RPS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA 1-15
RPS
1
A. Pengertian
Teori Belajar Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai
berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Usaha untuk mencapai
kepandaian atau ilmu merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya,
mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dipunyai sebelumnya. Sehingga
dengan belajar manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan
memiliki tentang sesuatu. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah
kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan paling pokok. Hal ini berarti
bahwa keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan bergantung pada
proses belajar yang dilakukan siswa sebagai anak didik.
Slameto
(2003:13) menyatakan “belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”. Untuk mendapatkan sesuatu seseorang harus melakukan usaha agar
apa yang di inginkan dapat tercapai. Usaha tersebut dapat berupa kerja mandiri
maupun kelompok dalam suatu interaksi. Belajar merupakan suatu proses usaha
yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu
situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam
suatu situasi.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar
komunikasi.Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995).Hal
ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pembelajar bahasa diarahkan
ke dalam empat subaspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.Oleh
karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi
pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran.Dengan demikian,
pemilihan strategi pembelajaran yang tepat dalam kegiatan pembelajaran,
diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.
Gilstrap
dan Martin (1975) menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan
keberhasilan pembelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam
menetapkan strategi pembelajaran.Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut
Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks
komunikasi.Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya
tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa.Kesemuanya itu
dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.
B. Pengertian Jenis – jenis Teori Belajar
1. Teori
Behaviorisme
Menurut teori ini, semua perilaku,
termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus).
Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat
diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan
kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut
hubungan stimulus - respons. Menurut Skinner, perilaku verbal adalah perilaku
yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan
terus dipertahankan. Kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila
akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan
diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan. Implikasi teori ini ialah bahwa
guru harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus
mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang
tidak disukai anak, dan sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai
anak. Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau
sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai
hadiah.
2.
Teori Nativisme
Istilah
nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa
ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat
untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh
dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa
bahasa itu merupakan perilaku khusus manusiadan bahwa cara pemahaman tertentu,
pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan
ditentukan secara biologis. Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa
belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara
umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat
untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat,
karena adanya LAD.
Mc. Neil (Brown,
1980:22) mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a. Kemampuan
untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain
b. Kemampuan
mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
c. Pengetahuan
adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak
mungkin.
d.
Kemampuan untuk mengevaluasi sistem
perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling
sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Chomsky
dalam Hadley (1993: 49) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah
dari sistem mereka.
3.
Teori Mentalisme
Ada dua pandangan utama mengenai
sikap yaitu pandangan mentalism dan behaviorist. Menurut pandangan mentalistik,
sikap adalah keadaan internal yang dibangkitkan oleh suatu stimulasi yang dapat
menjadi perantara respon selanjutnya (Williams, 1974: 21). Sedangkan menurut
pandangan behaviorist, sikap adalah respon yang dibuat oleh orang terhadap
berbagai situasi sosial (Fasold, 1984: 147). Sebagai
wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang
merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh
lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan
pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan
dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu
bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language
acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya
kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo,
2003:235-236). Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia
menyama-ratakan proses pemerolehan pengetahuan manusia dengan proses
pemerolehan pengetahuan binatang, yaitu tikus dan burung dara yang digunakan
sebagai subyek dalam eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa
bagi manusia merupakan fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda,
1991:102). Selain itu ada pula alasan lain mengapa pendekatan nativis merasa
tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasan tersebut berhubungan dengan bahasa
itu sendiri, yaitu menurut para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya
dimiliki manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan
tertentu, kreatif dan tergantung pada struktur (Dardjowidjojo, 2003:236).
Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
Noam Chomsky berpendapat bahwa
seorang anak telah dilahirkan dengan kecakapan semula untuk menguasai bahasa
apabila sampai peringkat kematangannya yang tertentu. Pada tiap-tiap peringkat
kematangan anak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis terhadap
peraturan-peraturan ahli masyarakatnya. Segala pembetulan kesalahan yang dibuat
oleh ahli masyarakatnya akan memperkukuhkan lagi rumus-rumus bahasa yang
tersimpan di dalam otaknya. Menurut Chomsky, anak lahir dengan kemampuan mental
untuk bekerja di luar sistem yang mendasari ke campur aduk suara yang
didengarnya. Ia membangun tata bahasa sendiri dan menerapkan pada semua suara
mencapai otaknya. Tata bahasa mental ini merupakan bagian dari kerangka
kognitif, dan apa pun yang didengar disimpan di otaknya sampai dia cocok
terhadap apa yang dia sudah tahu dan menemukan sebuah 'benar' tempat untuk itu
dalam kerangka ini. Chomsky berpendapat bahasa yang kompleks sehingga hampir
luar biasa yang dapat diperoleh oleh seorang anak dalam waktu sesingkat itu.
Dia mengatakan bahwa seorang anak akan lahir dengan beberapa kapasitas mental
bawaan yang membantu anak untuk memproses semua bahasa yang didengarnya. Hal
ini disebut Bahasa Device Akuisisi, dan dia gergaji sebagai daerah khusus yang
terdiri dari otak yang hanya berfungsi adalah pengolahan bahasa. Fungsi ini, ia berpendapat, cukup terpisah dari
kapasitas mental anak lain yang memiliki. Ketika Chomsky berbicara tentang
'aturan, ia berarti aturan dalam pikiran bawah sadar anak aturan ini
memungkinkan untuk membuat kalimat gramatikal dalam bahasa mereka
sendiri. Chomsky tidak berarti bahwa seorang anak dapat menjelaskan
aturan ini secara eksplisit. Sebagai
contoh, seorang anak berusia empat atau lima tahun dapat menghasilkan kalimat
seperti saya telah melakukan pekerjaan saya, dia bisa melakukan itu karena ia
memiliki sebuah 'tata bahasa mental' yang memungkinkan dia untuk membentuk
struktur yang benar sempurna saat ini dan juga untuk menggunakan struktur
tersebut dalam benar dan tepat situasi. Tapi dia tidak mampu untuk
menentukan pembentukan tegang sempurna sekarang.
Teori Mentalis ini pula sangat
bertentangan dengan teori mekanis. Teori Mekanis yang banyak menggunakan
percobaan ke hewan dan menerapkan bahwa pembelajaran dan pengukuhan bahasa bisa
berkembang jika adanya rangsangan dan gerak balas, hal ini bertentangan dengan
golongan mentalis yang mengatakan bahwa manusia sebagai “makhluk yang berfikir”
dan berbeda dengan hewan. Pembelajaran dan pengukuhan bahasa didapati secara
sadar atau dengan kata lain berhubungan dengan daya fikir seseorang. Menurut
Noam Chomsky (1959) proses pembelajaran bahasa pada tingkat permulaan diperoleh
tidak semata-mata bergantung kepada rangsangan dan gerak balas saja. Proses
Kognitif sudah pasti turut serta. Tanpa peranan kognitif, perkembangan bahasa
terbatas pada yang dapat dialami saja, padahal semua komponen bahasa berkembang
secara kreatif atau melampaui batasan pengalaman naluri yaitu rangsangan dan
gerak balas. Perkembangan bahasa secara kreatif adalah hasil turut sertanya
peranan operasi mental atau kognitif. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa
adalah tindakan kreatif yang hanya ada pada manusia. Kreativitas manusia
menggunakan bahasa hanya dapat difahami dengan menerima hakikat bahwa bahasa
adalah satu sistem yang teratur sebagai sebagian daripada proses kognitif
manusia. Dalam hal inilah, sebuah teori yang digerakkan dengan rangsangan dan
gerak balas mampu menimbulkan kreativitas dan kecakapan orang menggunakan
bahasa. Sebagai penganut mentalisme, Noam Chomsky dalam kajian kebahasaan
berpendirian bahwa hasil kajiannya tidak untuk dimanfaatkan untuk kepentingan
pendidikan dan pengajaran bahasa karena memang dia tidak mempunyai alasan untuk
itu (Chomsky, 1980). Penganut mentalisme kebahasaan, mengkaji bagaimana makna-makna
bahasa diserap oleh anak-anak melalui analisis hubungan logis antar unsur yang
hanya melibatkan konteks semotaktik (konteks keterkaitan secara logis antar
unsur di dalam kalimat). Karena itu manfaat hasil kajiannya diuntukkan pada
pengayaan khazanah kebahasaan dalam bidang psikolinguistik. Karena
psikolinguistik mempunyai kaitan dengan ilmu otak (neurologi), pertanyaan
muncul: "Apakah kajiannya dapat dimanfaatkan untuk terapi bagi orang-orang
yang bermasalah dalam pengucapan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan gumpalan
otak yang mengontrol bahasa (language lump)?" Jawabannya adalah
"tidak" karena yang memperbaiki "kerusakan bahasa" bukanlah
kajian Chomsky, tetapi kajian dan penelitian tentang otak itu sendiri. Kalau
demikian, hasil kajian psikolinguistik hanya untuk kajian itu
"perseorangan". Manfaat hasil kajian suatu bidang ilmu merupakan hak
"prerogatif" pengkajinya sendiri. Dengan kata lain, hasil kajian
bahasa yang demikian merupakan inventarisasi kekayaan ilmu dan pengetahuan.
Karena itu, salah satu klasifikasi hasil kajian bahasa adalah inventarisasi
kekayaan ilmu pengetahuan. Bahasa dalam hal ini berfungsi sebagai ilmu.
4. Teori
Kognitivisme
Menurut teori
ini perkembangan bahasa harus berlandaskan pada atau diturunkan dari
perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi
manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan
menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita
belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang
terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap
kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di
sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang
sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan
berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam
otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur
kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Dapat
dikemukakan bahwa pendekatan kognitif menjelaskan bahwa:
a. Dalam
belajar bahasa, bagaimana kita berpikir
b. Belajar
terjadi dan kegiatan mental internal dalam diri kita
c. Belajar
bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks.
Laughlin
dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak
perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan
kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau
pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang
berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
5. Teori
Humanisme
Teori
ini muncul diawali oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme.
Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated
educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the
context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic
curriculum”. Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah
diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah
Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an
dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan
tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum
menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan
menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup
siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran
memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat.
Teori
Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli
psikologi humanisme seperti Abraham maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich
Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan
berpusat pada siswa (learner centered-pedagogy). Prakteknya dalam dunia
pendidikan yaitu dengan menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa.
Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Sementara
menuut Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992-76) pengajaran bahasa menurut
teori humanism sebagai berikut.
1. Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful
communication) berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas
harus kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan
sebelumnya.
2. Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai
existensi setiap individu.
3. Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman
individual dimana siswa memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan
keputusan.
4. Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling
berinteraksi, saling membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5. Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere
kelas dibanding silabus materi yang digunakan.
6. Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7. Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat
membantu jika diperlukan untuk memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang
dipelajari.
Carl Rogers (1902-1987) dianggap sebagai penemu dan panutan
dalam perkembangan pendekatan humanistik dalam pendidikan. Roger (1980)
menekankan pada kebutuhan secara alamiah dari setiap orang untuk belajar. Peran
guru adalah sebagai fasilitator pengajaran.
6.
Teori Fungsionalisme
Para
peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan
kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang
lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia lebih
mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih
dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial. Kognisi dan perkembangan bahasa
Piaget menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya
dengan interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual
dengan pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan
antara perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama
7.
Teori Konstruktivisme
Pembelajaran
harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan
secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh
didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa
harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide
tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk
mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain
dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam
mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta
menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Dalam
rangka kerjanya, ahli konstruktif menantang guru- guru untuk menciptakan
lingkungan yang inovatif dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan
dan mengoreksi pembelajaran. Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Pembelajar
harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan sehingga menarik
dan memotivasi pelajar
2) Harus
ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep,
nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah
Teori
ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi
Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many
instances, communicative language programmes have incorporated educational
phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of
goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.
Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah
kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang
diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.
Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama
antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir,
perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada
kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap
siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari
bahasa.
Tujuan
utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa
berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the
whole persons within a human society. (McNeil,1977) Sementara menurut Fraida
Dubin dan Elita Olshtain (1992- 76) pengajaran bahasa menurut teori humanisme,
sebagai berikut.
1. Sangat
menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication)
berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus
kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan
sebelumnya.
2. Pendekatan
ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3. Pembelajaran
digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana siswa
memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.
4. Siswa
lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling
membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5. Guru
berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas
dibanding silabus materi yang digunakan.
6. Materi
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7. Bahasa
ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika diperlukan untuk
memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari.
C. Hubungan Teori Belajar dengan pendekatan pembelajaran Bahasa Indonesia
Ada dua
kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran,
yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan
(memory). Struktur kognisi didefinisikan sebagai struktur organisasional yang
ada dalam ingatan seseorang ketika mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan
yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses ingatan merupakan
pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan
proses penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage),
dan kemudian mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan
dalam ingatan (retrieval).
Dengan
adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif
adalah “Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses
penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan proses pengungkapan
kembali suatu informasi atau pengetahuan dari konsepsi pikiran. Model
tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau
pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model
ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi
informasi dimulai dari input(masukan) berupa stimulus hingga
menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).
Dengan
demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya
suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari
stimulus eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase
dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3)
fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting (1981) setiap proses belajar
akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap
perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap
penyimpangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan
kembali informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan
pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami
sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu,
(b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c)
belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian
penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pembelajar harus
diperhatikan.
