermain peran yang dilengkapi dengan tema, seting, perwatakan, seting dan naskah drama yang ditampilkan secara utuh. Kegiatan ini penuh dengan kegiatan berbicara sesuai dengantuntunan naskah yang runtut.

METODE PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS RENDAH
Membaca dan menulis di kelas rendah tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas permulaan. Membaca dan Menulis Permulaan merupakan program pembelajaran yang diorientasikan kepada kemampuan membaca dan menulis permulaan di kelas-kelas awal pada saat anak-anak mulai memasuki bangku sekolah. Pada tahap awal anak memasuki bangku sekolah di kelas 1 sekolah dasar.
Kemampuan membaca permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan membaca tingkat dasar, yakni kemampuan melek huruf sedangkan, kemampuan menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan kemampuan membaca permulaan. Pada tingkat permulaan, pembelajaran menulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik.
Berikut akan diuraikan beberapa metode pembelajaran di kelas rendah, diantaranya:
1.  Metode Eja
Pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan dengan metode eja memulai pengajarannya dengan memperkenalkan huruf-huruf secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihapalkan dan dilafalkan murid sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A a, B b, C c, D d, E e, F f, dan seterusnya. Dilafalkan sebagai a, be, ce, de, e, ef, dan seterusnya. Kegiatan ini diikuti dengan latihan menulis lambing tulisan, seperti a, b, c, d, dan seterusnya atau dengan huruf rangkai, a, b, c, d, dan seterusnya. Setelah melalui tahapan ini, para murid diajarkan untuk perkenalan dengan suku kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.
Misalnya :
b, a → ba (dibaca be. a → ba )
d, u → du ( dibaca de, u → du )
ba-du dilafalkan Badu
Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah murid-murid dapat menulis huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis rangkai huruf yang berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah kata badu tadi. Selanjutnya, murid diminta menulis seperti : ba - du → badu.
Pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkrit menuju hal-hal yang abstrak, dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar, dengan kehiduipan murid menuju hal-hal yang sulit dan mungkin meruipakan sesuatu yang baru bagi murid.
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan metode eja ini meskipun murid mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun murid tetap mengalami kesulitan dalam mengenal rangkaian huruf yang berupa suku kata atau kata.

2. Metode Suku Kata dan Metode Kata
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku kata, seperti ba, bi, bu, be, bu, ca, ci, cu, ce, cu, da, di ,du, de, du, ka, ki, ku, ke, ku dan seterusnya. Suku-suku kata tersebut kemudian dirangkai menjadi kata bermakna. Sebagai contoh, dari daftar suku kata tadi, guru dapat membuat berbagai variasi paduan suku kata menjadi kata-kata bermakna, kata-kata tadi misalnya :
ba – bi                      cu – ci             da – da                        ka – ki
ba – bu                     ca – ci              du – da                       ku – ku
bi – bi                       ci – ca              da – du                       ka – ku
ba – ca                      ka – ca            du – ka                       ku – da
Kegiatan tersebut dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kalimat sederhana. Proses perangkaian suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat sederhana, kemudian ditindak lanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk tersebut menjadi satuan bahasa terkecil dibawahnya, yakni dari kalimat kedalam kata dan kata kedalam suku-suku kata. Proses pembelajaran Menulis dan Memmbaca Permulaan yang melibatkan kegiatan merangkai dan mengupas, kemudian dilahirkan istilah lain untuk metode ini yakni metode rangkai kupas.

3.  Metode Global
Metode Global artinya secara utuh dan bulat. Dalam metode global yang disajikan pertama kali pada murid adalah kalimat seutuhnya. Kalimat tersebut dituliskan dibawah gambar yang sesuai dengan isi kalimatnya. Setelah berkali-kali membaca, murid dapat membaca kalimat-kalimat itu secara global tanpa gambar. Sebagai contoh dapat dilihat bahan ajar yang menggunakan metode global yaitu :
a.  Memperkenalkan gambar dan kalimat
b.  Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata, kata menjadi suku kata.
Contoh: Kata menjadi huruf-huruf
Ini mama
i n i                  m a m a
i -ni                  ma – ma
i – n – i          m - a – m - a

4.  Metode Structural Analisis Sintesis (SAS)
SAS merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan proses pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan bagi siswa pemula. Pembelajaran menulis dengan metode ini mengawali pembelajarannya dengan dua tahap, yakni menampilkan dan memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi makna lengkap, yakni skruktur kalimat. Hal ini dimaksudkan untuk membangun konsep-konsep “kebermaknaan” pada diri anak. Akan lebih baik jika strukturnya kalimat yang disajikan sebagai bahan pembelajaran menulis dengan metode ini adalah struktur kalimat yang digali dari pengalaman berbahasa si pembelajar itu sendiri. Untuk itu, sebelum kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya dimulai, guru dapat melakukan pra-KBM melalui berbagai cara.
Proses penguraian atau penganalisisan dalam pembelajaran MMP dengan metode SAS meliputi :
a.  Kalimat menjadi kata-kata
b.  Kata menjadi suku-suku kata
c.  Suku kata menjadi huruf-huruf
Metode ini yang dipandang paling cocok dengan jiwa anak atau siswa adalah metode SAS menurut Supriyadi dkk (1992). Alasan mengapa metode SAS ini dipandang baik adalah:
a.  Metode ini menganut prinsip ilmu bahasa umumbahwa bentuk bahasa terkecil  adalah kalimat.
b.  Metode ini memperhitungkan pengalaman bahasa anak.
c.  Metode ini menganut prinsip menemukan sendiri.

Kelemahan metode SAS, yaitu:
a.  Kurang praktis
b.  Membutuhkan banyak waktu
c.  Membutuhkan alat peraga

5.  Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah suatu teknik mengajar dengan memperagakan, mempertunjukan, atau menayangkan sesuatu. Siswa dituntut memperhatikan objek yang didemonstrasikan. Melalui metode ini siswa dapat mengembangkan keterampilan mengamati, menggolongkan, menarik kesimpulan, menerapkan atau mengkomunikasikan.

6.  Metode Ceramah
Metode ceramah adalah suatu metode mengajarkan sesuatu bahan dengan penuturan, penerangan, atau penjelasan bahasa lisan kepada siswa. Keberhasilan siswa melalui teknik ceramah sangat bergantung kepada kemampuan siswa dalam menyimak.

7.  Metode Penugasan
Metode penugasan adalah teknik pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk atau instruksi guru. Tugas dapat bersifat individu dan kelompok.

8.  Metode Tanya Jawab
Melalui pertanyaan guru memancing waktu jawaban tertentu dari siswa jawaban yang diharapkan akan tercapai apabila siswa telah mempunyai pengetahuan siap, ingatan, atau juga penalaran tentang yang ditanyakan. Gambaran situasi yang mendahului pertanyaan sangat membantu siswa dalam menanggapi pertanyaan. Melalui metode ini dapat dikembangkan keterampilan mengamati, menafsirkan, menggolongkan, menyimpulkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan.

9.  Metode Abjad dan Metode Bunyi
Menurut Alhkadiah, kedua metode ini sudah sangat tua. Menggunakan kata-kata lepas, misalnya:
Metode Abjad:         bo-bo              bobo
                                   la-ri                 lari
Metode Bunyi:         na-na              nana
                                   lu-pa               lupa


RPS 8 METODE PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SD KELAS TINGGI