RPS 2
A. Pengertian Pendekatan
Pendekatan menurut
Edwar M.Anthoni, 1963 adalah seperangkat asumsi korelatif yang
menangani hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan pembelajaran
bahasa. Pendekatan bersifat aksiomatik. Metode merupakan rencana
keseluruhan penyajian bahasa secara rapi, tertib, yang tidak ada
bagian-bagiannya yang berkontradiksi dan kesemuanya itu didasarkan pada
pendekatan terpilih. Metode bersifat prosedural. Di dalam satu pendekatan
mungkin terdapat banyak metode. Teknik merupakan suatu muslihat, tipu daya
dalam menyajikan bahan. Teknik harus sejalan dengan metode dan serasi dengan
pendekatan. Teknik bersifat implementasi.
Richards & Rodgers,1986
menyempurnakan pendapat Anthoni. Mereka menambahkan peran guru, siswa bahan,
tujuan silabus dan tipe kegiatan dan pengajaran pada segi metode, sehingga
muncul istilah desain atau rancang-bangun.istilah teknik diganti dengan istilah
prosedur.
Pendekatan menurut Kosadi, dkk
(1979) adalah seperangakat asumsi mengenai hakikat bahasa, pengajaran dan
proses belajar-mengajar bahasa. Menurut Tarigan (1989) Pendekatan adalah
seperangkat korelatif yang menangani teori bahasa dan teori pemerolehan bahasa.
Sedangkan menurut Djunaidi (1989) Pendekatan merupakan serangkaian asumsi yang
bersifat hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan belajar bahasa.
Pendekatan pembelajaran dapat
diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari
pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1)
pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student
centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada guru (teacher centered approach).
B. Jenis-Jenis
Pendekatan
Berikut murupakan macam- macam
pendekatan pengajaran bahasa, di antaranya adalah:
1. Pendekatan
Tujuan
Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh
pemikiran, bahwa dalam setiap kegiatan belajar mengajar yang harus dipikirkan
dan ditetapkan lebih dahulu adalah tujuan yang hendak dicapai. Dengan
memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan itu dapat ditentukan metode mana
yang akan digunakan dan teknik pengajaran yang bagaimana yang diterapkan agar
tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai. Jadi, proses belajar mengajar
ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan itu
sendiri. Misalnya untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman
atau informasi dari bacaan”. Dengan berdasar pada pendekatan tujuan, maka yang
penting ialah tercapainya tujuan yakni siswa memiliki kemampuan mengarang.
Penerapan pendekatan tujuan ini
sering dikaitkan dengan “cara belajar tuntas”. Dengan “cara belajar tuntas”,
berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil, apabila
sedikit-dikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaranitu menguasai
minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penentuan keberhasilan
itu didasarkan hasil tes sumatif. Jika sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa
dapat mengerjakan atau dapat menjawab dengan betul minimal 75% dari soal yang
diberikan guru maka pembelajaran dapat dianggap berhasil.
2. Pendekatan
Struktural
Pendekatan Struktural merupakan
salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh asumsi yang
menganggap bahasa sebagai kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran
bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa
atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu dititik beratkan
pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup dalam fonologi,
mofologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat,
pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting. Dengan struktural, siswa akan
menjadi cermat dalam menyusun kalimat, karena mereka memahami kaidah-kaidahnya.
3. Pendekatan
Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses
adalah suatu pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang berfokus pada pelibatan
siswa secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan hasil belajar. Jadi
dapat diartikan bahwa pendekatan ketrampilan proses dalam pembelajaran bahasa
adalah pendekatan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan bahasa. Keterampilan
proses meliputi keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan
fisik. Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan mengembangkan
konsep.
Konsep yang telah ditemukan atau
dikembangkan berfungsi pula sebagai penunjang keterampilan proses. Interaksi
antara pengembangan keterampilan proses dengan pengembangan konsep dalam proses
belajar mengajar menghasilkan sikap dan nilai dalam diri siswa. Tanda-tandanya
terlihat pada diri siswa seperti teliti, kreatif, kritis, objektif, tenggang
rasa, bertanggung jawab, jujur, terbuka, dapat bekerja sama, rajin, dan
sebagainya.
Keterampilan proses dibangun
sejumlah keterampilan-keterampilan. Karena itu pencapainnya atau
pengembangannya dilaksanakan dalam setiap proses belajar mengajar dalam semua
mata pelajaran. Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik sendiri. Karena
itu dalam penjabaran keterampilan proses dapat berbeda pada setiap mata
pelajaran.
Pendekatan ini merupakan
pemberian/menumbuhkan kemampuan-kemampuan dasar untuk memperoleh pengetahuan,
pengalaman, dan kemampuan yang meliputi beberapa kemampuan seperti:
a. Kemampuan
mengamati
Merupakan salah satu ketrampilan
yang sangat penting untuk memperoleh pengetahuan, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalm pengembangan ilmu pengetahuan. Pengamatan dilaksanakan
denagan memanfaatkan seluruh panca indara yang mungkin bias digunakan untuk
memperhatikan hal-hal yang diamati. Kemudian, mencatat apa yang diamati,
memilih-milih bagiannya berdasarkan criteria tertentu berdasarkan tujuan
pengamatan, serta mengolah hasil pengamatan dan menulis hasilnya.
b. Kemampuan
menghitung
Salah satu kemapuan yang penting
dalm kehidupan sehari-hari.
c. Kemampuan
mengukur
Dasar dari pengukuran ini adalah
perbandingan. Dalam penajaran apresiasi sastra misalnya, kegiatan pengukuran
dapat berupa telaah (kajian lebih dalam) terhadap suatu karya sastra denagan
menggunakan kriteria nilai-nilai estetika, moral, dan nilai pendidikan.
d. Kemampuan
mengklasifikasi
Merupakan kemampuan mengelompokkan
atau menggolongkan sesuatu yang berupa benda, akta, informasi, dan gagasan..
pengelompokan ini didasarkan pada karakteristik atau cirri-ciri yang sama dalam
satu tujuan. Dalam pembelajan bahasa Indonesia, kemampuan ini misalnya berupa
kemampuan membedakan antara opini dan fakta dalam suatu wacana dan
mengelompokkan karya sastra berdasarkan cirri strukturnya.
e. Kemampuan
menemukan hubungan
Yang termasuk dalam kemampuan ini
adalah fakta, informasi, gagasan, pendapat, ruang, dan waktu. Kemampuan ini
diwujudkan dalam kemampuan siswa menentukan hubungan antara fakta yang terdapat
dalam bacaan untuk membangun pemahaman kritis dan kreatif terhadap
bacaan.
f. Kemampuan
membuat prediksi
Kemampuan membuat prediksi atau
perkiraan yang didasari penalaran, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kemampuan membuat prediksi disebut juga
kemampuan menyusun hipotesis.
g. Kemampuan
melaksanakan penelitian
Merupakan kegiatan para ilmuan dalam
kehidupan ilmiah. Namun dalam kehidupan sehari-hari kita juga perlu mengadakan
penelitian. Artinya, mengadakan pengkajian terhadap sesuatu untuk memecahkan
masalah yang kita hadapi.
h. Kemampuan
mengumpulkan dan menganalisis data
Merupakan bagian dari kemampuan
menagdakan penelitian. Siswa perlu menguasai bagaimana cara-cara mengumpulkan
data, baik dalam penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Anak-anak dilatih
untuk mengumpulkan data dalam pengamatan lapangan, kemudian meganalisis data
tersebut dan membuat kesimpulan.
i. Kemampuan
mengkomunikasikan hasil
Misalnya siswa dilatih untuk
menyusun laporan hasil pengamatan, kemudian mempresentasikannya didepan kelas
dalm sebuah kegiatan diskusi. Selain itu, siswa di latih untuk menyusun laporan
singkat tentang apa yang mereka teliti untuk dipublikasikan melalui majalah
sekolah atau majalah dinding.
Keterampilan proses berkaitan dengan
kemampuan. Oleh karena itu penerapan keterampilan proses diletakkan dalam
kompetensi dasar. Keterampilan proses juga dikenali pada instruksi yang
disampaikan oleh guru kepada siswa untuk mengerjakan sesuatu.
Contoh: Kompetensi Dasar: Siswa
dapat menyusun sebuah pengumuman sebagai sarana menyampaikan informasi
(keterampilan proses yang tersirat dalam kompetensi dasar adalah
mengkomunikasikan).
4. Pendekatan Whole
Language
Whole language adalah satu
pendekatan pengajaran bahasa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh,
tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991; Froese,1990; Goodman,1986;
Weaver,1992). Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan
tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang terlibat
dalam pembelajaran.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran
bahasa yang didasari oleh paham constructivism.Whole language dimulai
dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan
keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan
secara terpadu.
Menurut Routman (1991) dan Froese
(1991) ada delapan komponen whole language:
a) Reading Aloud
Reading aloud adalah kegiatan
membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Guru dapat menggunakan bacaan
yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan
suara keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa dapat mendengarkan
dan menikmati ceritanya. Manfaat yang didapat dari reading
aloud antara lain meningkatkan keterampilan menyimak,memperkaya kosakata,
membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah
menumbuhkan minat baca pada siswa.
b) Jurnal Writing
Salah satu cara yang dipandang cukup
efektif untuk meningkatkan keterampilan siswa menulis adalah dengan
mengimplementasikan pembelajaran menulis jurnal atau menulis informal. Melalui
menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar mencurahkan gagasan dan menceritakan
kejadian di sekitarnya, menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Banyak manfaat
yang diperoleh dari menulis jurnal antara lain:
a.
Meningkatkan kemampuan menulis
b.
Meningkatkan kemampuan membaca
c.
Menumbuhkan keberanian menghadap risiko
d.
Memberi kesempatan untuk membuat refleksi
e.
Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi
f.
Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menulis
g.
Meningkatkan kemampuan berpikir
h.
Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis
i.
Menjadi alat evaluasi
j.
Menjadi dokumen tertulis
c) Sustained
Silent Reading
Sustained Silent Reading adalah
kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan siswa. Siswa dibiarkan untuk memilih
bacaan yang sesuai dengan kemampuannya sendiri sehingga mereka dapat
menyelesaikan membaca bacaan tersebut. Oleh karena itu, guru sedapat mungkin
menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga
memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Pesan yang ingin disampaikan kepada
siswa melalui kegiatan ini adalah:
a. Membaca
adalah kegiatan penting yang menyenangkan
b. Membaca
dapat dilakukan oleh siapapun
c. Membaca
berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut
d. Siswa
dapat membaca serta dapat berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup
lama
e. Guru
percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca
f. Siswa
dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah
kegiatan SSR berakhir
d) Shared Reading
Shared Reading adalah kegiatan
membaca bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang mempunyai buku yang
sedang dibacanya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun di
kelas tinggi. Disini guru lebih berperan sebagai model dalam membaca.
Ada beberapa cara melakukan kegiatan
ini:
a. Guru
membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah)
b. Guru
membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku
c. Siswa
membaca bergiliran
Maksud kegiatan ini adalah:
a. Sambil
melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai
model
b. Memberikan
kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya
c. Siswa
yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar
e) Guided
Reading
Guided reading disebut juga
membaca terbimbing, guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca
terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri,
tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua siswa
membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru melemparkan pertanyaan yang
meminta siswa menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman.
f) Guided
Writing
Guided Writing atau menulis
terbimbing, peran guru adalah sebagai fasilitator, membantu siswa menemukan apa
yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan
menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran
bukan pemberi petunjuk. Contoh kegiatan ini seperti memilih topik, membuat
draf, memperbaiki, dan mengedit yang dilakukan sendiri oleh siswa.
g) Independent
Reading
Independent Reading atau
membaca bebas adalah kegiatan membaca, dimana siswa berkesempatan untuk
menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebasmerupakan bagian
integral dari whole language. Dalam independent reading, siswa
bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun
berubah dari seorang pemrakarsa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang
pengamat, fasilitator, dam pemberi respon.
h) Independent
Writing
Independent Writing atau
menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan
kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Siswa mempunyai
kesempatan untuk menulis tanpa ada intervensi dari guru. Siswa bertanggung
jawab sepenuhnya dalam proses menulis. Jenis menulis yang
termasuk independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis
respons.
Ciri-ciri kelas whole language
Ada tujuh ciri yang menandakan
kelas whole language:
a.
Kelas yang menerapkan whole language penuh dengan
barang cetakan (dinding, pintu, dan furniture).
b.
Siswa belajar melalui model atau contoh. Disini guru
berperan sebagai model, guru menjadi contoh perwujudan bentuk aktivitas
berbahasa yang ideal.
c.
Siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat
kemampuannya.
d.
Siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran.
e.
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran bermakna.
f.
Siswa berani mengambil risiko dan bebas bereksperimen
g.
Siswa mendapat balikan (feedback) positif baik dari guru
maupun temannya.
Penilaian dalam kelas whole language
Di dalam kelas whole language,
guru senantiasa memperhatikan kegiatan yang dilakukan siswa. Secara informal
selama pembelajaran berlangsung guru memperhatikan siswa menulis, mendengarkan,
berdiskusi baik dalam kelompok ataupun diskusi kelas. Penilaian juga
berlangsung ketika siswa dan guru mengadakan konferensi, alat penilaiannya
seperti observasi dan catatan anecdote. Selain penilaian informal, penilaian
dilakukan dengan portofolio. Portofolio adalah kumpulan hasil kerja siswa
selama kegiatan pembelajaran. Dengan portofolio perkembangan siswa dapat
terlihat secara otentik.