A. PENGERTIAN METODE
Dalam KBBI (2001: 740) metode yaitu cara yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Selain itu, juga didefanisikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam pembelajaran bahasa indonesia metode diartikan sebagai sisitem perencanaan pembelajaran bahasa indonesia secara menyeluruh untuk memilih, mengorganisasikan, dan meyajikan materi pelajaran bahasa indonesia secara teratur.
Metode bersifat prosedural artinya, penerapan pembelajaran bahasa Indonesia harus dikerjakan menurut langkah-langkah yang teratur, bertahap yakni mulai perencanaan pembelajaran, penyajian sampai dengan penilaian dan hasil belajar.
B. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP METODE PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
1. Persamaan dan perbadaan antar sistem bahasa pertama siswa dengan bahasa kedua yang mereka pelajari.
2. Usia siswa pada saat mereka belajar bahasa indonesia
3. Latar belakang sosial budaya siswa
4. Pengalaman, pengetahuan dan keterampilan berbahasa siswa dalam bahasa yang dipelajarinya yang sudah mereka punyai.
5. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa guru dalam bahasa yang akan dipelajarinya:
1) Guru bahasa menguasai bahan ajar
2) Guru bahasa mampu mengelola program-program belajar mengajar bahasa indonesia
6. Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipelajari siswa dalam masyarakat tempat dimana mereka berada.
7. Tujuan pembelajaran yang di inginkan
8. Alokasi waktu yang tersedia untuk kegiatan pembelajaran
9. Metode yang digunakan dalam pembelajaran bahasa
C. JENIS-JENIS METODE DALAM BAHASA INDONESIA
1) Metode Audiolingual
Metode audiolingual sangat mengutamakan drill (pengulangan). Metode itu muncul karena terlalu lamanya waktu yang ditempuh dalam belajar bahasa target. Padahal untuk kepentingan tertentu, perlu penguasaan bahasa dengan cepat. Dalam audiolingual yang berdasarkan pendekatan struktural itu, bahasa yang diajarkan dicurahkan pada lafal kata, dan pelatihan pola-pola kalimat berkali-kali secara intensif. Guru meminta siswa untuk mengulang-ulang sampai tidak ada kesalahan.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan adalah (a) penyajian dialog atau teks pendek yang dibacakan guru berulang-ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks yang dibaca, (b) peniruan dan penghafalan teks itu setiap kalimat secara serentak dan siswa menghafalkannya, (c) penyajian kalimat dilatihkan dengan pengulangan, (d) dramatisasi dialog atau teks yang dilatihkan kemudian siswa memperagakan di depan kelas, dan (e) pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan.
2) Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan komunikatif harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan konkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistis. Sepucuk surat adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah perintah, pesan, laporan, atau peta, juga merupakan produk yang dapat dilihat dan diamati. Dengan begitu, produk-produk tersebut dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang berhasil.
Contohnya menyampaikan pesan kepada orang lain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan itu dapat dipecah menjadi (a) memahami pesan, (b) mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan keraguan, (c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh lebih banyak informasi, (d) membuat catatan, (e) menyusun catatan secara logis, dan (f) menyampaikan pesan secara lisan.
Dengan begitu, untuk materi bahasan penyampaian pesan saja, aktivitas komunikasi dapat terbangun secara menarik, mendalam, dan membuat siswa lebih intensif.
3) Metode Produktif
Metode produktif diarahkan pada berbicara dan menulis. Siswa harus banyak berbicara atau menuangkan gagasannya. Dengan menggunakan metode produktif diharapkan siswa dapat menuangkan gagasan yang terdapat dalam pikirannya ke dalam keterampilan berbicara dan menulis secara runtun. Semua gagasan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.
Yang dimaksud dengan komunikatif di sini adalah adanya respon dari lawan bicara. Bila kita berbicara lawan bicara kita adalah pendengar, bila kita menulis lawan bicara kita adalah pembaca.
4) Metode Langsung
Metode langsung berasumsi bahwa belajar bahasa yang baik adalah belajar yang langsung menggunakan bahasa secara intensif dalam komunikasi. Tujuan metode langsung adalah penggunaan bahasa secara lisan agar siswa dapat berkomunikasi secara alamiah seperti penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat.
Siswa diberi latihan-latihan untuk mengasosiasikan kalimat dengan artinya melalui demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik secara langsung.
5) Metode Partisipatori
Metode pembelajaran partisipatori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan berpartisipasi aktif, siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau
fasilitator.
Dalam metode partisipatori siswa aktif, dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi,
pandai berperan sebagai moderator dan kreatif. Konteks siswa menjadi
tumpuan utama.
6) Metode Membaca
Metode membaca bertujuan agar siswa mempunyai kemampuan memahami teks bacaan yang diperlukan dalam belajar siswa.
Berikut langkah-langkah metode membaca:
(1) pemberian kosakata dan istilah yang dianggap sukar dari guru ke siswa. Hal ini diberikan dengan definisi dan contoh ke dalam kalimat
(2) Penyajian bacaan di kelas. Bacaan dibaca dengan diam selama 10-15 menit (untuk mempercepat waktu, bacaan dapat diberikan sehari sebelumnya)
(3) Diskusi isi bacaan dapat melalui tanya jawab
(4) Pembicaraan tata bahasa dilakukan dengan singkat. Hal itu dilakukan jika dipandang perlu oleh guru
(5) Pembicaraan kosakata yang relevan
(6) Pemberian tugas seperti mengarang (isinya relevan dengan bacaan) atau membuat denah, skema, diagram, ikhtisar, rangkuman, dan sebagainya yang berkaitan dengan isi bacaan.
7) Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, konkret, dan konseptual.
Tema yang telah ditentukan haruslah diolah dengan perkembangan lingkungan siswa yang terjadi saat ini. Begitu pula isi tema disajikan secara kontemporer sehingga siswa senang. Apa yang terjadi sekarang di lingkungan siswa juga harus terbahas dan terdiskusikan di kelas. Tema tidak disajikan secara abstrak tetapi diberikan secara konkret. Semua siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan logika yang dipunyainya. Konsep-konsep dasar tidak terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari analisis ke konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman.
8) Metode Kuantum
Quantum Learning (QL) merupakan metode pendekatan belajar yang bertumpu dari metode Freire dan Lozanov. QL mengutamakan kecepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dalam melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar mengacu pada otak kanan dan otak kiri menjadi ciri khas QL. Menurut QL bahwa proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatu dapat berarti setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi, serta sejauh mana guru mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran maka sejauh itulah proses belajar berlangsung.
Hubungan dinamis dalam lingkungan kelas merupakan landasan dan kerangka untuk belajar. Dengan begitu, pembelajar dapat mememori, membaca, menulis, dan membuat peta pikiran dengan cepat.
9) Metode Kerja Kelompok Kecil (Small-Group Work)
Mengorganisasikan siswa dalam kelompok kecil merupakan metode yang banyak dianjurkan oleh para pendidik. Metode ini dapat dilakukan untuk mengajarkan materi-materi khusus. Kerja kelompok kecil merupakan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Siswa dituntut untuk memperoleh pengetahunan sendiri melalui bekerja secara bersama-sama. Tugas guru hanyalah memonitor apa yang dikerjakan siswa. Yang ingin diperolah melalui kerja kelompok adalah kemampuan interaksi sosial, atau kemampuan akademik atau mungkin juga keduanya.
10) Metode Alamiah
Metode ini banyak memiliki nama, yaitu metode murni, metode natural atau “customary method”. Metode ini memiliki prinsip bahwa mengajar bahasa baru (seperti bahasa kedua) harus sesuai dengan kebiasaan belajar berbahasa yang sesungguhnya sebagaimana yang dilalui oleh anak-anak ketika belajar bahasa ibunya. Proses alamiah inilah yang harus dijadikan landasan dalam setiap langkah yang harus ditempuh dalam pengajaran bahasa kedua, seperti bahasa Indonesia.
Seperti Anda ketahui proses belajar bahasa anak-anak dimulai dengan mendengar, kemudian berbicara, kemudian membaca dan akhirnya menulis atau mengarang. Jadi pada awal pelajaran, gurulah yang banyak berbicara/bercerita dalam rangka memperkenalkan bunyi-bunyi, kosa kata dan struktur kalimat sederhana. Setelah mereka dapat menyimak dengan baik, kemudian anak-anak diajak berbicara dan selanjutnya mulai diperkenalkan dengan membaca dan menulis.
11) Metode Terjemahan
Metode terjemahan (the translation method) adalah metode yang lazim digunakan untuk pengajaran bahasa asing, termasuk dalam hal ini Bahasa Indonesia yang pada umumnya merupakan bahasa kedua setelah penggunaan bahasa ibu yakni bahasa daerah. Prinsip utama pembelajarannya adalah bahwa penguasaan bahasa asing dapat dicapai dengan cara latihan terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa ibu murid atau ke dalam bahasa yang dikuasainya. Misal: latihan terjemahan dari Bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah atau dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Kelebihan metode ini dalam hal kepraktisan dalam pelaksanaannya dan dalam hal penguasaan kosakata dan tatabahasa dari bahasa yang baru dipelajari siswa.
12) Metode Pembatasan Bahasa
Metode ini menekankan pada pembatasan dan penggradasian kosakata dan struktur bahasa yang akan diajarkan. Pembatasan itu dalam hal kekerapan atau penggunaan kosakata dan urutan penyajiannya. Kata-kata dan pola kalimat yang tinggi pemakaiannya di masyarakat diambil sebagai sumber bacaan dan latihan penggunaan bahasa. Pola-pola kalimat, perbendaharaan kata, dan latihan lisan maupun tulisan dikontrol dengan baik oleh guru.




RPS 9

Keterampilan berbahasa terdiri dari keterampilan berbahasa tulis dan keterampilan berbahasa lisan. Klasifikasi seperti ini dibuat berdasarkan pendekatan komunikatif. Implikasinya pembelajaran bahasa pada ABK harus difokuskan pada kemampuan anak memahami dan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Keterampilan berbahasa tulis terdiri dari keterampilan membaca dan menulis. Sedangkan keterampilan berbahasa lisan terdiri dari menyimak dan berbicara.

A.    MEMBACA
1.      Hakikat Membaca
Pada hakikatnya membaca terdiri dari dua bagian, yaitu membaca sebagai proses dan membaca sebagai produk. Membaca sebagai proses mengacu pada aktivitas fisik dan mental. Sedangkan membaca sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan pada saat membaca.
2.      Tujuan Membaca
Tujuan setiap pembaca adalah memahami baca yang dibacanya. Dengan demikian,pemahaman merupakan faktor yang amat penting dalam membaca. Pembelajaran membaca harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan yang dimaksud meliputi :
a.       Menikmati keindahan yang terkandung dalam bacaan;
b.      Membaca bersuara untuk memberikan kesempatan kepada anak menikmati bacaan;
c.       Menggunakan strategi tertentu untuk memahami bacaan;
d.      Menggali simpanan pengetahuan atau ske mata anak tentang suatu topik;
e.       Menghubungkan pengetahuan baru dengan skemata anak;
f.       Mencari informasi untuk pembuatan laporan yang akan disampaikan dengan lisan
g.      ataupun tertulis;
h.      Memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan eksperimentasi untuk
i.        meneliti sesuatuyang dipaparkan dalam sebuah bacaan;
j.        Mempelajari struktur bacaan.
3.      Teknik dan Strategi Pembelajaran Membaca
Untuk meningkatkan pemahaman terhadap keseluruhan teks, biasanya guru menerapkan kegiatan prabaca, kegiatan inti membaca, dan kegiatan pascabaca dalam pembelajaran membaca.
a.       Kegiatan prabaca dimaksudkan untuk menggugah perilaku anak dalam penyelesaian masalah dan memotivasi penelaahan materi bacaan.
1)      Gambaran awal cerita, yang berisi informasi yang berkaitan dengan isi cerita, dapat meningkatkan pemahaman. Pemberian gambaran awal cerita kepada anak yang dirancang sebagian untuk membangun latar belakang pengetahuan tentang cerita tersebut dapat membantu anak menyimpulkan isi bacaan.
2)      Petunjuk untuk melakukan antisipasi, merupakan sarana kegiatan awal membaca yang bermanfaat. Petunjuk semacam ini dirancang untuk menstimulus pikiran, berisi pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang akan dibaca.
3)      Pemetaan semantik, merupakan strategi prabaca yang baik, sebab kegiatannya memperkenalkan kosa kata yang akan ditemukan dalam bacaan dan dapat menggugah skemata yang berkaitan dengan topik bacaan.
4)      Menulis sebelum membaca, menulis pengalaman pribadi yang relevan, sebelum mereka membaca materi, bermanfaat pada kegiatan mengerjakan tugas, dan reaksi yang lebih positif.
5)      Drama/simulasi, dapat digunakan sebelum cerita dibaca untuk meningkatkan pemahaman.
b.      Kegiatan inti membaca
Beberapa strategi dan kegiatan dalam membaca dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman anak. Strategi yang dimaksud adalah strategi metakognitif, cloze  procedure dan pertanyaan pemandu
1)      Strategi metakognitif, berkaitan dengan pengetahuan seseorang atas penggunaan intelektual otaknya dan usaha sadarnya dalam memonitor atau mengontrol penggunaan kemampuan intelektualnya. Metakognitif ini meliputi cara terjadinya berpikir . Dalam kegiatan membaca, orang yang menerapkan metakognitif akan memilih keterampilan dan teknik membaca yang sesuai dengan tugas  membacanya.
2)      Cloze procedure, digunakan juga untuk meningkatkan pemahaman dengan cara menghilangkan sejumlah informasi dalam bacaan dan anak diminta untuk mengisinya. Latihan cloze procedure dalam pelaksanaannya melibatkan penghilangan huruf, suku kata, kata, frase, klausa, atau sebuah kalimat.
3)      Pertanyaan pemandu, selama membaca pertanyaan pemandu sering digunakan untuk meningkatkan pemahaman. Anak dilatih untuk mengingat fakta dengan cara mengubah fakta itu menjadi pertanyaan ”mengapa”. Pertanyaan pemandu dapat diajukan guru kepada anak atau diajukan anak untuk dirinya sendiri ketika sedang membaca.
c.       Kegiatan pascabaca
Kegiatan dan strategi setelah membaca membantu anak mengintegrasikan informasi baru ke dalam skemata yang sudah ada. Selain itu, kegiatan pascabaca dapat memperkuat dan mengembangkan hasil belajar yang telah diperoleh sebelumnya.
Ada beberapa kegiatan dan strategi yang dapat dilakukan anak setelah membaca, yaitu, memperluas kesempatan belajar, mengajukan pertanyaan, mengadakan pameran visual, melaksanakan pementasan teater aktual, menuturkan kembali apa yang telah dibaca kepada orang lain, dan mengaplikasikan apa yang diperoleh dari membaca ketika melakukan sesuatu.

B.     MENULIS
1.      Hakikat Menulis
Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menghasilkan sebuah tulisan. Seorang penulis yang memahami dengan baik makna kata menulis akan betul-betul peduli terhadap kejelasan apa yang ditulis, kekuatan tulisan itu dalam mempengaruhi orang lain, kepiawaian penulis dalam memilih dan mengolah kata-kata.
Kiat-kiat yang dapat digunakan guru dalam melaksanakan pembelajaran menulis sebagai suatu proses, yaitu:
a.       langsung menulis, teori belakangan
b.      mulai dari mana pun boleh
c.       belajar sambil bercanda
d.      pembelajaran menulis nonlinear (tidak harus ada urutan tertentu)
2.      Teknik dan Strategi Pembelajaran Menulis
Pembelajaran menulis dapat dilaksanakan di dalam kelas (pada jam pelajaran sekolah) dan diluar kelas (di luar jam pelajaran).
a.       Pembelajaran menulis di dalam kelas
Kegiatan pembelajaran menulis di dalam kelas sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan jam yang telah ditetapkan dalam jadual pelajaran. Beberapa contoh teknik yang dapat kita gunakan:
1)      bermain dengan bahasa dan tulisan
2)      kuis
3)      memberi atau mengganti akhir cerita
4)      menulis meniru model: copy the master
b.      Pembelajaran menulis di luar kelas
Pembelajaran menulis di luar kelas ini dapat dilakukan, misalnya, anak dilatih menulis buku harian, majalah dinding (mading), dan kegiatan kliping.

C.     MENYIMAK
1.      Hakikat Menyimak
Hakikat menyimak dapat dilihat dari berbagai segi (Logan, 1972). Menyimak dapat dipandang sebagi satu sarana, sebagai suatu keterampilan, sebagai seni, sebagai suatu proses atau sebagai suatu pengalaman kreatif. Menyimak dikatakan sebagai suatu sarana sebab adanya kegiatan yang dilakukan seseorang pada waktu menyimak yang harus melalui tahapan mendengarkan bunyi-bunyi yang telah dikenalnya. Kemudian, secara bersamaan is memakai bunyi-bunyi itu. Dengan cara ini ia mampu mengintepretasikan dan memahami makna bunyi-bunyi itu.
Menyimak sebagai seni berarti kegiatan menyimak itu memerlukan adanya kedisiplinan, konsentrasi, partisipasi aktif, pemahaman, dan penilaian. Sebagai suatu proses menyimak berkaitan dengan proses keterampilan yang kompleks, yaitu keterampilan mendengarkan, memahami, menilai, dan merespons. Menyimak dikatakan sebagai respon, sebab respons merupakan unsur utama dalam menyimak. Menyimak sebagai pengalaman kreatif melibatkan pengalaman yang nikmat, menyenangkan, dan memuaskan.
2.      Bahan Pembelajaran Menyimak
Tujuan pembelajaran menyimak, melatih anak memahami bahasa lisan. Oleh sebab itu, pemilihan bahan pembelajaran menyimak harus kita sesuaikan dengan karakteristik ABK.

D.    BERBICARA
1.      Hakikat Berbicara
Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagsan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983). Berbicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial karena berbicara merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas.
2.      Jenis-jenis Berbicara
a.       Berbicara berdasarkan tujuannya
1)      Berbicara memberitahukan, melaporkan, dan menginformasikan.
2)      Berbicara menghibur
3)      Berbicara membujuk
c.       Berbicara berdasarkan situasinya
1)      Berbicara formal
2)      Berbicara informal
d.      Berbicara berdasarkan cara penyampaiannya
1)      Berbicara mendadak
2)      Berbicara berdasarkan catatan
3)      Berbicara berdasarkan hafalan
4)      Berbicara berdasarkan naskah
e.       Berbicara berdasarkan jumlah pendengarnya
1)      Berbicara antarpribadi
2)      Berbicara dalam kelompok kecil
3)      Berbicara dalam kelompok besar
3.      Bahan dan Strategi Pembelajaran Berbicara
Tujuan pembelajaran berbicara untuk ABK adalah melatih anak dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara, misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan, menceritakan kembali isi cerita yang pernah dibaca atau didengar, bermain peran, pidato.


RPS 10

Kata media berasal dari bahasa Latin medio atau medius. Dalam bahasa Latin, media dimaknai sebagai antara. Sedangkan dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Media merupakan bentuk jamak dari medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara khusus, kata tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa informasi dari satu sumber kepada penerima. Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa materi ajar dari pengajar kepada peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
Menurut Gerlach dan Ely (1971), media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Sehingga guru, buku teks dan lingkungan sekolah marupakan media. Fleming (1987: 234) menyatakan media berfungsi untuk mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak yaitu siswa dan isi pelajaran. Latuheru(1988:14), menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna. Berdasarkan definisi tersebut, media pembelajaran memiliki manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran. Media pembelajaran yang digunakan harus dapat menarik perhatian siswa pada kegiatan belajar mengajar dan lebih merangsang kegiatan belajar siswa.
Adapun mengapa media pembelajaran yang tepat dapat membawa keberhasilan belajar dan mengajar di kelas, menurut Levie dan Lentz (1982), itu karena media pembelajaran khususnya media visual memiliki empat fungsi yaitu:
1.      Fungsi atensi, yaitu dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi dan pelajaran.
2.      Fungsi afektif, yaitu dapat menggugah emosi dan sikap siswa.
3.      Fungsi kognitif, yaitu memperlancar tujuan untuk memahami dan mengingat informasi/pesan yang terkandung dalam gambar.
4.      Fungsi compensations, yaitu dapat mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau secara verbal.  Alasan-alasan mengapa media pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa yaitu: a. Alasan yang pertama yaitu berkenaan dengan menfaat media pengajaran itu sendiri, antara lain: 1) Pengajaran lebih menarik perhatian siswa, sehingga menumbuhkan motivasibelajar. 2) Bahan pengajaran lebih jelas maknanya, sehingga dapat menguasai tujuan pembelajaran dengan baik. 3) Metode pengajaran akan bervariasi. 4) Siswa dapat lebih banyak melakukan aktivitas belajar, seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain. b. Alasan kedua yaitu sesuai dengan taraf berpikir siswa. Dimulai dari taraf berfikir konkret menuju abstrak, dimulai dari yang sederhana menuju berfikir yang kompleks.

Sejumlah pertimbangan dalam memilih media pembelajaran yang tepat dapat kita rumuskan dalam satu kata ACTION, yaitu akronim dari:
1.      Access
Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dal;am memilih media. Misalnya kita menggunakan media internet perlu dipertimbangkan terlebih dahulu saluran untuk koneksi keinternet tersebut. Akses juga menyangkut aspek kebijakan.
2.      Cost
Biaya juga harus dipertimbangkan. Banyak jenis media yang dapat menjadi pilihan kita. Media canggih biasanya mahal. Namun mahalnyaa biaya harus kita hitung asfek manfaatnya. Semakin banyak yang menggunakan maka unit cost dari sebuah media akan semakin menurun.
3.      Technology
Mungkin saja kita tertaarik terhadaap suatu media tetapi kita harus mempertimbangkan tentang aspek pendukungnya.
4.      Interactivity
Media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau intraktivitas. Setiap kegiatan pembelajaran yang anda kembangkan tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut.
5.      Organization
Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi. apakah kepala sekolah mendukung atau tidak.
6.      Novelty
Kebaruan dari media yang anda pilih juga harus menjadi pertimbangan. Media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik bagi siswa.

Dilihat dari sifatnya, media dapat dibagi kedalam:
1. Media audio, yaitu media yang hanya dapat didengar saja atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara
2. Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja tidak mengandung unsur suara. Yang termasuk kedalam media adalah film slide, foto, transparasi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis
3. Media audiovisual, yaitu jenis jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat, seperti rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua.

Dilihat dari kemampuan jangkauannya, media dapat pula dibagi kedalam:
1. Media yang memiliki daya lipat yang luas dan serentak seperti radio dan televisi. Melalui media ini siswa dapat mempelajari hal-hal atau kejadian-kejadian yang aktual secara serentak tanpa harus menggunakan ruangan khusus
2. Media yang mempunyai daya lipat yang terbatas oleh ruang dan waktu, seperti filim slide, film, video, dan lain sebagainya

Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media dapat dibedakan menjadi:
1. Media yang proyeksikan, seperti film, slide, fim strip, transparansi, dan lain sebagainya. Jenis media yang demikian memerlukan alat proyeksi khusus, seperti film proyektor untuk memproyeksi film, slide projector untuk memproyeksikan film slide, Over Head Projector ( OHP ) untuk memproyeksi semacam ini, maka media semacam ini tidak akan berfungsi apa-apa
2. Media yang tidak diproyeksikan seperti gambar, foto, lukisan, radio, dan lain sebagainya

Klasek membagi media pembelajaran sebagai berikut:
a.       Media visual
b.      Media audio
c.       Media display
d.      Pengalaman nyata dan simulasi
e.       Media cetak
f.       Belajar terprogram
g.      Pembelajaran melalui komputer atau sering dikenal dengan Program Computer Aided Instruction ( CAI ).[13]

Media audiovisual dibagi menjadi;
1.      Audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti filim bingkai suara ( sound slide ), film rangkai suara, dan cetak suara
2.      Audiovisual gerak yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperi film suara dan video cassette

Pembagian lainnya tentang media ini adalah:
1.      Audiovisual murni yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti: film video-cassette
2.      Audiovisual tidak murni yaitu yang unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slides proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder. contoh lainnya: flim strip suara dan cetak suara




RPS 11 CONTOH MEDIA SESUAI JENIS MEDIA ; VISUAL, AUDIO, AUDIO 13 VISUAL, PERMAINAN BAHASA
Pengertian Media
            Kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti ”Tengah”, ”Perantara”, atau ”Pengantar”. Dalam bahasa arab ”Media” adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely menyatakan bahwa ”media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian, yang membangun kondisi yang membuat peserta didik mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap”. Berdasarkan pengertian tersebut maka yang dimaksud media diantaranya adalah guru, buku teks, dan lingkungan sekolah.
            Sementara itu Romiszowki (dalam Darmojo,1991:8) mengatakan bahwa ”media ialah pembawa pesan yang berasal dari suatu sumber pesan (yang dapat berupa orang atau benda) kepada penerima pesan”. Adapun yang dimakud penerima pesan adalah siswa. Jadi media merupakan suatu perantara untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada siswa.