5. Pendekatan
Kontekstual
Pendekatan konstektual merupakan
suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas
dan mendorong siswa membuat membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk
memecahkan persoalan, berpikir kritis dan melaksanakan observasi serta menarik
kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan
bagaimana mencapainya.
Kontekstual merupakan strategi
pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, konstektual
dikebangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan
bermakna. Pendekatan konstektual dapat dijalankan tanpa harus mengubah
kurikulum dan tatanan yang ada. Dalam pendekatan ini dilibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran efektif yaitu: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat
belajar, pemodelan, refleksi, dan asesmen autentik.
Definisi yang mendasar tentang
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep
belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilannya dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari
proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memcahkan masalah dalam
kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Johnson (dalam Nurhadi, 2004:13-14)
mengungkapakan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan
komponen utama yaitu:
a.
Memiliki hubungan yang bermakna
b.
Melakukan kegiatan yang signifikan
c.
Belajar yang diatur sendiri
d.
Bekerja sama
e.
Berfikir kritis dan kreatif
f.
Mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik
g.
Mencapai standar yang tinggi
h.
Menggunakan penilaian autentik.
Penerapan
Pendekatan Kontekstual di Kelas
Langkah-langkah penerapan
kontekstual di kelas yaitu sebagai berikut:
a. Mengembangkan
pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
bertanya (komponen konstruktivisme)
b. Melaksanakan
kegiatan menemukan sendiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan (komponen
inkuiri)
c. Mengembangkan
sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya (komponen bertanya)
d. Menciptakan
masyarakat belajar, kerja kelompok (komponen masyarakat belajar)
e. Menghadirkan
model sebagai contoh pembelajaran (komponen pemodelan)
f. Melakukan
refleksi di akhir pertemuan, agar peserta didik merasa bahwa hari ini mereka
belajar sesuatu (komponen refleksi)
g. Melakukan
penilaian yang autentik dari berbagai sumber dan cara (komponen asesmen
autentik)
6. Pendekatan
Komunikatif
Pendekatan komunikatif adalah suatu
pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan
pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran
empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis),
mengakui dan menghargai saling ketergantungan bahasa.
Pendekatan komunikatif merupakan
pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa
dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran
bahasa. Jadi pembelajaran yang komunikatif adalah pembelajaran bahasa yang
memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan yang memadai untuk mengembangkan
kebahasaan dan menunjukkan dalam kegiatan berbahasa baik kegiatan produktif
maupun reseptif sesuai dengan situasi nyata, bukan situasi buatan yang terlepas
dari konteks.
Ciri-ciri utama pendekatan
pembelajaran komunikatif ada dua kegiatan yang saling berkaitan yakni adanya
kegiatan-kegiatan:
1) Komunikasi
Fungsional
Terdiri atas empat yakni: mengolah
informasi, berbagi dan mengolah informasi, berbagi informasi dengan
kerja sama terbatas, dan berbagi informasi dengan kerja sama tak terbatas.
2) Kegiatan yang
sifatnya interaksi sosial.
Terdiri dari 6 hal yakni:
improvisasi, lakon-lakon pendek yang lucu, aneka simulasi (bermain peran),
dialog dan bermain peran, siding-sidang konversasi dan diskusi, serta
berdebat.
Ciri-ciri pendekatan pembelajaran
komunikatif, Menurut Brumfit dan Finocchiaro ciri-ciri pendekatan komunikatif
yaitu:
1. Makna
merupakan hal yang terpenting
2. Percakapan
harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal
3. Kontekstualisasi
merupakan premis pertama
4. Belajar
bahasa berarti belajar berkomunikasi
5. Komunikasi
efektif dianjurkan
6. Latihan
atau drill diperbolehkan
7. Ucapan
yang dapat dipahami diutamakan
8. Setiap
alat bantu peserta didik diterima dengan baik
9. Segala
upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal
10. Penggunaan
bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak
11. Terjemaah
digunakan jika diperlukan peserta didik
12. Membaca
dan menulis dapat dimulai sejak awal
13. Sitem
bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi
14. Komunikasi
komunikatif merupakan tujuan
15. Variasi
linguistik merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi
16. Urutan
ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat
minat belajar
17. Guru
mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan menggunakan bahasa itu
18. Bahasa
diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan mencoba
19. Kefasihan
dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama
20. Peserta
didik diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau
pasangan, lisan dan tulis
21. Guru
tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didiknya.
22. Motivasi
intrinsik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan.
Pendekatan komunikatif berorientasi
pada proses belajar-mengajar bahasa berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi.
Prinsip dasar pendekatan komunikatif ialah: a) materi harus terdiri dari bahasa
sebagai alat komunikasi, b) desain materi harus menekankan proses
belajar-mengajar dan bukan pokok bahasan, dan c) materi harus memberi dorongan
kepada pelajar untuk berkomunikasi secara wajar ( Siahaan dalam Pateda,
1991:86).
Dalam pendekatan komunikatif, yang
menjadi acuan adalah kebutuhan si terdidik dan fungsi bahasa. Pendekatan
komunikatif berusaha membuat si terdidik memiliki kecakapan berbahasa. Dengan
sendirinya, acuan pokok setiap unit pelajaran ialah fungsi bahasa dan bukan
tata bahasa. Dengan kata lain, tata bahasa disajikan bukan sebagai tujuan
akhir, tetapi sarana untuk melaksanakan maksud komunikasi.
Strategi belajar-mengajar dalam
pendekatan komunikatif didasarkan pada cara belajar siswa/mahasiswa aktif, yang
sekarang dikenal dengan istilah Student Centered Learning (SCL). Cara
belajar aktif merupakan perkembangan dari teori Dewey Learning by Doing
(1854—1952) (lihat Pannen, dkk.2001:42). Dewey sangat tidak setuju dengan rote
learning ‘belajar dengan menghafal’. Dewey menerapkan
prinsip-prinsip learning by doing, yaitu siswa perlu terlibat dalam proses
belajar secara spontan / siswa terlibat secara aktif dalam proses
belajar-mengajar. Strategi
Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Pendekatan Komunikatif.
Strategi merupakan sebuah rencana
yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Beberapa komponen
yang terdapat dalam strategi adalah:
a) Tujuan
Untuk mengembangkan kompetensi
komunikatif para pembelajar bahasa yang mencakup kemampuan menafsirkan
bentuk-bentuk linguistik.
b) Materi
Menurut Tarigan(dalam
Solchan,dkk.2001:6.42) ada tiga jenis materi yang di pakai dala pembelajaran
bahasa denagn pendekatan komunikatif yakni materi yang berdasarkan teks, materi
berdasarkan tugas, dan meteri berdasarkan realita.
c) Metode
d) Teknik
e) Media
Media pembelajaran yang sering kita
kenal adalah replika,gambar, duplikat, planel, kertas karton, radio, video,
dsb.
f) Evaluasi
Dalam pembelajaran bahasa sebenarnya
ada tiga tes yang dapat di gunakan yaitu tes distrik, tes integratif, dan tes
pragmatik. Namun pada pendekatan konunikatif, tes yang cocok untuk di gunakan
adalah tes integratif dan tes pragmatif. Yang termasuk tes integratif: menyusun
kalimat, menafsirkan wacana yang dibaca atau didengar, memahami bacaan yang
didengar atau dibaca. Dan menyusun kalimat yang disediakan. Sedangkan yang
termasuk tec pragmatif: dikte, berbicara, paraphrase, dan menjawab
pertanyaan.
7. Pendekatan
CBSA
Pengertian
pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif )
Pengertian CBSA dapat diartikan
sebagai anutan pembelajaran yang mengarah kepada pengotimalisasian pelibatan
intelektual-emosianal siswa dalam proses pembelajaran, dengan pelibatan fisik
siswa apabila diperlukan.
Pelibatan intelektual-emosional/
fisik siswa optimalisasi dalam pembelajran , diarahkan untuk membelajarkan
siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses pemerolehan belajarnya tentang
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai. Keaktifan dalam pendekatan CBSA
menunjuk kepada keaktifan mental, baik intelektual maupun emosional, meskipun
untuk merealisasikan dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan
keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.
Konsep
dan Prinsip Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
merupakan istilah yang bermakna sama dengan Student Active Learning (SAL).
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran termasuk bahasa Indonesia dan bahasa
indonesia, CBSA bukanlah hal yang baru. Bahkan beberapa teori menunjukkan bahwa
CBSA merupakan tuntutan logis dari hakikat pembelajaran yang sebenarnya. Hampir
tidak mungkin terjadi proses pembelajaran yang tidak memerlukan keterlibatan
siswa di dalamnya.
Sebagai suatu konsep, CBSA adalah
suatu proses pembelajaran yang subjek didiknya terlibat secara fisik,
mental-intelektual, maupun sosial dalam memahami ide-ide dan konsep-konsep
pembelajaran (Ahmadi, 1991). Dengan kata lain, arah pembelajaran CBSA mengacu
pada siswa atau “student oriented” yang bermakna pembentukan sejumlah
keterampilan untuk membangun pengetahuan sendiri baik melalui proses asimilasi
maupun akomodasi. Dalam proses pembelajaran yang seperti ini, siswa dipandang
sebagai objek dan sekaligus sebagai subjek.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa CBSA adalah salah satu strategi pembelajaran yang menuntut
aktivitas atau partisipasi peserta didik seoptimal mungkin sehingga mereka
mampu mengubah tingkah lakunya dalam proses internalisasi secara lebih efektif
dan efisien.
Ada beberapa prinsip belajar yang
dapat digunakan dalam menunjang tumbuhnya CBSA di dalam pembelajaran (Ahmadi,
1991), yaitu:
a. motivasi
belajar siswa,
Motivasi belajar merupakan prinsip
utama dalam CBSA. Tanpa adanya motivasi, hasil belajar yang dicapai siswa tidak
akan optimal. Oleh karena itu, peranan guru dalam mengembangkan motivasi
belajar ini sangat diperlukan sekali. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa dalam CBSA, antara lain melalui
penggunaan metode atau cara belajar yang bervariasi, mengadakan pengulangan
informasi, menggunakan media dan alat bantu yang bervariasi, memberikan
pertanyaan-pertanyaan pengiring atau pelacak, dan lain-lain.
b. pengetahuan
prasyarat,
Bahasa indonesia bersifat hirarkis. Untuk
menguasai suatu materi atau topik bahasa indonesia, peserta didik harus
menguasai terlebih dahulu materi-materi sebelumnya yang terkait baik langsung
maupun tidak langsung dengan materi yang akan dipelajari tersebut. Oleh karena
itu, tugas guru adalah menyelidiki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
yang telah dimiliki siswa untuk mempelajari suatu materi. Dengan cara demikian,
siswa akan lebih siap untuk memahami materi yang akan dipelajarinya
c. tujuan
yang akan dicapai,
Pembelajaran yang terencana dengan
baik akan memberikan hasil yang baik pula. Perencanaan pembelajaran ini
biasanya diwujudkan dalam perumusan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Tujuan inilah yang menjadi pedoman bagi guru dalam menentukan keluasan dan
kedalaman materi.
d. hubungan sosial,
Dalam belajar siswa perlu dilatih
untuk bekerja sama dengan teman-temannya agar konsep-konsep yang sulit dipahami
oleh siswa secara mandiri akan menjadi lebih mudah jika dipelajari secara
berkelompok. Latihan bekerja sama ini juga bermanfaat dalam proses pembentukan
kepribadian siswa terutama sikap sosialnya.
e. belajar
sambil bekerja,
Pada hakikatnya anak belajar sambil
bekerja. Semakin banyak aktivitas fisik siswa, akan semakin berkembang pula
kemampuan berpikir siswa. Apa yang diperoleh siswa dalam pembelajaran yang
banyak melibatkan aktivitas fisiknya, akan lebih lama mengendap dalam memori
siswa. Siswa akan bergembira dalam belajar apabila diberi kesempatan yang
sebanyak-banyaknya dalam bekerja. Oleh karena itu, prinsip belajar sambil
bekerja ini merupakan prinsip yang paling banyak mewarnai CBSA.
f. perbedaan
individu,
Setiap anak memiliki karakteristik
tersendiri, misalnya dalam kemampuan, kebiasaan, minat, latar belakang
keluarga, dan lain-lain. Dalam pembelajaran, guru sebaiknya dapat memperhatikan
perbedaan individu pada anak didiknya. Guru tidak boleh memperlakukan semua
anak dengan cara yang sama, walaupun tidak semua perbedaan anak dapat
diakomodasi.
g. menemukan,
Menemukan merupakan prinsip yang
harus banyak mewarnai CBSA. Dalam CBSA, siswa harus diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mencari dan menemukan sendiri informasi-informasi yang ada
di dalam pembelajaran. Dengan cara demikian, siswa akan merasa lebih
bersemangat dalam belajar dan belajar menjadi pekerjaan yang tidak membosankan
bagi siswa.
h. pemecahan
masalah.
Pembelajaran akan lebih terarah
apabila dimulai dengan permasalahan yang harus dipecahkan siswa. Situasi yang
menghendaki siswa harus memecahkan masalah ini akan mendorong siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan berpikirnya secara maksimal.
C. Langkah -
Langkah Menetapkan Pendekatan Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Serta
Manfaatnya
Karakteristik bahasa Indonesia
adalah ciri khas atau sifat pembelajaran bahasa Indonesia sebagai sebuah ilmu.
Adapun langkah-langkah karakteristik pembelajaran bahasa Indonesia adalah
bersifat kontekstual, bersifat komunikatif, bersifat sistematis, menantang
pembelajar untuk memecahkan masalah-masalah nyata, membawa pembelajar ke arah
pembelajaran yang aktif, dan penyusunan bahan pembelajaran dilakukan oleh guru
sesuai dengan minat dan kebutuhan pembelajaran, itu adalah salah satu langkah
awal dalam menetapkan pendekatan pembelajaran bahasa indonesia.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia
pada dasarnya tergolong ke dalam 3 jenis tujuan, yaitu tujuan afektif,
kognitif, dan psikomotorik. Tujuan afektif berkaitan dengan penanaman rasa
bangga dan menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. Tujuan kognitif
berkaitan dengan proses pemahaman bentuk, makna, dan fungsi bahasa Indonesia.
Tujuan psikomotorik berkaitan dengan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia
untuk berbagai kepentingan.
Fungsi pembelajaran bahasa Indonesia
dapat digolongkan ke dalam 2 jenis, yaitu fungsi instrumentatif dan fungsi
intrinsik. Fungsi instrumentatif adalah fungsi pembelajaran bahasa Indonesia
sebagai sarana komunikasi. Fungsi intrinsik adalah fungsi pembelajaran bahasa
Indonesia sebagai proses pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
Manfaat pembelajaran bahasa
Indonesia dapat bersifat praktis dan strategis. Adapun yang menjadi manfaat
pembelajaran bahasa Indonesia adalah meningkatkan kemampuan komunikasi,
pembentuk perilaku positif, sarana pengembang ilmu pengetahuan, sarana
memperoleh ilmu pengetahuan, sarana pengembang nilai norma kedewasaan, sarana
ekspresi imajinatif; sarana penghubung dan pemersatu masyarakat Indonesia, dan
sarana transfer kultural.
Langkah-langkah pembelajaran (siswa
melakukan wawancara):
Guru
Memberi Contoh Sebuah Teks Wawancara
Guru
Mengarahkan Kegiatan Siswa Dan Menjelaskan Sopan Santun Berwawancara
Murid
Merencanakan Wawancara : Menetapkan Topik Dan Nara Sumber
Murid
Menyusun Pertanyaan (Pedoman) Untuk Wawancara
Guru
Mengundang Nara Sumber Atau Menyuruh Siswa Mendatangi Nara Sumber
Murid
Berbagi Tugas Dalam Kelompoknya : Pewawancara, Penulis, Dan Pengamat
Murid
Menyusun Laporan Hasil Wawancara
RPS 3
A. Pengertian Bahasa
Bahasa
adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh
masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem,
yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri
berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan
adaptasi.
B. Hakikat Bahasa
1. Dinamis
Bahasa adalah satu-satunya milik
manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia
sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan
bermasyarakat. Tak ada kegiatan manusia yang tak disertai oleh bahasa. Bahkan
dalam bermimpi pun manusia menggunakan bahasa.
2. Unik
Unik artinya mempunyai ciri khas
yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahasa itu unik, maksudnya,
setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa
lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata,
sistem pembentukan kalimat atau sistem-sistem lainnya.
3. Universal
Selain bersifat unik, bahasa itu
bersifat universal, artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal itu tentunya merupakan
unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri atau sifat yang
lain.
4. Produktif
Arti produktif adalah “banyak
hasilnya”, atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan”. Bahasa itu produktif,
maksudnya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, dapat dibuat satuan-satuan
bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan
sistem yang bberlaku dalam bahasa itu.
5. Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang
bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, penggunaan lambang
tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua
anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa suatu lambang digunakan
untuk mewakili konsep yang dilambangkannya.
6. Arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan
’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, manasuka’. Yang dimaksud dengan
istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa
(yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh
lambang tersebut. Umpamanya, antara [kuda] dengan yang dilambangkannya, yaitu
“sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Kita tidak dapat menjelaskan
mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi [kuda], bukan [aduk] atau
[akud].
7. Bermakna
Dari tulisan sebelumnya sudah
dibicarakan bahwa bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau
bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Maka, yang
dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau suatu pikiran yang
ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu
pada suatu konsep, ide atau pikiran, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai
makna.
8. Bunyi
Kata bunyi sering sukar dibedakan
dengan suara, sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara
teknis, menurut Kridalaksana, bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai
akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan
dalam tekanan udara. Bunyi itu bisa bersumber pada gesekan atau benturan
benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia.
9. Lambang
Kata lambang sering dipadankan
dengan kata simbol dengan pengertian yang sama. Lambang dengan segala seluk-beluknya
dikaji orang dalam kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu
semiotika atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada
dalam kehidupan manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika dibedakan adanya
beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang (simbol), sinyal
(signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
C. Fungsi Bahasa
1. Fungsi Personal atau Pribadi
Dilihat dari sudut penutur, bahasa
berfungsi personal. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi
juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini
pihak pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedang sedih, marah, atau
gembira.
2. Fungsi Direktif
Dilihat dari sudut pendengar atau
lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatuf tingkah laku pendengar.
Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi
melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara.
3. Fungsi Fatik
Bila
dilihat segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik.
Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan
bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya
sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan
keadaan. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini tidak dapat diterjemahkan
secara harfiah.
4. Fungsi Referensial
Dilihat dari topik ujaran bahasa
berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa
yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi
referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat
untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia
di sekelilingnya.
5. Fungsi Metalingual atau Metalinguistik
Dilihat dari segi kode yang
digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa
itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan
untuk membicarakan masalah lain seperti ekonomi, pengetahuan dan lain-lain.
Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau
menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di
mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa.
6. Fungsi Imajinatif
Jika dilihat dari segi amanat
(message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif. Bahasa itu
dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang
sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginasi ini
biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng dan sebagainya) yang
digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya.
D. Karakteristik
Bahasa
Bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer,
produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa di antara karakteristik bahasa adalah abitrer, produktif,
dinamis, beragam, dan manusiawi.
1. Bahasa Bersifat Abritrer
Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang
dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat
dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret,
alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa
dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan. Meskipun bersifat abritrer, tetapi
juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan
antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya,
lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang
dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika
dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.
2. Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar
unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak
terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS.
Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata,
tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak
terbatas.
3. Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas
dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu
dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic
dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang
muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
4. Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah
atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur
yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,
maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis,
sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya
berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang
digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.
5. Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki
manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat
komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan
dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau
naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari
bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi
RPS 4
Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia :
Hakikat belajar menyimak, membaca, menulis, berbicara, viewing, presentasi
visual.
Bahasa merupakan salah
satu kemampuan terpenting manusia yang memungkinkan ia unggul atas
makhluk-makhluk lain di muka bumi, sehingga tidak ada sistem komunikasi yang
terintegrasi, mencakup ujaran, membaca dan menulis, melainkan sistem
kebahasaan. Pada dasarnya setiap pengajaran bahasa bertujuan agar peserta didik
atau para murid mempunyai keterampilan berbahasa. Menurut Tarigan (1991: 40)
bahwa “Terampil dalam berbahasa meliputi empat hal, yakni: terampil menyimak,
terampil berbicara, terampil menulis dan terampil membaca”. Keempatnya
merupakan catur tunggal dalam pengajaran bahasa Indonesia. Keempat aspek
tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: keterampilan yang bersifat menerima
(reseptif) yang meliputi keterampilan membaca dan menyimak, dan keterampilan
yang bersifat mengungkap (produktif) yang meliputi keterampilan menulis dan
berbicara (Muchlisoh, 1992).
Kemampuan bahasa yang dimiliki anak
melalui tahap-tahap berikut ini:
1. Tahap
pralinguistik, yaitu fase perkembangan bahasa di mana anak belum mampu
menghasilkan bunyi-bunyi yang bermakna. Bunyi yang dihasilkan seperti tangisan,
rengekan, dekutan, dan celotehan hanya merupakan sarana anak untuk melatih
gerak artikulatorisnya sampai ia mampu mengucapkan kata-kata yang bermakna.
2. Tahap
satu-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang baru mampu menggunakan
ujaran satu-kata. Satu-kata itu mewakili ide dan tuturan yang lengkap.
3. Tahap
dua-kata, yaitu fase anak telah mampu menggunakan dua kata dalam pertuturannya.
4.
Tahap banyak-kata, yaitu fase
perkembangan bahasa anak yang telah mampu bertutur dengan menggunakan tiga-kata
atau lebih dengan penguasaan gramatika yang lebih baik (Anonim, 2009).
Adapun keterampilan dalam belajar bahasa
diantara ialah :
a.
Keterampilan Menyimak
Keterampilan
menyimak dalam pembelajaran bahasa adalah suatu proses penerimaan pesan yang
disampaikan oleh orang lain. Sebagai proses, kegiatan menyimak terdiri atas
tahap penerimaan rangsangan lisan, pemusatan perhatian, serta pemahaman makna
atas pesan yang disampaikan. Penyimak akan dapat menyimak dengan baik apabila
ia memiliki kemampuan berkonsentrasi, menangkap bunyi tuturan, mengingat hal-hal
penting, serta memahami unsur linguistik dan nonlinguistik secara memadai
(Anonim, 2009).
b. Keterampilan Berbicara
Di
dalam sebuah pembelajaran diperlukan keterampilan untuk menguasai aspek-aspek
berbahasa. Seorang ahli mengemukakan bahwa “language conventionally distinguish
betwen four aspect of language which are mastered by means ‘four skill’
listening, speaking, reading, and writing. Speaking is an active produktive or
output counterparts”. Maksudnya, bahwa keterampilan berbicara merupakan sebuah
kemampuan untuk memproduksi suara atau sebuah pemaknaan secara aktif dan mampu
menimbulkan umpan balik/ feedback. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 :
114), berbicara adalah suatu kegiatan berkata, bercakap-cakap, berbahasa, atau
mengungkapkan suatu pendapat secara lisan. Dengan berbicara manusia dapat
menuangkan ide, gagasan, perasaan kepada orang lain sehingga dapat menghasilkan
suatu interaksi di dalam sebuah komunitas di masyarakat.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi bahasa
untuk menyampaikan pesan berupa gagasan, pikiran serta perasaan secara lisan
kepada individu lain.
Sebagai alat komunikasi di dalam berbicara,
pembicara sebagai pemberi informasi mutlak perlu dan pendengar sebagai penerima
informasi. Pembicara yang baik harus dapat menyampaikan isi pembicaraan dengan
baik dan efektif. Pembicara harus mengetahui betul isi pembicaraannya, dan
harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap orang lain. Jadi bukan
hanya mengetahui apa yang dibicarakannya tetapi juga mengetahui bagaimana cara
mengemukakan yang berkaitan dengan masalah bunyi bahasa. Pembicara juga harus
dapat memperlihatkan keberanian dalam berbicara dengan jelas dan tepat.Ada
beberapa faktor yang yang harus diperhatikan oleh seseorang pembicara untuk
berbicara efektif. Menurut Arsyad dan Mukti (1993 7-22) yang dapatmempengaruhi
keefektifan berbicara. Faktor non kebahasaan dan kebahasaan. Faktor non
kebahasaan meliputi sikap tubuh dalam berbicara, pandangan mata lurus terhadap
lawan bicara, kesediaan menghargai pendapat orang lain, gerakgerik atau mimik
yang tepat, kenyaringan, kelancaran, penalaran, penguasaan topik. Sedangkan
faktor kebahasaan meliputi ketepaan ucapan, penempatan tekanan, nada, sendi,
dan durasi yang sesuai, pemilahan kata dan diksi, ketepatan sasaran
pembicaraan, dan ketepatan penggunaan kalimat dan tata bahasa.
c. Keterampilan Membaca
Sementara
untuk pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I dan II dengan tujuan
agar murid memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi
yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Pembelajaran membaca
permulaan merupakan tingkatan proses pembelajaran membaca untuk menguasai
sistem tulisan sebagai representasi visual bahasa. Tingkatan ini sering disebut
dengan tingkatan belajar membaca (learning to read). Adapun membaca lanjut
merupakan tingkatan proses penguasaan membaca untuk memperoleh isi pesan yang
terkandung dalam tulisan.
Tingkatan
ini disebut sebagai membaca untuk belajar (reading to learn). Kedua tingkatan
tersebut bersifat kontinum, artinya pada tingkatan membaca permulaan yang fokus
kegiatannya penguasaan sistem tulisan, telah dimulai pula pembelajaran membaca
lanjut dengan pemahaman walaupun terbatas. Demikian juga pada membaca lanjut menekankan
pada pemahaman isi bacaan, masih perlu perbaikan dan penyempurnaan penguasaan
teknik membaca permulaan (Syafi’ie, 1999).
d. Keterampilan Menulis
Keterampilan
menulis dalam pembelajaran bahasa adalah proses penyampaian pesan kepada pihak
lain secara tertulis. Sebagai proses, menulis terdiri atas tahap prapenulisan,
menulis, dan pascapenulisan. Adapun keterampilan membaca merupakan proses
penyampaian pesan secara tertulis dari pihak lain. Sebagai proses, membaca
merupakan kegiatan pemaknaan yang terus-menerus berdasarkan apa yang tersaji
dalam teks karangan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pembacanya (Anonim,
2009).