Jenis-jenis Media
            Menurut Bretz dan Briggs mengemukakan bahwa klasifikasi media digolongkan menjadi kelompok yaitu media audio, media visual, media audo visual, dan media serbaneka.
1. Media Audio : Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan audio dari sumber pesan ke penerima pesan. Media audio berkaitan erat dengan indra pendengaran.contoh media yang dapat dikelompokkan dalam media audio diantarany : radio, tape recorder, telepon, laboratorium bahasa, dll.
2.  Media Visual : Media visual yaitu media yang mengandalkan indra penglihat. Media visual dibedakan menjadi dua yaitu (1) media visual diam (2) media visual gerak
a.     Media visual diam contohnya foto, ilustrasi, flashcard,gambar pilihan dan potongan           gambar, film bingkai, film rngkai,OHP, grafik, bagan, diagram, poster, peta, dan lain-            lain.
b.    Media visual gerak contohnya gambar-gambar proyeksi bergerak seperti film bisu dan        sebagainya.
3.  Media audio visual : Media audiovisual merupakan media yang mampu menampilkan suara dan gambar. Ditinjau dari karakteristiknya media audio visual dibedakan menjadi 2 yaitu (1) madia audio visual diam, dan (2) media audio visual gerak.
a).   Media audiovisual diam diantaranya TV diam, film rangkai bersuara, halaman        bersuara, buku bersuara.
b).   Media audio visual gerak diantaranya film TV, TV, film bersuara, gambar   bersuara,dll.
4. Media Serbaneka :  Media serbaneka merupakan suatu media yang disesuaikan dengan potensi di suatu daerah, di sekitar sekolah atau di lokasi lain atau di masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran. Contoh media serbaneka diantaranya : Papan tulis, media tiga dimensi, realita, dan sumber belajar pada masyarakat.
a).   Papan (board) yang termasuk dalam media ini diantaranya : papan tulis, papan       buletin, papan flanel, papan magnetik, papan listrik, dan papan paku.
b).   Media tiga dimensi diantaranya : model, mock up, dan diorama.
c).   Realita adalah benda-benda nyata seperti apa adanya atau aslinya . contoh pemanfaatan realit misalnya guru membawa kelinci, burung, ikan atau dengan         mengajak siswanya langsung ke kebun sekolah atau ke peternakan sekolah.
d).   Sumber belajar pada masyarakat diantaranya dengan karya wisata dan berkemah
Macam-macam permainan bahasa:
            Ada beberapa macam permainan yang dapat diguanakan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia. Beberapa contoh diantaranya sebagai berikut:
a.       Bisik berantai; Permainan ini dilakukan dengan cara setiap siswa harus membisikkan suatu kata (untuk kelas rendah) atau kalimat atau cerita (untuk kelas tinggi) kepada pemain berikutnya. Terus berurut sampai pemain terakhir. Pemain terakhir harus mengatakan isi kata atau kalimat atau cerita yang dibisikkan. Betul atau salah? Bila salah. Dimana atau siapa yang melakukan kesalahan. Permainan ini dapat dilombakan dengan cara berkelompok. Permainan ini melatih keterampilan menyimak atau mendengarkan

b.      Kim Lihat (lihat katakan); Sediakan beberapa benda atau sayuran, atau buah-buhan dalam suatu kotak tertutup. Siswa berkelompok, seorang siswa anggota kelompok harus melihat satu benda yang ada di dalam kotak. Setelah dilihat jelas, siswa tersebut harus menjelaskan sejelas-jelasnya kepada kelomponya, baik ciri-cirinya, rasanya, warnanya atau apa saja yang dapat dilihatnya. Anggota kelompok yang lain harus mengambil benda yang dijelaskan oleh siswa yang melihat tadi. Kelompok yang paling cepat dan paling banyak mengambil benda dalam kotak itulah yang menang. Permainan ini untuk melatih keterampilan berbicara dan menyimak

c.       Aku seorang detektif; Permainan ini dilakukan berpasangan. Seorang siswa menjadi ditektif, seorang lagi menjadi informan. Informan harus menentukan-memilih salah seorang dari temannya yang ada di kelas sebagai penjahat yang akan dicari oleh ditektif. Ia harus memberi keterangan secara tertulis yang sejelas-jelasnya tentang penjahat yang akan dicari ditektif. Ditektif membaca informasi tertulis dari informan dan menerka siapa yang menjadi target pencarian di kelas itu. Setelah selesai posisi diubah, yang tadinya informan menjadi ditektif dan tadinya ditektif menjadi informan. Permainan dapat difariasikan dengan sasaran yang dicari dari foto atau gmbar dari koran. Permainan ini untuk melatih keterampilan membaca dan menulis

d.      Bertanya dan menerka; para siswa dibagi dua kelompok. Kelompok satu sebagai penjawab dan kelompok kedua sebagai penannya. Kelompok penjawab harus menyembunyikan satu benda yang akan diterka oleh kelompok penannya dengan cara memberi pertanyaan yang mengarah kepada benda yang harus diterka. Setiap anggota kelompok penanya diberi kesempatan untuk memberikan satu pertanyaan kepada kelompok penjawab. Kelompok penjawab hanya boleh menjawab ”ya” atau ”tidak”. Setelah seluruh anggota kelompok bertanya, maka kelompok harus berunding dari hasil jawaban penjawab, benda apa yang disembunyikannya itu. Bila dapat diterka, maka kelompok penanya mendapat nilai. Permainan ini untuk melatih berbicara dan berpikir analitis

e.       Baca lakukan. Permainan ini untuk kelas rendah yang sudah bisa membaca. Dilakukan berpasangan. Seorang anak harus membaca suruhan tertulis yang dibuat guru, pasangan harus melakukan apa yang diperintahkan dalam bacaan. Perhatikan Misalnya saya harus merunduk. Saya memegang lutut kiri. Saya menari sambil memegang kepala. Guru memperhatikan beberapa perintah yang dilaksanakan dengan benar dan apakah pembaca membaca perintah dengan benar. Permainan dilakukan bergantian. Permainan ini untuk melatih membaca dan menyimak.

f.       Bermain telepon. Permainan ini untuk kelas rendah. Siswa secara berpasangan harus mempersiapkan alat untuk menelpon, baik telepon biasa maupun telepon genggam. Siswa harus menelpon temannya menanyakan pekerjaan rumah atau buku pelajaran yang dibawa besok hari. Biarkan siswa mengembangkan percakapannya sendiri, kecuali kalau terhenti, guru memberi pancingan berupa pertanyaan kepada siswa. Guru memperhatikan cara siswa mengungkapkan gagasan dan kalau perlu cara pelafalan yang benar. Permainan ini untuk melatih berbicara.

g.      Meloncat bulatan kata. Buatlah bulatan-bulatan dari kertas karton, kira-kira sebesar piring. Tulislah nama-nama susuna keluarga, misalnya; ayah, ibu, kakak, adik. Pasanglah bulatan kata itu di lantai. Bentuklah siswa menjadi beberapa kelompok. Seluruh siswa setiap kelompok meloncati bulatan kata yang diucapkan kelompok lain atau guru. Misalnya loncat ke kakak, loncat ke ibu, loncat ke adik. Dengan demikian, setiap anak membaca bulatan untuk diinjak. Lebih meningkat lagi, bulatan kata bisa dalam bentuk yang lebih sulit, misalnya kata yang bila digabung menjadi kalimat. Kata dalam bulatan disebar di lantai dan memungkinkan dapat menyusun beberapa kalimat bila diloncati dengan benar. Misalnya: Ayah pergi ke pasar. Ayah membawa buku. Jadi siswa harus loncat ke ayah, pergi ke dan pasar. Permainan ini untuk membaca permulaan.








RPS 12 & 13 PENGERTIAN EVALUASI / ASESMEN, JENIS-JENIS EVALUASI, ASESMEN BAHASA INDONESIA DAN CONTOH
Evaluasi Dan Asesmen
            Evaluasi adalah proses melakukan pertimbangan nilai tentang sesuatu (produk, kinerja, tujuan, proses, prosedur, program pendekatan, fungsi). Evaluasi Belajar dan Kemampuan (dapat menghasilkan kelulusan). Evaluasi sering menggunakan asesmen. Sedangkan, Asesmen adalah proses untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan pada evaluasi. Asesmen atau penilaian merupakan tahapan dalam proses belajar mengajar yang relatif cukup rumit pelaksanaannya. Penilaian sering diterjemahkan dari dua istilah asing yang sebenarnya memiliki makna berbeda. Dua istilah tersebut adalah evaluation dan assessment.
            Assessment merupakan proses pengumpulan dan diskusi tentang informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, dalam rangka mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang apa yang sudah diketahui dan dipahami oleh mahasiswa, dan apa yang dapat mereka lakukan dengan pengetahuan dan pemahamannya itu sebagai hasil dari pengalaman belajar yang mereka peroleh. Melalui Assessment dapat ditentukan seberapa jauh kemajuan belajar mahasiswa. Melalui assessment dapat diketahui capaian competency level melalui program-program yang mereka tempuh dan memungkinkan bagi mereka untuk menunjukkan capaian standar sebagaimana yang telah ditetapkan. Assessment lebih bermakna sebagai penilaian yang dilakukan untuk memberikan ‘ grade’ baik secara numeric (misalnya skala 100 atau skala 5), abjad (A – F), dan deskripsi, baik yang menyangkut order seperti sangat baik, baik, cukup, kurang dan sebagainya atau yang bersifat dikotomi seperti kompeten atau tidak kompeten.
            Banyak orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin Syamsuddin Makmun, 1996) memengemukakan bahwa : educational evaluation is the process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.
            Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.

Jenis Asesmen dan Evaluasi
Assesmen
a.       Asesmen Konvensional : Secara konvensional, evaluasi terhadap suatu kemampuan (pengetahuan atau keterampilan) siswa dilakukan dengan suatu proses pengukuran terhadap kemampuan tersebut menggunakan teknik tes
b.      Asesmen Alternatif : Teknik pengukuran untuk mengevaluasi kemampuan siswa dengan menggunakan teknik pengukuran non-tes.
c.       Asesmen Otentik  : Salah satu bentuk asesmen alternatif yang teknik pengukurannya meminta siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan atau menunjukkan keterampilan sebagaimana pengetahuan atau keterampilan itu dipakai dalam dunia nyata.
d.      Asesmen Kinerja : Bentuk asesmen alternatif lain yang teknik pengukurannya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan berbagai situasi untuk siswa atau menciptakan berbagai situasi agar siswa dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai situasi (Marzano, 1992).  Pemanfaatan bentuk-bentuk asesmen di atas dilakukan dengan mengacu pada prinsip asesmen berikut.  Dilakukan secara sistematis melalui pengamatan, perekaman,dan analisis  Delakukan dengan dengan memperhatikan tujuan pengajaran (prilaku yang terukur, kondisi, dan kriteria).

e.       Asesmen Alternatif
Bentuk Asesmen Alternatif. Teknik asesmen alternatif yang dibahas pada bagian ini meliputi catatan sekolah, cuplikan kerja, portofolio, wawancara, observasi, dan jurnal.