Selain
empat keterampilan diatas, belajar bahasa indonesia juga memperhatikan viewing
dan presentasi visual.
e. Viewing
Viewing
mengacu pada keterampilan berbahasa individu dalam menafsirkan hal-hal yang
dilihat dari media visual dengan bahasa sendiri (termasuk foto, gambar,
ilustrasi, grafik, poster, peta, diagram dari buku/internet. Pesan/informasi
dari media visual ini harus dipahami sebagaimana kemampuan memahami bahasa
cetak. Pemahaman informasi dari internet dengan informasi visual yang kompleks
ini sangat penting.
f. Presentasi Visual
Merupakan
metode penyampaian informasi dengan menggunakan gambar, grafik, bagan, atau
tampilan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan ketertarikan audience dalam
menerima informasi pada saar dilakukan presentasi. Pada presentasi visual ini
kita memerlukan media visual.
Media
visual adalah media yang memberikan gambaran menyeluruh dari yang konkrit
sampai dengan abstrak. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa media visual
merupakan salah satu media untuk pembelajaran.
Tujuan
metode presentasi visual ialah agar penyampaian informasi dari presenter kepada
audience dapat disampaikan secara efektif, maka penting bagi presenter untuk
memilih metode presentasi yang sesuai dengan topik bahasannya.
Contoh metode
presentasi penyampaian informasi dalam wujud visual
§ Tabulasi
Data
§ Grafik
§ Media
gambar / Grafis foto
§ Sketsa
§ Media
Kartun
§ Ilustrasi
§ Karikatur
§ Poster
RPS 5
Belajar berbahasa lisan merupakan
salah satu upaya yang harus ditingkatkan oleh peserta didik dalam meningkatkan
kemampuan berbicara secara lisan, maka berbahasa lisan juga sangat perlu
ditingkatkan, oleh sebab itu tiap-tiap pendidik perlu mempelajari bagaimana
cara meningkatkan keterampilan berbahasa di sekolah dasar agar dapat
mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses belajar mengajar.
Pada kenyataannya peningkatan
kemampuan berbahasa lisan tersebut dimaksudkan agar anak-anak sekolah dasar
mampu memahami pembicaraan orang lain baik langsung maupun lewat media misalnya
radio, televisi, dan pita rekaman, tujuan yang lain adalah agar anak-anak mampu
mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka secara lisan. Dengan demikian kemampuan
mereka dalam berkomunikasi secara lisan diharapkan dapat meningkat sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Bahasa adalah pemahaman dasar dalam
memahami bahasa. Dalam memahami Bahasa Indonesia, kita juga perlu memahami
hel-hal tersebut, sehingga pemahaman kita dalam memahami bahasa Indonesia, bisa
lebih mendalam dan dapat mengaplikasikan dengan baik. Bahasa adalah suatu
sistem dari lambang bunyi arbiter (tidak ada hubungan antara lambang bunyi
dengan bendanya) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh
masyarakat untuk berkomunikasi, kerja sama, dan identifikasi diri. Bahasa lisan
merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder.
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang
dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar.
Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal.
Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara
atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Bahasa
lisan lebih ekspresif dimana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur
menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau
atau silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak
sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara atau target
komunikasi.
Bahasa lisan adalah suatu
bentuk komunikasi yang unik dijumpai pada manusia yang
menggunakan kata-kata yang diturunka dari kosakata yang
besar (kurang lebih 10.000) bersama-sama dengan berbagai macam nama yang
diucapkan melalui atau menggunakan organ mulut. Kata-kata yang terucap
tersambung menjadi untaian frasa dan kalimat yang dikelompokkan secara
sintaktis. Kosa kata dan sintaks yang digunakan, bersama-sama dengan bunyi
bahasa yang digunakannya membentuk jati diri bahasa tersebut
sebagai bahasa alami.
B. Pengertian Strategi
Pembelajaran
Strategi digunakan untuk memperoleh
kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan.Strategi pembelajaran
dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang
di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. ( J.R. David dalam
Sanjaya, 2008 ; 126).Selanjutnya dijelaskan strategi pembelajaran adalah
sesuatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. (Kemp dalam Sanjaya,
2008: 126).
Istilah strategi sering digunakan
dalam banyak konteks dengan makna yang selalu sama. Dalam konteks pengajaran
strategi bisa diartikan sebagai suatu pola umum tindakan guru-peserta didik
dalam manifestasi aktivitas pengajaran (Ahmad Rohani,2004:32). Sementara
itu,Joyce dan Well lebih senang memakai istilah model-model mengajar daripada
menggunakan strategi pengajaran (Joyce dan Well dalam Rohani,2004: 33).
Nana Sudjana menjelaskan bahwa
strategi mengajar (pengajaran) adalah taktik yang digunakan guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) secara lebih efektif dan
efisien (Nana Sudjana dalam Rohani, 2004: 34). Jadi, menurut Nana Sudjana,
strategi mengajar/ pengajaran ada pada pelaksanaan, sebagai tindakan nyata atau
perbuatan guru itu sendiri pada saat mengajar berdasarkan pada rambu-rambu
dalam satuan pembelajaran.
Berdasarkan pendapat diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa strategi pembelajaran harus mengandung penjelasan
tentang metode/prosedur atau teknik yang digunakan selama proses pembelajaran
berlangsung. Berbagai jenis strategi pembelajaran,yaitu Strategi deduktif
dimulai dari penampilan prinsip-prinsip yang diketahui ke prinsip-prinsip yang
belum diketahui. Sebaliknya, dengan strategi induktif, pembelajaran dimulai
dari prinsip-prinsip yang belum diketahui. Strategi ekspositori langsung
merupakan strategi yang berpusat pada guru. Guru menyampaikan informasi
terstruktur dan memonitor pemahaman belajar,serta memberikan balikan.
Strategi belajar tuntas merupakan
suatu strategi yang memberi kesempatan belajar secara individual sampai
pebelajar menuntaskan pelajaran sesuai irama belajar masing-masing. Ceramah dan
demonstrasi merupakan dua strategi yang pada hakikatnya sama, yaitu guru
menyampaikan fakta dan prinsip-prinsip, namun pada demonstrasi sering kali guru
menunjukkan (mendemonstrasikan) suatu proses.
Antara pertanyaan dan resitasi
terdapat kesamaan yaitu, resitasi juga dapat berupa pertanyaan secara lisan.
Praktik merupakan implementasi materi yang telah dipelajari, sedangkan drill
dilakukan untuk mengulangi informasi sehingga pebelajar benar-benar memahami
materi yang dipelajari. Reviu dilakukan untuk membantu guru menentukan
penguasaan materi para pebelajar, baik materi untuk prasyarat maupun materi
yang telah diajarkan. Bagi pebelajar, reviu berguna sebagai kesempatan untuk
melihat kembali topik tertentu pada waktu lain
C. Bahasa Lisan
1. Pengertian Bahasa
Lisan
Berbicara dapat diartikan sebagai
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau
menyampaikan pikiran, gagsan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983).
Berbicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol
sosial karena berbicara merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang
memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas. Ada
dua ragam komunikasi yang digunakan manusia dalam aktivitas kegiatan berbahasa
sebagaimana yang diungkapkan Moeliono (Ed), bahwa ragam bahasa menurut
sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan (1988:6).
Penggunaan ragam bahasa lisan
memiliki keuntungan, yaitu karena hadirnya peserta bicara sehingga apa yang
mungkin tidak jelas dalam pembicaraan dapat dibantu dengan keadaan atau dapat
langsung ditanyakan kepada pembicara. Berkaitan dengan ini, Pateda (1987:
63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam
komunikasi, yaitu :
(1) faktor kejelasan, karena
pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar
pendengar mengerti apa yang dikatakannya, (2) faktor kecepatan, pembicara
segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan, (3) dapat
disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi,
dan (4) faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat
diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit.
Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan.
Apa yang tidak jelas dalam bahasa
tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti bahasa lisan. Dalam bahasa
lisan, apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat dikoreksi, sedangkan
dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar. Menurut
Badudu, bahasa lisan lebih bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena
faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur,
sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kalimat
Badudu (1985: 6). Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan
dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh
gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat atau
sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada.
Dalam penggunaan bahasa lisan,
meskipun kalimat yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita
dapat menangkap maknanya dengan melihat lagu kalimat dan gerak-gerik kinesik
lainnya. Dalam hal ini Uhlenbeck (dalam Teeuw, 1984: 27) menjelaskan bahwa
keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual saja,
pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil
dari data pengetahuan lingual dan ekstralingual, dari informasi auditif,
visual, dan kognitif. Gambaran karakteristik bahasa lisan sebagaimana telah
diungkapkan oleh para ahli yang dimaksud yaitu:
a. Kalimat bahasa lisan banyak yang
kurang terstruktur ketimbang bahasa tulisan, yaitu (a) bahasa lisan berisi
beberapa kalimat tidak lengkap, bahkan sering urutan frasa-frasa sederhana, (b)
bahasa lisan secara khusus memuat lebih sedikit kalimat subordinat, dan (c)
dalam percakapan lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi, dan biasanya
berbentuk kalimat deklaratif aktif.
b. Dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu, biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. Dalam bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang jika.
c. Kalimat bahasa tulisan secara umum berstruktur Subjek–Predikat, sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
d. Dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
e. Dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk membantu suatu acuan.
f. Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
g. Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
h. Penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan, baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, juga (Brown dalam Yule, 1983: 12).
b. Dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu, biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. Dalam bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang jika.
c. Kalimat bahasa tulisan secara umum berstruktur Subjek–Predikat, sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
d. Dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
e. Dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk membantu suatu acuan.
f. Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
g. Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
h. Penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan, baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, juga (Brown dalam Yule, 1983: 12).
2. Penggunaan Bahasa
Ragam Lisan
Berbicara tentang penggunaan bahasa,
tentunya tidak terlepas dari penutur-penutur bahasa itu atau orang yang
menggunakan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Penutur-penutur bahasa itu
dalam proses sosialisasinya dapat berfungsi sebagai pembicara, penulis,
pembaca, atau penyimak. Penyimak dan pembaca dalam hal proses berbahasa
berfungsi sebagai penerima, sedangkan pembicara dan penulis berfungsi sebagai
orang yang memproduksi bahasa.
Komunikasi antara pembicara dan
pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan lancar, apabila di antara
kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat bahasa yang sama. Dengan demikian,
setiap bahasa memiliki seperangkat sistem, yaitu sistem bunyi bahasa, sistem
gramatikal, tata makna, dan kosa kata. Perangkat sistem ini ada dalam benak
penutur. Saussure memberinya istilah dengan langue, yaitu totalitas dari
sekumpulan fakta satu bahasa.
Istilah kompetensi diartikan sebagai
“… the speaker hearers knowledge of his language …” (Aiwasilah,
1985: 4). Langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu, sama bagi
semuanya dan berbeda di luar kemauan penyampainya. Langue adalah suatu sistem
yang memiliki susunan sendiri. Langue merupakan norma dari segala pengungkapan
bahasa. Berbeda halnya dengan penggunaan bahasa, karena penggunaan bahasa
bersifat heterogen. Konsep penggunaan bahasa itu didasari teori Sassure, yaitu
diistilahkan dengan parole. Parole adalah bahasa sebagaimana ia dipakai karena
itu sangat bergantung pada faktor-faktor linguistik ekstern (dalam Rahayu,
1988: 88).
Setiap penutur dapat dikatakan
terampil berbahasa apabila ia memiliki kompetensi atau langue dari bahasa yang
dikuasainya. Keterampilan berbahasa pada umumnya jarang dikuasai penutur dengan
sama baiknya. Ada penutur yang terampil berbicara, tetapi kurang terampil
menulis dan begitu pula halnya dengan keterampilan yang lainnya. Namun, dengan
pemakaiannya keterampilan penutur dalam menggunakan bahasa sesuai dengan
sistem-sistem di atas, belumlah dapat dikatakan mampu berbahasa dengan baik.
Rusyana (1984: 104) menjelaskan
bahwa berbahasa dengan baik berarti bukan saja dapat menguasai struktur bahasa
dengan baik, tetapi juga dapat memakainya secara serasi, sesuai pokok
permasalahan, tokoh bicara, dan suasana pembicaraan. Untuk itu, setiap penutur
harus menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan
fungsinya. Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah bahwa bahasa itu
terdiri dari berbagai ragam, ada yang berhubungan dengan pemakaian bahasa, ada
pula yang berhubungan dengan pemakaiannya. Dalam hal ini Fishman (1972:149)
membedakan variasi bahasa tersebut menurut penuturnya, yang disebut dengan
dialek, dan variasi bahasa menurut penggunaannya disebut dengan istilah
register.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang
akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang lain. Kevariasian bahasa
itu dipengaruhi oleh siapa yang berbicara, lawan bicara, situasi, topik
pembicaraan, dan sebagainya. Del Hymas merinci faktor-faktor yang mempengaruhi
pemakaian bahasa menjadi delapan faktor. Kedelapan faktor itu adalah:
(1) setting and scence, yang mengacu
pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi, (2) participant, yang mengacu
kepada peserta komunikasi yang terdiri atas pembicara/pengirim, pendengar/penerima,
(3) ends (pupose and goals), yang mengacu kepada tujuan dan hasil atau harapan
mengadakan komunikasi, (4) actsequence, yang mengacu kepada bentuk dan isi
pesan komunikasi, (5) key, yang mengacu kepada gaya, ragam bahasa yang
digunakan dalam komunikasi, (6) instrumentalities, yang mengacu kepada sarana
atau perantara yang digunakan dalam komunikasi dan bentuk tuturan, bahasa,
dialek, (7) norms, yang mengacu kepada norma perilaku dalam berinteraksi,
interpretasi komunikasi, dan (8) genres, yang mengacu kepada bentuk dan jenis
bahasa yang digunakan dalam komunikasi, misalnya cerita, prosa puisi (Hymes
dalam Bell, 1976: 81).
Untuk mengetahui ragam bahasa apa
yang dipakai oleh seseorang kita dapat mengenalnya melalui (1) pilihan kata
atau leksis, (2) fonologi, (3) morfologi, (4) sintaksis, dan (5) intonasi
(Badudu, 1991: 85). Sejalan dengan pendapat tersebut, Nababan (1984: 22)
menjelaskan bahwa setiap bahasa memiliki banyak ragam, yang dipakai dalam
keadaan atau keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam-ragam itu menunjukan
perbedaan struktural dalam unsur-unsurnya. Perbedaan struktural ini berbentuk
ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis.
3. Pelafalan
Masyarakat Indonesia terdiri dari
beratus-ratus suku, dan masing-masing suku memiliki bahasa daerah. Bahasa
daerah tersebut dipergunakan masyarakat sebagai sarana komunikasi antar suku,
dan juga dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan
masyarakat di Indonesia. Badudu (1985: 12) mengatakan bahwa tidak seorang pun
yang dapat melepaskan diri dari pengaruh itu seratus persen.
Badudu menjelaskan bahwa yang sering
sukar dihindari adalah pengaruh lafal bahasa daerah, karena lidah penutur yang
sudah “terbentuk” sejak kecil oleh lafal bahasa daerahnya (1985: 12). Bila kita
perhatikan lafal orang Tapanuli misalnya, kata-kata yang befonem /e/ akan
dilafalkan dengan /é/. Kata-kata seperti mengapa, karena, kemana, diucapkan
dengan menggunakan /é/. Atau orang Jawa, akhiran /kan/ akan diucapkan dengan
/ken/. Demikian pula dengan suku Sunda, Bali, Aceh, bila berbicara akan
diwarnai pengaruh bahasa daerahnya.
Bila seseorang dalam berbahasa lisan
terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal nonbaku. Bila
seseorang dalam berbahasa Indonesia tidak terdengar lafal bahasa daerahnya,
maka lafalnya digolongkan pada bahasa baku. Badudu menjelaskan, “Lafal bahasa
Indonesia baku adalah lafal yang tidak memperdengarkan warna lafal bahasa
dialek, juga tidak memperdengarkan warna lafal bahasa asing seperti bahasa
Belanda, Inggris atau Arab (1980: 115. Soemantri (1987: 11) mengatakan bahwa
lafal bahasa Indonesia yang standar adalah tuturan bahasa Indonesia yang tidak
terlalu menonjol ciri lafal daerahnya.
4. Struktur Bahasa Ragam
Lisan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Dalam wujudnya, bahasa yang kita
gunakan terdiri dari unsur bunyi, bentuk morfologis, sintaksis dan semantik.
Unsur-unsur bahasa itu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah-pisah.
Dalam bahasa lisan, unsur-unsur tersebut terangkai dalam wujud kalimat yang
saling berkaitan. Kalimat yang pertama pada dasarnya digunakan sebagai acuan
munculnya kalimat yang kedua, kalimat kedua dapat memunculkan kalimat ketiga
dan seterusnya. Oleh karena itu, memahami bahasa lisan seseorang dapat
dilakukan, antara lain dengan cara menganalisis unsur-unsur bahasa dan aturan
yang berlaku dalam bahasa itu.
Uraian di atas memberikan gambaran
bahwa struktur bahasa ragam lisan anak-anak pun dapat dianalisis melalui
unsur-unsur bahasa yang dugunakannya. Di samping itu, aturan-aturan yang
berlaku juga dapat digunakan sebagai tolak ukur baku atau tidaknya penggunaan
bahasa secara keseluruhan. Dari deskrifsi dan hasil analisis data, struktur
bahasa ragam lisan anak-anak dwibahasawan masih dipengaruhi oleh bahasa ibu dan
bahasa percakapan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan terjadinya peristiwa
bahasa, seperti frekuensi penggunaan bahasa ibu yang dominan.
Anak-anak cenderung atau lebih
sering menggunakan bahasa ibu daripada bahasa Indonesia ketika di rumah.
Peristiwa itu terjadi karena faktor lingkungan (keluarga dan masyarakat)
mendominasi terjadinya penggunaan bahasa daerah setempat. Efek dari peristiwa
itu, maka penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun diwarnai bahasa daerah.
Dalam hal ini, ada beberapa hal, yang dapat dikemukakan berkenaan dengan
peristiwa tersebut.
a. Upaya yang dilakukan guru pada
saat proses belajar berlangsung adalah digunakan bahasa Indonesia yang baik
ketika mengajar di kelas. Pada saat proses belajar berlangsung terjadi berbagai
ungkapan pikiran dan perasaan melalui bahasa lisan. Dalam peristiwa itu terjadi
penggunaan struktur bahasa lisan pada anak-anak. Karena pada umumnya siswa
tergolong dwibahasawan, maka dalam peristiwa itu ragam bahasa lisan tidak bisa
dielakkan. Meskipun demikian, secara umum anak-anak telah mampu menggunakan
seperangkat penanda linguistik yang diperlukan dalam berbahasa lisan sehingga
mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan orang lain. Keseluruhan sistem
bahasa itu meliputi fonologi, morfologi, leksikal, semantik dan sintaksis.
b. Digunakannya ragam baku dan tidak
baku dalam peristiwa komunikasi pada prinsipnya tidak mengganggu proses belajar
mengajar di kelas. Hal ini disebabkab oleh penggunaan ragam baku yang lebih
sering digunakan dari pada ragam tidak baku. Ragam tidak baku pada dasarnya
digunakan anak-anak atas dasar pertimbangan situasi dan sosial. Situasi atau
konteks peristiwa yang terjadi itu memang mengharapkan penggunaan ragam tidak
baku oleh anak-anak. Misalnya, ketika meminjam buku, menyuruh, bertanya, dan
marah dengan temannya yang sebahasa (bahasa ibu).
Pada dasarnya anak-anak usia sekolah
dasar telah menguasai struktur bahasa secara sempurna. Pada usia ini anak-anak
di samping udah matang organ-organ bicaranya, mereka juga mampu merespon
pembicaraan orang lain. Kematangan anak-anak dapat diwujudkan secara verbal,
seperti penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat-kalimat kompleks.
Data yang diperoleh dalam penelitian
ini pun menunjukan bahwa penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat
anak-anak dwibahasawan secara struktur sudah baik. Hal ini terlihat pada
kemapuan dalam penggunaan afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Hanya terjadi
beberapa kesalahan penggunaan afiksasi karena pengaruh bahasa daerah atau
bahasa percakapan sehari-hari. Hal ini, antara lain dapat terlihat pada
penghilangan awalan me- dalam kata manjat, metik, nembak, dan mbeli, yang
seharusnya memanjat, memetik, menembak, dan membeli. Kesalahan juga terjadi
pada kata ngambilin dan nunggu, seharusnya mengambil dan menunggu.
Di samping itu, terjadi juga
beberapa kesalahan penggunaan pada kata ulang. Yang dimaksud adalah
bintangnya-bintang dan mutar-mutar, seharusnya bintang-bintang dan
berputar-putar. Salah satu hal yang paling sempurna adalah penggunaan
pemajemukan. Artinya, tidak ditemukan kesalahan dalam penggunaan kata majemuk
pada bahasa lisan anak-anak dwibahasawan. Pilihan kata, kosakata atau
istilah, dan penggunaannya dalam ujaran sangat mempengaruhi isi pembicaraan.
Pilihan kata atau istilah yang tepat
dan penggunaan kata yang baku dalam konteks pembicaraan akan mencerminkan
kemampuan berbahasa. Artinya, makna atau isi pembicaraan akan terwakili secara
jelas berdasarkan ketepatan dalam penggunaannya. Dalam hal ini, pilihan kata
atau istilah yang digunakan anak-anak dwibahasawan secara umum dapat dikatakan
baik bila diukur dengan konteks pembicaraan.
Berbagai pilihan dan penggunaan kata
terkait langsung dengan topik pembicaraan, terarah, kontekstual, dan
situasional. Di dalam konteks komunikasi formal, topik prmbicaraan yang telah
ditentukan dapat dibahas bersama sesuai dengan pengalaman hidup sehari-hari.
Keterkaitan itu terbukti oleh adanya saling dimengerti topik pembicaraan yang
yang dibicarakan melalui berbagai pilihan atau penggunaan kata atau istilah.
Hanya ada beberapa pilihan kata yang
menyimpang akibat pengaruh bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari. Pilihan
dan penggunaan kata daerah digunakan anak-anak dwibahasawan karena kesulitan
mencari padanannya. Hal ini terdapat pada kata daerah (Jawa), seperti pangnya,
nyucuk, dan membandil (Indonesia=cabang pohon, mematuk makanan melalui paruh
burung, dan melempar batu dengan ketapel). Selain itu, ada beberapa pilihan dan
penggunaan kata yang disebabkan oleh bahasa pergaulan. Kata-kata itu, antara
lain cuma, aja, nggak, dan duren (tidak baku), seharusnya hanya, saja, tidak
dan durian (baku).
Penggunaan bahasa lisan banyak
kelonggaran bila dibandingkan dengan bahasa tulisan. Akan tetapi, bukan berarti
penggunaan dapat dilakukan seenaknya. Dalam menggunakan bahasa lisan perlu
diperhatikan oleh setiap penutur mengenai situasi, lawan bicara dan masalah
yang dikemukakan. Kaitan dengan penilaian ini, struktur kalimat dalam ujaran
anak-anak dwibahasawan berupa (1) topik komentar, (2) kalimat deklaratif aktif
lebih banyak daripada konstruksi pasif, dan (3) lepasnya unsur subjek,
predikat, dan objek.
Sesuai dengan sifat dan
penggunaannya, maka penggunaan bahasa lisan anak-anak lebih banyak berisi
komentar. Hal ini terjadi karena topik yang harus disampaikan dalam proses
komunikasi memerlukan penjelasan. Misalnya, anak-anak harus menjelaskan
‘pentingnya memelihara lingkungan’, ’menceritakan pengalaman pribadi’, dan
‘bagaimana cara belajar yang baik’. Rangkaian penjelasan itu secara kongkrit
diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang sesuai dan saling terkait.
Dalam wujudnya, kalimat yang
digunakan anak-anak dwibahasawan terdiri dari beberapa kalimat deklaratif
aktif, dalam hal ini konstruksi pasif jarang terjadi. Selanjutnya, struktur
kalimat yang terjadi pada anak-anak dwibahasawan adalah lesapnya unsur subjek,
predikat dan objek. Meskipun demikian, lesapnya unsur-unsur kalimat tersebut
masih dapat dianggap wajar karena hal itu terjadi dalam konteks bahasa lisan
atau hadirnya antara pembicara (komunikator) dan pendengar (komunikan).
Kenyataan seperti ini juga dijelaskan oleh Rusyana (1984: 130), bahwa dalam
penuturan lisan, pembicara dan pendengar ada dalam ruang dan waktu yang
memberikan kemungkinan untuk berkontak secara langsung. Situasinya juga
diketahui oleh kedua belah pihak. Andaikan ada yang tidak dipahami, dapat
ditanyakan dan kemudian dijelaskan. Karena itu, walaupun ada yang jika
dipandang dari kalimat-kalimat yang digunakan, tidak begitu jelas, ketidak
jelasan itu mungkin sudah teratasi oleh pemahaman terhadap hubungan dalam
peristiwa pembicaraan atau langsung dijelaskan oleh pembicara. Dengan
demiklian, penyimpangan-penyimpangan struktur kalimat dan lesapnya unsur-unsur
kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan disebabkan oleh sifat bahasa lisan
itu sendiri. Dengan kata lain, penyimpangan-penyimpangan struktur bahasa lisan
yang digunakan anak-anak dwibahasawan SD masih dalam batas kewajaran.
Berbagai uraian di atas pada
dasarnya terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang paling dominan karena pada
umumnya masyarakat Indonesia, termasuk juga anak-anak sekolah dasar tergolong
masyarakat dwibahasawan. Sebagai masyarakat dwibahasawan tentunya mereka mampu
menggunakan lebih dari satu bahasa. Keadaan seperti ini tentu akan mempengaruhi
penggunaan bahasa Indonesia mereka dalam komunikasi sehari-hari, baik dalam
tataran formal ataupun nonformal.
Kedwibahasaan seseorang di dalam
masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari kemampuannya menggunakan dua bahasa
atau lebih. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih, yang pertama
kali mempengaruhi mendasari bahasa seseorang umumnya adalah bahasa ibu. Bahasa
ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya diperoleh dalam lingkungan keluarga
atau masyarakat. Kecenderungan pemakaian bahasa ibu atau bahasa pertama sangat
tergantung pada bahasa yang paling dominan dipergunakan di tengah-tengah
masyarakat. Terutama di daerah-daerah pedesaan, biasanya yang dominan adalah
bahasa ibu daerah. Dalam rentang waktu selanjutnya, sesuai dengan usianya
kemudian seseorang akan mempelajari bahasa kedua. Bagi anak-anak, hal ini akan
dialami apabila anak-anak mulai masuk sekolah. Dari perjalanan waktu dan usia
sekolah itulah, maka akan diperoleh dan dikuasai bahasa kedua, sehingga mereka
dapat menguasai lebih dari satu bahasa.