·         Catatan sekolah : laporan tentang kemajuan belajar siswa berupa deskripsi tentang aspek – aspek yang dialami siswa berkaitan dengan mata pelajaran di sekolah
·         Cuplikan kerja dan tes performansi : unjuk kerja kegiatan yang dihasilkan siswa berkaitan dengan pengetahuan yang sedang dipelajari.
·         Portofolio : berkas bukti – bukti yang disusun untuk mendapatkan akreditasi perolehan belajar melalui pengalaman. Dalam format penilaian portofolio dideskripsikan tentang metode, pemenuhan kriteria, dan keputusan (diterima,ditolak, bersyarat dengan tambahan). Untuk ini lampiran berkas bukti – bukti untuk kerja siswa harus diperhatikan.
·         Wawancara : teknik asesmen lisan yang digunakan untuk memperoleh jawaban dari siswa tentang sesuatu yang telah dipelajari. Asesmen dengan wawancara ini dapat dipakai sebagai penunjang atan pelengkap jika dengan asesmen yang lain belum didapatkan gambaran yang jelas tentang siswa.
·         Observasi : teknik asesmen alternatif yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara teliti serta mencatat secara sistematis tentang sesuatu yang terjadi dikelas berkaitan dengan materi yang ditargetkan guru. Observasi ini harus selalu diusahakan dalan situasi yang alami agar mendapatkan data yang sebenarnya.
·         Jurnal : Jurnal merupakan catatan harian siswa yang menggambarkan kegiatan siswa setiap hari. Jurnal ini dapat berisikan hal – hal yang dilakukan siswa diluar jam sekolah. Selain itu dapat juga dipakai oleh guru untuk memberi pertimbangan, motivasi, dan penguatan kepada siswa.
·         Catatan Anekdotal : catatan pengamatan informal yang menggambarkan perkembangan bahasa maupun perkembangan sosial, kebutuhan, kelebihan, kekurangan, kemajuan, gaya belajar, ketarampilan, dan strategi yang digunakan peserta didik atau yang berkaitan dengan hal apa saja yang tampak bermakna ketika dilakukan pengamatan. Catatan ini berisi komentar singkat yang spesifik mengenai sesuatu yang dikerjakan dan yang perlu dikerjakan siswa yang didokumentasikan secara terus menerus sehingga menggambarkan kemampuan berbahasa anak secara luas.

Evaluasi (Penilaian)
            Sasaran yang dinilai dalam penilaian proses adalah tingkat efektivitas KBM dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Penilaian proses merupakan upaya mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar siswa. Jenis penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemajuan belajar siswa untuk keperluan perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar siswa serta untuk memperoleh umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Untuk mengetahui kegiatan kemajuan belajar, serta hasil belajar dapat digunakan 3 jenis penilaian, yaitu : ulangan harian (formatif), tugas dan pekerjaan rumah, serta ulangan umum (sumatif).
1.  Ulangan harian dapat dilakukan dalam bentuk tulis, lisan/mencongak, perbuatan, dan pengamatan pada setiap akhir pokok bahasan. Ulangan harian dilaksanakan minimal 4 kali dalam satu semester.
2.  Tugas dan pekerjaan rumah dilaksanakan untuk setiap mata pelajaran di setiap tingkatan/kelas. Pemberian tugas dan pekerjaan rumah dilakukan secara teus menerus dengan menggunakan teknik yang bervariasi, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran (pokok bahasan). Pelaksanaan pemberian tugas dan pekerjaan rumah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut.
(a)   Jumlah tugas dan pekerjaan rumah hendaknya tidak memberatkan siswa.
(b)   Tujuan pokok pemberian tugas dan pekerjaan rumah adalah agar siswa dapat menerapkan atau menggunakan apa yang telah dipelajarinya.
(c) Waktu pemberian tugas dan pekerjaan rumah diatur sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi dalam waktu yang sama.
(d)  Ulangan umum (sumatif) dilakukan dalam bentuk tulis, lisan, atau perbuatan pada akhir semester. Alat penilaian yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik setiap mata pelajaran, tingkat kelas, dan kondisi yang ada.
            Bentuk soal uraian lebih diutamakan, dengan maksud untuk merangsang daya pikir siswa dan melatih siswa dalam mengemukakan pendapat, tanggapan, dan pemikirannya. Pusat perhatian penilaian proses belajar adalah tingkat efektivitas proses kegiatan belajar dalam mencapai tujuan pengajaran sedangkan pusat perhatian penilaian hasil belajar adalah tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang dipelajari. Keduanya bersifat saling mengisi, masalah proses dan hasil sama pentingnya. Hasil yang baik dapat dicapai jika proses belajar mengajarnya baik dan proses yang baik akan dapat melahirkan hasil yang baik pula.
            Jenis penilaian yang pertama dari kedua (ulangan dan tugas/pekerjaan rumah) dapat dikategorikan sebagai penilaian proses, sedangkan jenis penilaian yang ketiga (ulangan umum) termasuk penilaian hasil belajar.
            Penilaian proses dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis alat penilaian, yakni menggunakan alat yang berupa tes dan nontes. Jenis tes yang dapat digunakan berupa tes tulis, tes lisan, dan tes perbuatan/tindakan. Para ahli menyarankan, sebaiknya tes yang digunakan dalam penilaian proses berupa tes uraian, bukan tes objektif, dengan pertimbangan tes uraian dapat mendorong siswa untuk berpikir analitis, kritis, dan kreatif. Dalam penilaian proses ini guru memiliki peluang yang cukup untuk dapat mengimplementasi prinsip-prinsip bahasa Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh KBK.

Penerapan Teknik Asesmen Alternatif dalam Aspek Kognitif
            Penjelasaan mengenai penerapan teknik asesmen alternatif dalam aspek kognitif ini akan diuraikan melalui pemberian contoh pengajaran menulis sebagai berikut. Materi: Menulis Deskripsi untuk Kelas V SD. Tujuan Pengajaran: Siswa memahami cara menulis prosa deskripsi dengan ejaan yang benar. Serta mengkomunikasikan ide atau pesan secara tertulis. Isi/Keterampilan: Aspek kognitif (K1, K2, K3, K4, K5, K5).
Teknik asesmen alternatif yang dapat dipilih:
1. Cuplikan Kerja : Buat sebuah paragraf deskripsi dengan topik : kegiatan disekolah: Upacara Bendera paling sedikit 30 kata, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasil tulisanmu akan dinilai dari segi: ketepatan isi, kerapihan, tulisan, penggunaan ejaan dan tanda- tanda baca, dan pemakaiaan kata – kata. Selesaikan tuhas ini dalam waktu 30 menit.

2. Observasi : Guru mengamati murid – murid ketika ditugasi membuat karangan deskripsi tentang kegiatan sekolah: Upacara Bendera. Guru juga mencatat murid – murid yang dapat dan yang belum dapat membuat karangan deskripsi terutama murid – murid yang mengalami kesulitan dalam memulai tulisannya. Dari hasil observasi ini, secara individual guru memberikan bimbingan cara menulis deskripsi dalam bahasa indonesia yang baik dan benar.
3. Wawancara : Wawancara yang digunakan dalam asesmen ini adalah wawancara terbatas yang digunakan sebagai penunjang teknik asesmen alternatif lainnya. Dari hasil observasi kita menemui murid yang mengalami kesulitan membuat karangan deskripsi dan pada kegiatan wawancara guru melihat kembali pengetahuan dan pemahaman murid mengenai mengarang deskripsi, dengan memancing melalui pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan deskripsi?
- Kapan kemu mengikuti upacara bendera? Di mana?
- Siapa saja yang mengikuti upacara bendera?
- Apa saja yang terjadi pada saat upacara bendera? dan lain – lain.
4. Portofolio : Guru dapat memberikan pangakuan atas kemampuan mengarang deskripsi siswa berdasarkan berkas – berkas bukti cuplikan kerja, hasil observasi, dan wawancara. Bila siswa sudah memenuhi kriteria yang ditentukan guru, ini berarti siswa telah diakui memiliki kemamupan tersebut. Akan tetapi bila siswa sudah dapat mengarang deskripsi tetapi belum sempurna dalam arti misalnya kurang mampu menulis dengan ejaan yang baik dan benar maka siswa dinyatakan bersyarat. Dengan demikian, siswa yang bersangkutan harus mengikuti petunjuk yang diberikan guru. Misalnya mengikuti wawancara, dan atau mengulang membuat karangan deskripsi dengan topik yang sama.
5. Catatan Sekolah : Dari uraian portofolio di atas, hasil akreditasi kemampuan siswa dilaporkan dalam bentuk catatan sekolah, misalnya dari hasil pengalaman belajar siswa (Gia) pada catur wulan ini Gia sudah tahu dan paham mengenai karangan deskripsi. Pemilihan kosakata cukup bagus, hanya Gia masih kurang tepat menggunkan ejaan atau tanda baca.
6. Catatan Anekdotal : Catatan menulis Gia, siswa kelas V
Sikap: 10 Mei 2003 senang menulis cerita, banyak melakukan kegiatan berbicara tentang isi tulisannya
Penilaian Aspek Pengajaran Bahasa Indonesia
            Untuk dapat menilai kegiatan belajar yang bertumpu pada keterampilan membaca guru perlu mengetahui cara yang efektif dalam kegiatan belajar membaca. Berikut dikemukakan beberapa hal yang seringkali dipandang sebagai penghambat dalam belajar membaca, khususnya membaca permulaan. Tingkah laku dalam membaca tersebut antara lain sebagai berikut.
·         membaca kata demi kata dengan cara yang lambat
·         membaca cepat, tanpa memperhatikan tanda baca
·         menggunakan telunjuk jari
·         mengulang kata, frasa, atau baris
·         kehilangan jejak/tempat sewaktu membaca
·         membaca gambar sebagai ganti membaca huruf
·         tidak dapat membedakan frasa dalam membaca bersuara
·         menggunakan suara yang monoton
·         menggunakan suara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
·         menggunakan suara yang terlalu keras atau terlalu lemah
·         menggerakkan kepala dalam membaca
·         bergumam dalam membaca
·         membaca dengan cara yang sama untuk semua jenis bacaan
·         tampak tegang dalam membaca
·         mudah terkecoh oleh bacaan
·         menghindari hal yang dianggap sulit
·         tidak dapat duduk tenang dalam membaca
·         terlalu banyak bertanya selama membaca
Kesulitan menganalisis kata
·         kata dan kebalikannya
·         huruf dan kebalikannya
·         sulit mengucapkan kata
·         mengganti kata dengan sinonimnya
·         sulit mengidentifikasikan rima kata
·         tidak dapat mengucapkan rima kata secara otomatis
·         salah mengucapkan huruf
·         tidak dapat mengidentifikasi kata yang dimulai dengan bunyi-bunyi tertentu
·         sulit membedakan antara bunyi panjang dan bunyi pendek
·         sulit membedakan vokal panjang dalam suatu kata
·         sulit mengingat kata
·         butuh waktu ekstra untuk mengerjakan tugas membaca
Kesulitan pemahaman
·         menambah atau mengurangi kata dalam membaca
·         berhenti setiap ada tanda baca
·         menghindari ketidaksesuaian dalam membaca
·         tidak dapat mengingat detail isi
·         tidak dapat mengurutkan isi bacaan
·         tidak dapat meramalkan akhir isi bacaan
·         sulit menceritakan kembali isi
·         menjawab pertanyaan berdasarkan pengalaman pribadi, bukan teks bacaan
·         sulit membuat inferensi
·         sulit menyimpulkan apa yang dibacanya
·         sulit menunjukkan tempat suatu informasi dalam teks
·         sulit mengidentifikasi ide pokok
·         tidak dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan kata yang terdapat dalam teks
·         tidak dapat memberikan sinonim atau antonim kata
·         sulit mengikuti petunjuk dalam bacaan (Rofi’uddin, 1996).