Sebagian besar masyarakat, termasuk
anak-anak sekolah dasar kebanyakan berbahasa ibu bahasa daerah. Meskipun
anak-anak telah memasuki sekolah, karena sebagian besar masyarakat menggunakan
bahasa daerah, maka pemakaian bahasa daerahlah yang cenderung dominan dalam
berkomunikasi. Hal ini terbukti karena bahasa daerah lebih sering digunakan
bila dibandingkan dengan bahasa yang lain, misalnya bahasa Indonesia. Dengan
demikian, kita tidak heran bila kalau bahasa daerah atau bahasa percakapan akan
mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia penuturnya.
5. Ragam Bahasa Lisan
yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Pada bagian terdahulu telah
diuraikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lisan dalam situasi formal atau
resmi hendaknya digunakan ragam bahasa baku. Demikian juga, dalam proses
belajar mengajar di kelas, karena dituntut penggunaan bahasa yang cermat
terutama terkait dengan keperluan keilmuan, maka hendaknya menggunakan bahasa
Indonesia ragam baku. Namun, tidak dapat disangkal bahwa seseorang
(dwibahasawan) akan mengalihkan atau mencampurkan bahasa lain ke dalam bahasa
yang sedang digunakan pada saat komunikasi sedang berlangsung.
Hal tersebut di atas dapat
terjadi karena berbagai alasan. Alasan-alasan itu, antara lain agar pembicaraan
dapat berlangsung komunikatif, untuk menunjukan status sosialnya, dan kesulitan
mencari padanan kata. Senada dengan hal ini, Grosjean (1982: 149) menjelaskan,
bahwa kegiatan beralih bahasa (kode) terjadi manakala dwibahasawan kekurangan
fasilitas pada suatu bahasa pada saat dwibahasawan itu mengemukakan suatu
topik. Alih kode juga terjadi sewaktu dwibahasawan menemukan kata yang sulit
diungkapkannya tidak ada padanan yang tepat. Selanjutnya alih kode sering
terjadi ketika dwibahasawan sedang dalam keadaan lelah, atau sedang marah.
Berdasarkan deskripsi dan hasil
analisis data ditemukan pergantian bahasa dalam ujian lisan anak-anak
dwibahasawan ketika berinteraksi atau mengikuti pelajaran di kelas, yaitu
pergantian penggunaan ragam baku keragam tidak baku atau sebaliknya. Pergantian
ragam baku ke ragam tidak baku terjadi apabila interaksi terjadi antar
anak-anak atau antara anak dan guru yang sebahasa ibu. Adapun faktor lain yang
menyebabkan timbulnya peralihan bahasa (kode) tersebut disebabkan oleh
kesulitan mencari padanan kata dan faktor situasi yang melingkupinya.
Faktor-faktor situasional ini terjadi pada anak-anak dwibahasawan, khususnya
ketika proses belajar-mengajar berlangsung, sementara mereka mengalami berbagai
kendala.
Wujud kendala itu adalah berupa
kesulitan-kesulitan tertentu, seperti pada saat merespon atau memahami materi
pelajaran. Di samping itu, situasi kelas yang ramai, ribut, penat dan panas
(jam pelajaran terakhir), maka mereka beralih bahasa (kode) ketika menyampaikan
ujarannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suwito (1983: 149), bahwa ada
kalanya terjadi kesenjangan penutur dengan situasinya. Pemakaian bahasa yang
demikian biasanya tidak disadari dimaksudkan untuk mengubah situasi tertentu
menjadi yang lain. Oleh karena itu, wajarlah apabila dalam ujaran anak-anak
dwibahasawan SD terdapat ragam tidak baku ketika mengungkapkan kembali
isi/materi pelajaran di kelas.
6. Fungsi Bahasa yang
Digunakan Anak-anak Dwibahasawan SD
Fungsi bahasa yang paling utama
adalah sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini berbagai penjelasan mengenai
fungsi bahasa telah dapat dikemukakan para ahli bahasa. Bebereapa pakar
memberikan penjelasan mengenai fungsi bahasa dilihat dari cara pandang
masing-masing. Akan tetapi, penjelasan mengenai fungsi bahasa tersebut secara
keseluruhan memiliki banyak persamaan.
Berdasarkan data yang diperoleh
dalam penelitian ini, secara konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak
dwibahasawan berfungsi (1) sebagai alat untuk berinteraksi atau interaksional,
(2) merupakan alat untuk diri atau personal, (3) alat untuk memperoleh ilmu
pengetahuan atau heuristik, dan (4) untuk menyatakan imajinasi dan khayal.
Selanjutnya, dilihat dari struktur kalimatnya penggunaan bahasa lisan anak-anak
dwibahasawan berfungsi (1) untuk menyatakan perasaan atau ekspresi, (2) bertanya,
meminta suatu pendapat, tanggapan atau jawaban, (3) untuk menjelaskan informasi
atau materi pelajaran, dan (4) memberi atau membuat contoh.
Fungsi untuk menyatakan perasaan
atau ekspresi dalam ujaran anak-anak dwibahasawan, antara lain ditandai oleh adanya
rasa gembira, senang, kagum, atau kecewa. Ungkapan ini dapat tergambar pada
kalimat (a) Aku sangat senang pergi bersama-sama keluarga, (b) Aduh, senagnya
pengalaman waktu libur, dan (c) Pada saat aku mengamati gambar tugu monas aku
heran melihat bangunan yang amat tinggi.
Fungsi untuk menjelaskan informasi
atau materi pelajaran ini terkait secara kontekstual. Ungkapan-ungkapan
tersebut dapat tergambar pada kalimat (a) Paman Mus pergi bertransmigrasi
karena Gunung Galunggung meletus. Sekarang masa depan Paman dan keluarganya
terjamin, (b) Rumah Wangi terbakar karena ledakan kompor tetangganya, dan (c)
Keamanan di Desa Pak Thomas sangat terganggu. Ayam di kandang hilang tanpa
suara. Begitu pila kambing dan ternak lainnya. Akhir-akhir ini malingnya berani
mencongkel jendela rumah Pak Lurah. Untung cepat diketahui, tapi maling itu
melarikan diri. Berkaitan dengan fungsi ‘untuk menjelaskan informasi atau
materi pelajaran’, fungsi ‘memberi atau membuat contoh’ pun berkaitan dengan
topik dan situasi pembicaraan. Fungsi tersebut dapat digambarkan melalui
kalimat (a) Ada anjungan dari berbagai daerah di Indonesia, Pak, (b) Kita
mengadakan upacara di sekolah, di desa, di kecamatan, (c) Saya Pak, ada Burung
Pipit, Kutilang, Bangau, dan (d) Saya Pak, perlombaan panjat pinang, lari
karung, tarik tambang, baca puisi.
Fungsi ‘bertanya, meminta suatu
pendapat, tanggapan, atau jawaban’ juga terjadi karena terikat oleh konteks
pembicaraan. Pembicaraan tersebut berlangsung di kelas, ketika proses
belajar-mengajar berlangsung antara murid dan guru. Hal ini dapat dilihat pada
contoh-contoh kalimat (1) Judulnya liburan, Pak?, (2) Judulnya apa, Pak?, (3)
Pahlawan juga, ya, Pak?, (4) Judulnya Ronda Malam, ya Bu?, (5) Di buku halaman
berapa, Pak?, dan (6) Yang mana, Bu?…
Melihat kontek ujaran anak-anak
dwibahasawan di atas, pada dasarnya masih terkait dengan fungsi-fungsi yang
lain. Hal ini disebabkan oleh faktor materi pelajaran yang disampaikan di
sekolah. Materi pelajaran bahasa Indonesia yang disajikan kepada murid pada
umumnya berhubungan dengan masalah sosial, kebudayaan, ekonomi, pertanian, dan
alam sekitar. Untuk itu, fungsi lain yang berkaitan, antara lain bahwa bahasa
dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa dan kebudayaan ini
mengemban fungsi kebudayaan. Fungsi kebudayaan itu mencakup fungsi bahasa
sebagai (1) sarana pengembangan kebudayaan, (2) jalur penerus kebudayaan, dan
(3) inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dalam konteks itu, bahasa merupakan unsur
kebudayaan yang memungkinkan pengembangan dan perkembangan kebudayaan.
Apabila dikaitkan dengan pengajaran
bahasa Indonesia, tampak jelas bahwa pengajaran bahasa Indonesia itu
dimaksudkan untuk membuat anak didik mampu mengintegrasikan diri dalam
masyarakat Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia diharapkan anak didik menjadi
bagian utuh dari bangsa Indonesia. Sekaitan dengan itu, bahasa Indonesia adalah
bahasa yang membuka jalan bagi kita menjadi anggota yang seutuhnya dari bangsa
Indonesia. Oleh karena itu sangat penting bagi lembaga pendidikan di sekolah dasar
untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia kepada anak-anak.
7. Pembelajaran Bahasa
Lisan
Keterampilan berbicara menunjang
pula keterampilan menulis sebab pada hakikatnya antara berbicara dan menulis
terdapat kesamaan dan perbedaan. Dua-duanya bersifat produktif. Keduanya
berfungsi sebagai penyampai, penyebar informasi. Bedanya terletak dalam media.
Bila berbicara menggunakan media bahasa lisan maka menulis menggunakan bahasa
tulisan. Namun keterampilan menggunakan bahasa lisan akan menunjang keterampilan
bahasa tulis. Begitu juga kemampuan menggunakan bahasa dalam berbicara jelas
pula bermanfaat dalam memahami bacaan. Apalagi dalam cara mengorganisasikan isi
pembicaraan hampir sama dengan cara mengorganisasikan isi bacaan. Keterampilan
berbicara bersifat mekanistis. Semakin sering dilatihkan semakin lancar orang
berbicara. Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara harus melalui
pengajaran berbahasa. Hal ini dapat berlangsung di dalam dan di luar sekolah.
Pembinaan dan pengembangan
keterampilan berbicara siswa di sekolah menjadi tanggung jawab guru-guru bahasa
Indonesia. Mereka harus dapat menciptakan suasana dan kesempatan belajar
berbicara bagi siswa-siswa. Mereka harus sabar dan tekun memotivasi dan melatih
siswa berbicara. Karena itu guru bahasa Indonesia harus mengenal, mengetahui,
menghayati, dan dapat menerapkan berbagai teknik, teknik atau cara mengajarkan
keterampilan berbicara, sehingga pengajaran berbicara menarik, merangsang,
bervariasi, dan menimbulkan minat belajar berbicara bagi siswa. Teknik
pengajaran berbicara yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia
di Sekolah Dasar.
a. Teknik Ulang –
Ucap
Teknik ulang-ucap sangat baik
digunakan dalam melatih siswa mengucapkan atau melafalkan bunyi bahasa kata,
kelompok kata, kalimat, ungkapan, peribahasa, semboyan, kata-kata mutiara,
paragraf, dan puisi yang pendek. Pada kelas-kelas rendah teknik ini biasa
digunakan dalam melatih siswa mengucapkan fonem kata-kata, dan kalimat-kalimat
yang pendek. Model ucapan harus jelas, jernih, dan tepat. Guru bahasa harus
dapat menjadi model yang akan ditiru oleh siswa. Model ucapan ini dapat berupa
ucapan langsung atau lisan dan dapat pula berupa rekaman. Berikut ini disajikan
beberapa contoh dalam bentuk kegiatan guru dan siswa pada pembelajaran
berbicara di Sekolah Dasar.
b. Teknik Lihat –
Ucap
Teknik lihat-ucap digunakan dalam
merangsang siswa mengekspresikan hasil pengamatannya. Yang diamati dapat
berbagai hal atau benda, gambar benda, atau duplikat benda. Pada kelas-kelas
rendah benda yang diperlihatkan untuk diamati sebaiknya benda-benda yang dekat
dengan kehidupan siswa. Lebih baik lagi bila benda itu nyata. Jadi bukan benda
atau hal yang bersifat abstrak. Bila benda atau hal yang bersifat abstrak dapat
diberikan pada kelas-kelas lanjutan.
c. Teknik Deskripsi
Deskripsi berarti menggambarkan,
melukiskan, atau memerikan sesuatu secara verbal. Teknik deskripsi digunakan
untuk melatih siswa berani berbicara atau mengekspresikan hasil pengamatannya
terhadap sesuatu. Melalui deskripsi ini, pembicara menggambarkan sesuatu secara
verbal kepada para pendengarnya.
d. Dramatisasi
Ada beberapa alasan yang melatar
belakangi penggunaan strategi dramatisasi dalam pembelajaran bahasa lisan,
yaitu sebagai berikut.
a) Dramatisasi memungkinkan dapat membangkitakan dorongan aktif siswa.
b) Dramatisasi memungkinkan dapat memberi peluang ekspresi yang kreatif dan melatih menggunakan bahasa lisan bagi siswa secara sempurna.
c) Melalui dialog memungkinkan siswa berinteraksi sosial dengan teman lain.
a) Dramatisasi memungkinkan dapat membangkitakan dorongan aktif siswa.
b) Dramatisasi memungkinkan dapat memberi peluang ekspresi yang kreatif dan melatih menggunakan bahasa lisan bagi siswa secara sempurna.
c) Melalui dialog memungkinkan siswa berinteraksi sosial dengan teman lain.