RPS 14 & 15 PEMBELAJARAN KONSTEKTUAL, QUANTUM LEARNING, PEMBELAJARAN KOOPERATIF, PEMBELAJARAN INTERAKTIF, PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCESS, PROGRAM INDIVIDU, AKSELERASI, PAKEM,CONTOH RPP TIAP MODEL
Pembelajaran Kontekstual 
            Sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).
Dalam Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu:
(1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
(2) melakukan pekerjaan yang berarti,
(3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
(4) bekerja sama,
(5) berpikir kritis dan kreatif,
(6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
(7) mencapai standar yang tinggi, dan
(8) menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).
            Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya. Pembelajaran Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
            Pembelajaran Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109). Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. 
            Pertama, pembelajaran Kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
            Kedua, pembelajaran Kontekstual  mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
            Ketiga, pembelajaran Kontekstual  mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:
1)   Dalam Pembelajaran Kontekstual pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2)   Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).  Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
3)   Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
4)   Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
5)   Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Quantum Learning
            Pengajaran yang dapat mengubah suasana belajar yang menyenangkan serta mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi sesuatu yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Quantum Learning merupakan suatu pembelajaran yang mempunyai misi utama untuk mendesain suatu proses belajar yang menyenangkan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan.
            Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas. Quantum learning muncul dari upayaGeorgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria yang melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology(suggestopedia).[3] Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan set iap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.
            Selanjutnya, Bobbi DePorter & Mike Hernacki (2011:30) mengungkapkan mengenai karakterisitik dari pembelajaran kuantum (quantum learning) yaitu sebagai berikut.
Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai.
1)   Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis.
2)   Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis.
3)   Pembelajaran kuantum berupaya memadukan (mengintegrasikan), menyinergikan, dan mengkolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran.
4)   Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna.
5)   Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
6)   Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat.
7)   Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran.
8)   Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis.
9)   Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan (dalam) hidup, dan prestasi fisikal atau material.
10)              Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran.
11)              Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban.
12)              Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Tujuan
            Menurut Bobbi DePorter & Mike Hernacki (2011:12) adapun tujuan dari pembelajaran kuantum (quantum learning) adalah sebagai berikut. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Untuk menciptakan proses belajar yang menyenangkan. Untuk menyesuaikan kemampuan otak dengan apa yang dibutuhkan oleh otak. Untuk membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karir. Untuk membantu mempercepat dalam pembelajaran
            Tujuan di atas, mengindikasikan bahwa pembelajaran kuantum mengharapkan perubahan dari berbagai bidang mulai dari lingkungan belajar yaitu kelas, materi pembelajaran yang menyenangkan, menyeimbangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan, serta mengefisienkan waktu pembelajaran. Menurut Kompasiana (2010) Lingkungan belajar dalam pembelajaran kuantum terdiri dari lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro adalah tempat siswa melakukan proses belajar, bekerja, dan berkreasi. Lebih khusus lagi perhatian pada penataan meja, kursi, dan belajar yang teratur. Lingkungan makro yaitu dunia luas, artinya siswa diminta untuk menciptakan kondisi ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya, sehingga kelak dapat berhubungan secara aktif dengan masyarakat.
            Selain itu, Bobbi DePorter,et al., (2004:14) menyatakan mengenai lingkungan dalam konteks panggung belajar. “Lingkungan yaitu cara guru dalam menata ruang kelas, pencahayaan warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, musik, dan semua hal yang mendukung proses belajar”. Jadi, dapat dikatakan bahwa pembelajaran kuantum sangat memperhatikan pengkondisian suatu kelas sebagai lingkungan belajar dari peserta didik mengingat model pembelajaran kuantum merupakan adaptasi dari model pembelajaran yang diterapkan di luar negeri.
Keunggulan dan Kelemahan Model pembelajaran Kuantum (Quantum Learning) Bobbi DePorter & Mike Hernacki (2011:18-19) dalam bukunya yang berjudul ”Quantum Learning” juga menjelaskan mengenai keunggulan dan kelemahan dari pembelajaran kauntum (quantum learning) yaitu sebagai berikut.
Keunggulan
1)      Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai.
2)      Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis.
3)      Pembelajaran kuantum lebih konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis.
4)      Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna.
5)      Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
6)      Pembelajaran kuantum sangat menentukan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat.
7)      Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran.
8)      Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran.
9)      Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan (dalam) hidup, dan prestasi fisikal atau material.
10)  Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran.
11)  Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban.
12)  Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Kelemahan
1)      Membutuhkan pengalaman yang nyata
2)      Waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan motivasi dalam belajar
3)      Kesulitan mengidentifikasi keterampilan siswa
            Berdasarkan pemaparan keunggulan dan kelemahan pembelajaran kuantum, pembelajaran kauntum sangat memperhatikan keaktifan serta kreatifitas yang dapat dicapai oleh peserta didik. Pembelajaran kuantum mengarahkan seorang guru menjadi guru yang “baik”. baik dalam arti bahwa guru memiliki ide-ide kreatif dalam memberikan proses pembelajaran, mengetahui dengan baik tingkat kemampuan siswa.

Pembelajaran Kooperatif
            Pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
            Pada dasarnya manusia mempunyai perbedaan, dengan perbedaan itu manusia saling asah, asih, asuh ( saling mencerdaskan ). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat belajar ( learning community ). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru, tetapi dengan sesama siswa juga. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif
            Didalam pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan. Menurut  Lie ( 2004 ):
1. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan atau yang biasa disebut dengan saling ketergantungan positif yang dapat dicapai melalui : saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah.
2. Interaksi tatap muka
Dengan hal ini dapat memaksa siswa saling bertatap muka sehingga mereka akan berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan dengan guru tetapi dengan teman sebaya juga karena biasanya siswa akan lebih luwes, lebih mudah belajarnya dengan teman sebaya.
3. Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian ini selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok mengetahui siapa kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan,maksudnya yang dapat mengajarkan kepada temannya. Nilai kelompok tersebut harus didasarkan pada rata-rata, karena itu anggota kelompok harus memberikan kontribusi untuk kelompnya. Intinya yang dimaksud dengan akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang didasarkan pada rata-rata penguasaan semua anggota secara individual.
4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial dalam menjalin hubungan antar siswa harus diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga siswa lainnya.
Unsur – Unsur Model Pembelajaran Kooperatif. Menurut Roger dan David Johnson ada 5 unsur dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu :
1. Positive interdependence ( saling ketergangtungan positif ). Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada 2 pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
Beberapa cara membangun saling ketergantungan positif yaitu :
a)  Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota kelompok mencapai tujuan.
b)  Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai tujuan.
c)  Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dalam kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas kelompok.
d) Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling mendukung dan saling berhubungan, saling melengkapi dan saling terikat dengan peserta didik lain dalam kelompok.
2. Personal responsibility ( tanggung jawab perorangan ). Tanggung jawab perorangan merupakan kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.
3. Face to face promotive interaction ( interaksi promotif ). Unsur ini penting untuk dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri – ciri interaksi promotif adalah :
a.  Saling membantu secara efektif dan efisien
b.  Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan
c.  Memproses informasi bersama secara lebih effektif dan efisien
d.  Saling mengingatkan
e.  Saling percaya
f.  Saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama
4. Interpersonal skill ( komunikasi antar anggota / ketrampilan ). Dalam unsur ini berarti mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta didik, maka hal yang perlu dilakukan yaitu :
a.  Saling mengenal dan mempercayai
b.  Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius
c.  Saling menerima dan saling mendukung
d.  Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
5. Group processing ( pemrosesan kelompok ). Dalam hal ini pemrosesan berarti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
1. Meningkatkan hasil belajar akademik. Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan social, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas – tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep – konsep yang sulit.
2. Penerimaan terhadap keragaman. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbada latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas – tugas bersama.
3. Pengembangan ketrampilan sosial. Mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi untuk saling berinteraksi dengan teman yang lain.
Model pembelajaran Interaktif
            Suatu cara atau teknik pembelajaran yang digunakan guru pada saat menyajikan bahan pelajaran dimana guru pemeran utama dalam menciptakan situasi interaktif yang edukatif, yakni interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan dengan sumber pembelajaran dalam menunjang tercapainya tujuan belajar. Menurut Syah (1998) proses belajar mengajar keterlibatan siswa harus secara totalitas, artinya melibatkan pikiran, penglihatan, pendengaran dan psikomotor (keterampilan, salah satunya sambil menulis). Dalam proses mengajar seorang guru harus mengajak siswa untuk mendengarkan, menyajikan media yang dapat dilihat, memberi kesmpatan untuk menulis dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan sehingga terjadi dialog kreatif yang menunjukan proses belajar mengajar yang interaktif.
            Dari beberapa pendapat mengenai model pembelajaran interaktif tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model ini dirancang untuk menjadikan suasana belajar mengajar di kelas berpusat pada siswa agar aktif membangun pengetahuannya melalui penyelidikan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Didalam model pembelajaran interaktif siswa diberi kesempatan untuk melibatkan keingintahuannyadengan cara membuat pertanyaan mengenai topik yang akan dipelajari, kemudian melakukan penyelidikan tentang pertanyaan mereka sendiri.
            Pertanyaan yang muncul dari siswa dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Disini guru berperan untuk membimbing siswa agar pertanyaan tidak melenceng dari tujuan pembelajaran. Pertanyaan yang dilontarkan oleh siswa menunjukkan rasa ingin tahu siswa terhadap topik yang akan dibahas dan menimbulkan minat siswa untuk meneliti dan berinvestigasi.

Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences 
            Inteligensi terkait erat dengan tingkat kemampuan seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik itu kemampuan secara fisik maupun non fisik. Banyak hal yang telah diteliti orang tentang kemampuan ini, sehingga melahirkan rumus tetang bagaimana mengukur tingkat inteligensi seseorang. Teori Kecerdasan manusia pertama kali dikembangkan oleh Alfred Binet seorang psikolog dengan nama IQ (Intellegent Quotient). Namun IQ bukanlah satu-satunya komponen kecerdasan.
            Seseorang yang memiliki nilai IQ tinggi belum tentu mandiri dalam berfikir, bertindak, menghargai keindahan, humor yang baik, memiliki akal, fasih, fleksibel, cerdik dan komprehensif.  Dengan kata lain, IQ bukanlah tolak ukur utama kecerdasan manusia. Jean Piaget yang merupakan ahli psikolog cognitive developmental mendefinisikan kecerdasan merupakan sesuatu yang digunakan jika kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan (intelligence is what you use when you don`t know what to do).
       Sedangkan Gardner mendefinisikan kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya dan masyarakat (intelligence has ability to solve problems, to create products, that are valued within one or more cultural).  Dari uraian diatas dapat diartikan bahwa kecerdasan harus mengandung dua aspek yakni kemampuan berfikir abstrak dan kapasitas untuk belajar dari pengalaman. Menurut Gardner, manusia mempunyai lebih dari satu intelegensi dengan kemampuan yang berbeda yang kemudian disebutnya dengan sebutan multiple intelligence (kecerdasan majemuk). Kecerdasan tersebut diantaranya;
a. Kecerdasan Bahasa (Linguistik Intelligence). Kecerdasan Linguistik yaitu kemampuan dalam menggunakan dan mengolah kata dalam bentuk tulisan atau lisan. Kecerdasan liguistik berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi dan berdebat, kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa secara umum. Seseorang yang mempunyai kecerdasan linguistik biasanya merespon dan mendengar setiap suara dan ritme. Biasanya ahli dalam makna kata (semantik), aturan kata (sintaksis), ungkapan kata maupun fungsi bahasa (pragmatik).
Seseorang yang mempunyai kecerdasan linguistik tinggi senang mengekspresikan diri dengan bahasa. Untuk mengembangkan kecerdasan linguistic peserta didik, guru dapat melakukan kegiatan pembelajaran diantaranya bermain kata, diskusi kelompok, sandiwara/pertunjukan, tim debat, curah gagasan, tell story, teka teki silang dan menulis jurnal.

b.Kecerdasan Matematika -logika (Logical-Mathematical Intelligence). Kecerdasan Matematika – logika  (Logical-Mathematical Intelligence) yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah dengan penalaran yang logis, menggunakan angka dengan baik. Kecerdasan ini digunakan untuk menciptakan hipotesis dan mengujinya dengan data eksperimen. Kecerdasan ini adalah kepekaan pada pola logika untuk menganalisa kasus atau permasalahan, dan melakukan perhitungan matematis.
Seseorang yang dominan kecerdasan  matematik logika biasanya senang dengan angka-angka, menyukai ilmu pengetahuan, suka memecahkan misteri, senang menghitung, senang mengestimasi, atau menerka jumlah, mudah mengingat angka-angka, menyukai permainan yang menggunakan strategi seperti catur, memperhatikan hubungan antara perbuatan dengan akibatnya (yang disebut sebab akibat), menghabiskan waktu mengerjakan asah otak atau teka-teki logika, senang mengorganisasikan informasi dalam tabel serta grafik, dan menggunakan komputer lebih dari sekedar untuk bermain permainan.
Cara ataupun kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengembangkan kecerdasan Logis-Matematis diantaranya adalah: menggunakan tanya jawab, pemecahan masalah, mengkonstruksi model-model dari konsep-konsep kunci, ekspeiman, dan permainan yang menggunakan strategi dan logika.
c.Kecerdasan dimensi ruang (Visual-Spatial Intelligence). Kecerdasan spasial disebut juga kecerdasan visual yaitu kemampuan untuk memahami konsep ruang, posisi, letak dan bentuk-bentuk tiga dimensi. Biasanya suka menggambarkan ide-ide atau membuat sket untuk membantu memecahkan masalah, berpikir dalam bentuk gambar-gambar serta mudah melihat berbagai objek. Kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan dimensi ruang ini dengan cara membangun lingkungan belajar , presentasi bergambar, permainan kartu, memperbanyak visual baik secara konvensional maupun dengan teknologi.
 
d.    Kecerdasan Kinestetik (Bodily-Kinestehetic Intelligence). Kecerdasan Kinestetik-Jasmani (Bodily-Kinestehetic Intelligence) yaitu kemampuan mengkoordinasi penglihatan dan gerak tubuh atau keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Kecerdasan ini berhubungan dengan penggunaan tubuh secara terampil. Kecerdasan kinestetik dapat juga diartikan sebagai keterampilan dalam menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu menjadi karya (kerajinan). Seseorang yang memiliki kecerdasan kinestetik biasanya suka bergerak dan aktif, mudah dan cepat mempelajari keterampilan-keterampilan fisik, bergerak sambil berfikir, senang berakting, pandai meniru gerak-gerik serta ekspresi orang lain, berprestasi dalam sport tertentu, terampil membuat kerajinan atau membangun model-model, lihai dalam berdansa/menari. Proses pembelajaran yang dapat dilaksanakan adalah dengan melibatkan fisik secara umum dalam proses pembelajaran dan lakukan latihan melaui gerakan, permainan peran dan  simulasi. 

e.    Kecerdasan Musical (Musical Intelligence). Kecerdasan Musical (Musical Intelligence) yaitu kemampuan untuk mengenali, mengolah yang berkaitan dengan nada-nada, dengan cara mempersepsi, membedakan, mengubah dan mengekspresikan. Seseorang yang memiliki kecerdasan musical biasanya senang menyanyi, senang mendengarkan musik, senang memainkan instrumen musik, mudah mengingat melodi atau nada, mudah mengenali banyak lagu yang berbeda, mendengar perbedaan antara instrumen yang berbeda-beda yang dimainkan bersama-sama, bersenandung atau bernyanyi sambil mengerjakan tugas, mudah menangkap irama dan suara-suara di sekelilingnya, senang membuat suara-suara musikal dengan tubuh (bersenandung, bertepuk tangan, menjentikkan jari atau menghentakkan kaki, mengarang atau menulis lagu-lagu atau rap sendiri).
Untuk mengembangkan kecerdasan musical guru dapat melakukan pembelajaran di antaranya: mengemas materi pelajaran dalam format berirama yang dapat dinyanyikan, menghafal perkalian dengan menyanyikan dalam irama lagu tertentu dan  guru juga bisa mengubah lirik lagu untuk mengajarkan konsep. 
f.    Kecerdasan Antarpribadi (Interpersonal Intelligence). Kecerdasan antarpribadi (Interpersonal Intelligence) yaitu kemampuan untuk menjalin interaksi sosial dan memelihara hubungan sosial yaitu keterampilan seseorang dalam menciptakan, membangun dan mempertahankan  relasi tersebut atau kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain.  Seseorang yang memiliki kecerdasan antarpribadi biasanya suka mengamati sesama, mudah berteman, suka menawarkan bantuan ketika seseorang membutuhkannya, senang dengan kegiatan-kegiatan kelompok, percaya diri, dapat menerka bagaimana perasaan seseorang hanya dengan memandang, menyemangati teman lain, lebih suka bekerja dan belajar berkelompok daripada sendiri. Pengembangan kecerdasan interpersonal dalam kegiatan belajar dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan belajar secara kelompok, beri waktu luang untuk siswa dapat berinteraksi antar sesamanya. Metodologi yang dapat dilakukan adalah dengan problem solving.
g.    Kecerdasan Intrapribadi (Intrapersonal Intelligence). Kecerdasan intrapribadi (Intrapersonal Intelligence) yaitu kemampuan untuk memahami diri sendiri yaitu memahami keinginan, minat hasrat dan harapan yang ada pada diri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Indikator yang menunjukkan kecerdasan Intrapribadi adalah  menyadari dan mengerti tentang emosi diri sendiri dan oranglain, mampu mengembangkan konsep diri yang baik dan benar, lebih suka dan mampu bekerja sendiri, menjunjung tinggi rasa percaya diri. Untuk melatih dan mengembangkan kecerdasan ini dalam pembelajaran oleh guru diantaranya dengan menyediakan waktu untuk refleksi diri dan menghargai perasaan serta memberikan  motivasi.
h.    Kecerdasan Naturalis: Naturalist Intelligence. Kecerdasan Naturalis/Naturalist Intelligence yaitu keahlian mengenali dan mengelompokan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar. Orang yang memiliki kecerdasan ini mempunyai kepekaan pada fenomena alam, suka memelihara binatang, suka berkebun, peduli tentang alam serta lingkungan seperti pantai, gunung, cagar alam dan hutan, suka mengobservasi lingkungan alam seperti mengobservasi batuan, jenis dan lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna. Untuk mengembangkan dan memanfaatkan kecerdasan naturalis ini, guru dapat melakukan pembelajaran dengan menggunakan media lingkungan sekitar, belajar di alam terbuka, mempelajari suatu materi pembelajaran dengan mengamati fenomena alam atau mempelajari kejadian alam.

Pengertian Program Pembelajaran Individual
Program Pembelajaran Individual (PPI) adalah suatu program pendidikan dalam bentuk pernyataan tertulis, untuk setiap siswa Anak Berkebutuhan Khusus yang dikembangklan berdasarkan hasil pertemuan Tim Pengembang PPI.
Isi Program Pembelajaran Individual
a.  Pernyataan tentang taraf kinerja anak saat ini
b.  Pernyataan tentang tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran untuk jangka waktu tertentu (1  Semerter / 2 Semester)
 c. Pernyataan tentang bentuk layanan khusus yang tersedia bagi setiap siswa dengan kebutuhan khusus dan perluasan untuk mengikuti program regular.
 d. Proyeksi waktu yang digunakan untuk memulai kegiatan dan antisipasi waktu pelayanan
 e. Kriteria pencapaian tujuan pembelajaran dan prosedur evaluasi
Kegunaan Program Pembelajaran Individual
            Program Pendidikan Individu untuk menjamin bahwa siswa dengan kebutuhan khusus memiliki suatu program yang diindividualkan untuk mempertemukan kebutuhan untuknya dan mengkomunikasikan secara tertulis kepada individu-individu yang berkepentingan.
Langkah-langkah Pengembangan Program Pembelajaran Individual
a.  Membentuk Tim
b.  Membentuk Asesmen kekuatan, kelemahan dan minat anak
c.  Membentuk tujuan umum (jangka panjang) dan tujuan khusus (jangka pendek) pembelajaran.
d.  Membentuk prosedur dan metode pembelajaran
e.  Membentuk metode evaluasi kemampuan anak
Tim Program Pembelajaran Individual
a.  Guru Pendidikan Khusus
b.  Guru regular/ guru kelas
c.  Diagnostician
d.  Kepala sekolah
e.  Orang tua
f.  Siswa yang bersangkutan (apabila diperlukan)
g.  Spesialis lain (konselor, guru musik, guru seni, guru olahraga dan lain-lain





Akselerasi
            Menurut E.Mulyasa (2003:161) akselerasi adalah belajar dimungkinkan untuk diterapkan sehingga siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata dapat menyelesaikan pelajarannya lebih cepat dari masa belajar yang telah ditentukan. Jadi kelas akselerasi adalah kelas yang diperuntukan bagi siswa yang belajarnya dipercepat sesuai dengan tingkat pemahaman materisehingga ia dapat menempuh waktu studinya lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan pada kelas biasa.
            Pembelajaran Kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Belajar akselerasi adalah belajar yang dilakukan dengan waktu lebih pendek tanpa mengurangi materi yang seharusnya dipelajari. Trianto Southern dan Jones dalam Akbar (2004: 7) menyebutkan keuntungan dari penyelenggaraan program kelas akselerasi bagi anak berbakat, antara lain:
            Meningkatkan efisiensi .Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat akan belajar lebih baik dan efisien. Meningkatkan efektivitas. Siswa yang terikat belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif. Penghargaan Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya. Meningkatkan waktu untuk karier. Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain. Membuka siswa pada kelompok barunya. Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama. Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.
            Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa program akselerasi memberikan manfaat bagi anak yang mempunyai bakat dan kemampuan lebih cepat dalam menangkap materi pelajaran, selain itu dengan pembelajaran akselerasi siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama. Akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan pendidikan yang tepat bagi siswa yang cerdas. Proses yang terjadi akan memungkinkan siswa untuk memelihara semangat dan gairah belajarnya. Akselerasi membawa siswa pada tantangan yang berkesinambungan yang akan menyiapkan siswa menghadapi kekakuan pendidikan selanjutnya dan produktivitas selaku orang dewasa. Melalui program akselerasi ini, siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional pada usia yang lebih muda dan memperoleh kesempatan-kesempatan untuk bekerja produktif
            Kelas akselerasi berfungsi ssebagai kelas percepatan bembelajaran yang disajikan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan lebih atau istimewa dengan materi atau kurikulum yang padat sehingga dalam waktu lebih pendek mereka dapat menyelesaikan pendidikannya. Meskipun pembelajaran akselerasi mempunyai loncatan perkembangna kognitif dan motorik yang kasar , dapat tertinggal soal kematangan perkembangan, baik fisik, emosi, motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara mereka. Mereka juga membutuhkan pendekatan yang intensif dalam pembelajarannya.
            Mereka membutuhkan pendekatan dua arah sekaligus yaitu mengeliminasi kesulitan akibat perkembangan yang dimilikinya dan bakat yang dimiliki oleh dirinya. Artinya : pertama, kearah kesulitannya dimana ia membutuhkan dukungan, stimulasi, terapi, remidial teaching, dan kesabaran. Kedua, membutuhkan berbagai materi yang sesuai dengan karakteristik berpikir seseorang anak yang memiliki bakat yang lebih terhadap materi yang penuh tantangan pengembangan kreativitas dan analisis.
            Guru adalah tenaga pendidik yang mempunyai tugas berat dan tanggung jawab kemanusiaan yang besar berkaitan dengan proses pendidikan yang ada dalam diri generasi bangsa menuju keberhasilan dalam  mlepaskan bekenggu kebodohan. Guru merupakan contoh bagi peserta didik untuk ditiru dalam perilaku yang dimiliki serta kemampuan yang dimiliki untuk manambah wawasan yang luas. Guru diharapkan dapat membimbingnya dalam menapaki tahapan tumbuh kembangnya yang sulit tersebut dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dalam lingkungan yang nyaman.

PAKEM
            PAKEM merupakan model pembelajaran dan menjadi pedoman dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (Rusman, 2010:322). Dengan pelaksanaan pembelajaran PAKEM, diharapkan berkembangnya berbagai macam inovasi kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang partisipatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pembelajaran merupakan implementasi kurikulum di sekolah dari dari kurikulum yang sudah dirancang dan menuntut aktivitas dan kreativitas guru dan siswa sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan secara efektif dan menyenangkan. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Brooks (Rusman, 2010;323), yaitu “ pembaruan dalam harus dimulai dari bagaimana anak belajar, dan bagaimana guru mengajar, bukan dari ketentuan hasil.”
            Guru harus mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat ketika siswa belum dapat membentuk kompetensi dasar dan standar kompetensi berdasarkan interaksi yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran partisipatif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan supaya kompetensi dasar dan standar kompetensi yang telah di rancang dapat tercapai. Guru juga harus ditutut agar melakukan inovasi dalam segala hal yang berkaitan dengan kompetensi yang disandangnya seperti inovasi dalam pembelajaran.
            Untuk itu guru juga dituntut harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai jenis-jenis belajar ( multimetode dan multimedia) dan suasana belajar yang kondusif, baik eksternal maupun internal. Dalam model PAKEM menurut (Rusman, 2010;323); guru dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang dapat ,elibatkan siswa melalui partisipatif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang pada akhirnya membuat siswa dapat menciptakan membuat karya, gagasan, pendapat, ide atas hasil penemuannya dan usahanya sendiri, bukan dari gurunya.
1. Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif yaitu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran secara optimal. Pembe pembelajaranlajaran ini menitikberatkan pada keterlibatan siswa pada kegiatan ( childcentre/student centre) bukan pada dominasi guru dalamn materi pelajaran (teacher centre). Jadi pembelajaran akan lebih bermakna bila siswa diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kegiatan pembelajaran, sementara guru berperan sebagai fasilitator dan mediator sehingga siswa mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam mengaktualisasikan kemampuannya di dalam dan di luar kelas.
2. Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan aktivitas siswa dalam mengases berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan pemahaman dan kompetensinya. Dalam pembelajaran aktif, guru lebih banyak memosisikan dirinya sebagai fasilitator, yang bertugas memberikan kemudahan belajar (to facilitate of kearning) kepada siswa. Dalam kegiatan ini siswa terlibat secara aktif dan berperan dalam proses pembelajaran, sedamngkan guru lebih banyak memberikan arahan dan bimbingan, serta mengatur sirkulasi dan jalannya proses pembelajaran.
3. Pembelajaran Kreatif
Pembelajaran kreatif merupakan proses pembelajaran yang mengharuskan guru untuk dapat memotivasi dan memunculkan kreativitas siswa selama pembelajaran berlangsung, dengan menggunakan beberapa metode dan strategi yang bervariasi, misalnya kerja kelompok, bermain peran, dan pemecahan masalah. Pembelajaran kreaktif menuntut guru untuk merangsang kreativitas siswa, baik dalam mengembangkan kecakapan berpikir maupun dalam melakuakan suatu tindakan. Berpikir kreatif selalu dimulai dengan berpikir kritis, yakni menemukan dan melahirkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau memperbaiki sesuatu. Berpikir kritis harus dikembangkan dalam proses pembelajaran agar siswa terbiasa mengembangkan kreativitasnya. Pada umumnya, berpikir kreatif memiliki empat tahapan sebagi berikut ( Mulyasa, 2006: 192), yaitu:
a.  Tahapan pertama; persiapan, yaitu proses pengumpulan informasi untuk diuji.
b. Tahap kedua; inkubasi, yaitu suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis informasi tersebut sampai diperoleh keyakinan bahwa hipotesis tersebut rasional.
c. Tahap ketiga; iluminasi, yaitu suatu kondisi untuk menemukan keyakinan bahwa hipotesis tersebut benar, tepat dan rasional
d.  Tahap keempat; verifkasi, yaitu pengujian kembali hipotesis untuk dijadikan sebuah rekomendasi, konsep, atau teori. Siswa dikatakan kreatif apabila mampu melakukan sesuatu yang menghasilkan sebuah kegiatan baru yang diperoleh dari hasil berpikir kreatif dengan mewujudkannya dalam bentuk sebuah hasil karya baru.
4. Pembelajaran Efektif
Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan pengalaman baru kepada siswa membentuk kompetensi siswa, serta mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara optimal. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan serta mendidik mereka dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran. Seluruh siswa harus dilibatkan secara penuh agar bergairah dalam pembelajaran, sehingga suasana pembelajaran betul-betul kondusif dan terarah pada tujuan dan pembentukan kompetensi siswa.
Pembelajaran efektif menuntut keterlibatan siswa secara aktif, karena mereka merupakan pusat kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Siswa harus didorong untuk menafsirkan informasi yang di sajikan oleh guru sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya perlu proses penukaran pikiran, diskusi, dan perdebatan dalam rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap materi standar yang harus dikuasai siswa.
Pembelajaran efektif perlu didukung oleh suasana dan lingkungan belajar yang memadai/kondusif. Oleh karena itu guru harus mampu mengelola siswa, mengelola kegiatan pembelajaran, mengelola isi/materi pembelajaran, dan mengelola sumber-sumber belajar. Menciptakan kelas yang efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan secara parsial,melainkan harus menyeluruh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Proses pelaksanaan pembelajaran efektif dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:
(1) melakukan appersepsi ,
(2) melakukan eksplorasi, yaitu memperkenalkan materi pokok dan kompetensi dasar yang akan dicapai, serta menggunakan varuiasi metode,
(3) melakukan konsolidasi pembelajaran, yaitu mengaktifkan siswa dalam pembentukan kompetensi siswa dan mengaitkannya dengan kehidupan siswa,
(4) melakukan penilaian, yaitu mengumpulkan fakta-fakta dan data/dokumen belajar siswa yang valid untuk melakukan perbaikan program pembelajaran.
Untuk melakukan pembelajaran yang efektif , guru harus memerhatikan beberapa hal, sebagai berikut:
1)      pengelolaan tempat belajar,
2)      pengelolaan siswa,
3)      pengelolaan kegiatan pembelajaran,
4)      pengelolaan konten/materi pelajaran, dan
5)      pengelolaan media dan sumber belajar.


5. Pembelajaran Menyenangkan
Pembelajaran menyenangkan (joyfull instruction) merupakan suatu proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat suatu kohesi yang kuat antara guru dan siswa, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan ( not under pressure) ( Mulyasa, 2006:194). Dengan kata lain, pembelajaran menyenangkan adalah adanya pola hubungan yang baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru memosisikan diri sebagai mitra belajar siswa, bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan guru belajar dari siswanya. Dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis dan tidak ada beban, baik guru maupun siswa dalam melakukan proses pembelajaran.
Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan, guru harus mampu merancang pembelajaran dengan baik, memilih materi yang tepat, serta memilih dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan siswa secara optimal.
Ada empat aspek yang memengaruhi model PAKEM, yaitu pengalaman, komunikasi, interaksi, dan refkeksi. Apabila dalam suatu pembelajaran terdapat empat aspek tesebut, maka pembelajaran PAKEM terpenuhi.
a. Pengalaman
Aspek pengalaman ini siswa di ajarkan dapat belajar mandiri. Di dalamnya terdapat banyak cara untuk penerapannya antara lain seperti eksperimen, pengamatan, penyelidikan , dan wawancara. Aspek pengalaman ini siswa belajar banyak melalui berbuat dan dengan melalui pengalaman langsung.
b. Komunikasi
Aspek komunikasi ini dapat dilakukan dengan beberapa bentuk, mengemukakan pendapat, peresentasi laporan, dan memajangkan hasil kerja. Kegiatan ini siswa dapat mengungkapakan gagasan, dapat mengkonsolidasi pikirannya, mengeluarkan gagasannya, memancing gagasan orang lain, dan membuat bangunan makna mereka dapat diketahui oleh guru.
c. Interaksi
Aspek interaksi ini dapat dilakukan dengan cara interaksi, Tanya jawab, dan saling melempar pertanyaan. Dengan hal-hal seperti itulah kesalahan makna yang diperbuat oleh siswa-siswa berpeluang untuk terkorelasi dan makna yang terbangun semakin mantap, sehingga dapat menyebabkan hasil belajar meningkat.
d. Refleksi
Aspek ini yang dilakukan adalah memikirkan kembali apa yang telah diperbuat/dipikirkan oleh siswa selama mereka belajar. Hal ini dilakukan supaya terdapatnya perbaikan gagasan/makna yangbtelah dikeluarkan oleh siswa dan agar mereka tidak mengulangi kesalahan. Di sini siswa diharapkan juga dapat menciptakan gagasan-gagasan baru.
Dari hasil uraian model PAKEM khususnya guru, diharapkan dapat menghasilkan pembelajaran yang berkualitas/bermutu dan menghasilkan perubahan yang signifikan, seperti dalam peran guru di kelas, perlakuan terhadap siswa, pertanyaan, latihan, interaksi, pengelolaan kelas serta menjadikan guru menjadi inovatif. Model-model pembelajaran yang mendukung pembelajaran PAKEM menurut Udin S.Saud ( Rusman, 2010:329) antara lain:
1. Pembelajaran kuantum
2. Pembelajaran berbasis kompetensi
3. Pembelajaran kontekstual


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Potret Pendidikan Inklusi Pinggiran

pembelajaran tematik, pengertian, hakikat, fungsi, karakteristik bahasa, hakikat pembelajaran bahasa indonesia