Berdasarkan alasan tersebut maka
penulis berpendapat bahwa berbahasa lisan lebih tepat jika disampaikan dengan
menggunakan strategi dramatisasi. Ada beberapa keuntungan dari penggunaan
strategi ini :
a) Menyajikan materi pelajaran lebih menarik.
b) Melatih kemampuan berbicara, sehingga pada kelas lebih tinggi ketrampian mengeluarkan pendapat lebih tampak.
c) Mengembangkan sikap sosial dan saling menghargai.
d) Pencapaian tujuan pembelajaran lebih mudah.
a) Menyajikan materi pelajaran lebih menarik.
b) Melatih kemampuan berbicara, sehingga pada kelas lebih tinggi ketrampian mengeluarkan pendapat lebih tampak.
c) Mengembangkan sikap sosial dan saling menghargai.
d) Pencapaian tujuan pembelajaran lebih mudah.
8. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Dalam Berbahasa Lisan
Di dalam berbahasa lisan tentu harus
memiliki kemampuan yang kuat dalam berbicara, karena bahasa lisan tidak mudah
di ucapkan apabila tidak adanya kemampuan dalam berbicara. Kenyataannya bahasa
lisan masih sangat perlu dikembangkan lagi. Jadi bagi seorang pendidik harus
benar-benar menguasai atau mempelajari bagaimana seharusnya berbahasa lisan di
sekolah dasar ditingkatkan bahasa lisan sangat perlu di kembangkan di sekolah
dasar yang tujuannya agar setiap anak berani mengemukakan pandangan dan
pendapatnya baik dilingkungan sekolah maupun di luarnya.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
siswa dalam berbahasa lisan adalah kekurangan interaksi antara murid dengan
pendidiknya sehingga siswa tidak mendengar pembicaraan dari gurunya dan tidak
termotivasi dalam melakukan proses pembelajaran. Dalam berbahasa lisan proses
menyimak mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan siswa dalam
berbahasa lisan adapun faktor yang mempengaruhi diantaranya:
a. kurangnya minat siswa dalam
membaca.
b. tidak adanya kemampuan dalam mendengar.
c. sedikitnya keterampilan dalam berbicara.
d. kurangnya motivasi dalam melakukan proses pembelajaran.
b. tidak adanya kemampuan dalam mendengar.
c. sedikitnya keterampilan dalam berbicara.
d. kurangnya motivasi dalam melakukan proses pembelajaran.
Dari penjelasan diatas itu merupakan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi siswa dalam meningkatkan kemampuan
berbahasa lisan, untuk itu bagi pendidik harus mempunyai beberapa kriteria yang
dapat meningkatkan keterampilan berbahasa lisan siswa.
9. Hal-hal yang Harus
Diperhatikan dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Lisan
Dalam meningkatkan kemampuan
berbahasa lisan sangat penting sekali memahami beberapa sumber yang relevan,
yang mampu meningkatkan keterampilan berbahasa anak dan bagi seorang pendidik
harus juga melihat bagaimana karakter siswa dalam menyampaikan informasi atau
menerima informasi dari sumber yang ia peroleh, dari semua anak tidak ada yang
memiliki kemampuan yang sama dalam mengembangkan keterampilan berbahasanya.
Untuk itu dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa sangat penting
yaitu keterlibatan siswa berinteraksi dengan lingkungannya atau sumber media
yang relevan, yang mampu meningkatkan siswa dalam berbahasa lisan seperti
contoh menyimak melalui acara televisi atau radio. Dari menyimak itu anak mampu
menangkap beberapa hal atau memberi tanggapan-tanggapan yang berkaitan dengan
pembelajaran yang telah disimak sehingga dari belajar tersebut anak terbiasanya
mengungkapkan pemikiran secara lisan berdasarkan topik yang telah disimak.
Dalam meningkatkan kemampuan
berbahasa lisan, setiap anak harus berperan aktif dalam melakukan proses
belajar mengajar, baik dalam menjelaskan, mengemukakan pendapat, bertanya,
menjawab pertanyaan dan sebagainya. Setiap anak memiliki dorongan untuk
mengemukakan pandangan dan pendapatnya Berdasarkan imformasi yang telah
didapatkan. Di samping itu menyimak juga menjadi salah satu hal yang harus
diperhatikan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa lisan, karena dari proses
menyimak setiap anak akan terlatih dalam memperhatikan pembicaraan orang lain
serta mengemukakan beberapa pandangannya. Selanjutnya dari proses itu akan terbentuk
kebiasaan memahami, dan menanggapi secara kritis pembicaraan orang lain
sehingga anak itu menimbulkan kemampuan dalam berbahasa lisan.
Strategi lain yang efektif untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa lisan adalah dengan menggunakan permainan
bahasa lisan. Bermain merupakan sarana yang cukup efektif untuk belajar. Dalam
suasana bermain, perhatian anak terhadap pelajaran akan lebih menarik, lebih
menyenangkan, lebih bermakna dan berkesan. Ciri khusus dan permainan
Bahasa Lisan adalah mengembangkan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis yang ditempuh dengan langkah yang menyenangkan dan mengembirakan.
Ellis (lewat Numan, 1991: 46)
mengemukakan adanya tiga cara untuk mengembangkan secara vertikal dalam
meningkatkan kemampuan berbicara:
• Menirukan pembicaraan orang lain.
• Mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai.
• Mendekatkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa yang sudah benar.
• Menirukan pembicaraan orang lain.
• Mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai.
• Mendekatkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa yang sudah benar.
Upaya untuk meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Indonesia di sekolah, dapat dilaksanakan program
sebagai berikut :
a. Guru menjadi model
yang baik untuk dicontoh oleh siswa
Siswa sangat membutuhkan suatu model
guru yang dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Guru hendaknya memberikan contoh konkret dengan keteladanan dalam berbahasa.
Agar siswa dapat menirukan dan melafalkan kata atau kalimat dengan tepat sesuai
kaidah yang berlaku.
b. Menerapkan
pembelajaran dengan pendekatan Modeling The Way
Pelaksanaan pembelajaran bahasa
Indonesia pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia perlu menerapkan
pendekatan modeling the way (membuat contoh praktik). Strategi ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan keterampilan berbicara bahasa
Indonesia melalui demonstrasi, dari hasil demonstrasi ini kemudian diterapkan
dalam keseharian di sekolah, yaitu siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil,
identifikasi beberapa situasi umum yang biasa siswa lakukan di ruang kelas dan
luar kelas dalam berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar, kemudian siswa
mendemonstrasikan satu persatu dalam berbicara bahasa Indonesia.
c. Adanya penilaian
keterampilan berbicara bahasa Indonesia
Walaupun pelaksanaannya di luar
kegiatan belajar mengajar tetapi guru harus mengadakan penilaian keterampilan
berbicara pada kesehariannya. Penilaian ini akan menjadi motivasi bagi siswa
untuk berusaha mempraktikkannya baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Dengan demikian siswa termotivasi untuk melakukan perbuatan yang sama bahkan berusaha
meningkatkannya.
d. Sekolah Membuat
Program Sehari Berbahasa Indonesia
Program sehari berbahasa di tiap
sekolah merupakan kondisi eksternal yang efektif untuk mempraktikkan
keterampilan berbahasa.
10. Strategi pembelajaran
dalam meningkatkan keterampilan berbahasa lisan
Tujuan pembelajaran berbicara di SD
adalah melatih siswa dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita dapat menggunakan bahan
pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan
pembelajaran berbicara, misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan,
menceritakan kembali isi cerita yang pernah dibaca atau didengar, bermain
peran, pidato.
Banyak cara untuk meelaksanakan
pembelajaran berbicara di SD, misalnya siswa diminta merespons secara lisan
gambar yang diperlihatkan guru, bermain tebak-tebakan, menceritakan isi bacaan,
bertanya jawab, membicarakan kaidah sebuah puisi, melanjutkan cerita guru,
berdialog, dan sebagainya. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan bahwa
pembelaran berbicara harus dikaitkan dengan pembelajaran keterampilan lainnya.
Kesempatan yang baik untuk
mengembangkan keterampilan berbicara ialah pada tahap publikasi dalam proses
menulis. Banyak anak yang senang mengubah karangannya dalam bentuk drama pendek
yang diperankan dikelas. Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan bepikir
anak-anak ialah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka kepada mereka.
Segera setelah anak-anak mulai dapat
berpikir tentang proses mereka sendiri dalam berpikir, mereka siap untuk
menggunakan strategi berpikir yang khas, misalnya membedakan fakta dan
pendapat, mengenal hubungan sebab akibat, dan melakukan kegiatan berpikir yang
lebih sulit yaitu menilai hasil, mengevaluasi argumen, dan menyelidiki hal-hal
yang melandasi tanggapan emosional (Yeager, 1991:102). Keterampilan berbicara
lebih mudah dikembangkan apabila murid-murid memperoleh kesempatan untuk
mengkomunikasikan sesuatu secara alami kepada orang lain dalam
kesempatan-kesempatan yang bersifat informal.
• Berpartisipasi dalam Diskusi.
Diskusi kelompok merupakan teknik yang paling sering digunakan sebagai teknik
pengembangan bahasa lisan yang menuntut kemampuan murid untuk membuat
generalisasi dan mengajukan pendapat-pendapat mengenai suatu topik atau permasalahan.
• Strategi pembelajaran berbahasa lisan dan penerapannya melaui kegiatan bercerita dan dramatisasi kreatif. Berbicara merupakan keterampilan berbahasa lisan yang amat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berbicara kita dapat memperoleh dan menyampaikan informasi. Oleh sebab itu, setiap orang, lebih-lebih siswa, dituntut keterampilannya untuk mampu berbicara dengan baik.
• Strategi pembelajaran berbahasa lisan dan penerapannya melaui kegiatan bercerita dan dramatisasi kreatif. Berbicara merupakan keterampilan berbahasa lisan yang amat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berbicara kita dapat memperoleh dan menyampaikan informasi. Oleh sebab itu, setiap orang, lebih-lebih siswa, dituntut keterampilannya untuk mampu berbicara dengan baik.
Guru yang berpengalaman dan kreatif
rasanya tidak akan mengalami kesulitan dalam memilih strategi yang tepat untuk
melaksanakan tugas itu. Agar strategi yang dipilih dan diterapkan dapat
mencapai sasarannya perlu diperhatikan beberapa prinsip yang melandasi
pembelajaran berbahasa lisan seperti berikut :
a. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mempunyai tujuan yang jelas yang diketahui oleh guru dan siswa.
b. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan disusun dari yang sederhana ke yang lebih kompleks, sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.
c. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mampu menumbuhkan partisipasi aktif terbuka pada diri siswa.
d. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus benar-benar mengajar bukan menguji. Artinya, skor yang diperoleh siswa harus dipandang sebagai balikan bagi guru.
a. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mempunyai tujuan yang jelas yang diketahui oleh guru dan siswa.
b. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan disusun dari yang sederhana ke yang lebih kompleks, sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.
c. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mampu menumbuhkan partisipasi aktif terbuka pada diri siswa.
d. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus benar-benar mengajar bukan menguji. Artinya, skor yang diperoleh siswa harus dipandang sebagai balikan bagi guru.
Agar pembelajaran berbahasa lisan
memperoleh hasil yang baik, strategi pembelajaran yang digunakan guru harus
memenuhi criteria berikut :
a. Relevan dengan tujuan pembelajaran.
b. Menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
c. Mengembangkan kreativitas siswa secara individual ataupun kelompok.
d. Memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
e. Mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
f. Mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakannya peralatan yang rumit.
g. Menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.
a. Relevan dengan tujuan pembelajaran.
b. Menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
c. Mengembangkan kreativitas siswa secara individual ataupun kelompok.
d. Memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
e. Mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
f. Mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakannya peralatan yang rumit.
g. Menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.
11. Kendala dalam upaya
meningkatkan keterampilan berbahasa lisan
Salah satu faktor yang menimbulkan
kesulitan dalam berbicara adalah yang datang dari teman bicara. Apabila teman
bicara tidak dapat menangkap makna pembicaraan maka tujuan komunikasi tidak
tercapai. Disamping itu, usaha untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa
Indonesia di sekolah akan ditemui hambatan yang datang dari lingkungan sekolah
itu sendiri, antara lain :
a. Adanya pandangan guru bahwa
berbicara bahasa Indonesia dalam keseharian di sekolah itu tidak lazim. Hal ini
tercermin ketika dalam pergaulan sehari-hari mereka enggan berbicara bahasa
Indonesia bahkan dengan lugasnya berbicara seenaknya.
b. Belum adanya penilaian bagi siswa yang berbicara bahasa Indonesia. Keadaan yang demikian menimbulkan sikap apatis pada diri siswa karena merasa tidak ada gunanya baik yang berbicara bahasa Indonesia maupun yang tidak.
c. Tidak adanya program berbahasa Indonesia dari lembaga pendidikan. Untuk sementara ini pada setiap lembaga pendidikan belum ada yang mempunyai inisiatif memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Entah karena gengsi atau merasa bahasa Indonesia tidak terkenal.
b. Belum adanya penilaian bagi siswa yang berbicara bahasa Indonesia. Keadaan yang demikian menimbulkan sikap apatis pada diri siswa karena merasa tidak ada gunanya baik yang berbicara bahasa Indonesia maupun yang tidak.
c. Tidak adanya program berbahasa Indonesia dari lembaga pendidikan. Untuk sementara ini pada setiap lembaga pendidikan belum ada yang mempunyai inisiatif memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Entah karena gengsi atau merasa bahasa Indonesia tidak terkenal.
12. Peran Guru Dalam Meningkatkan
Kemampuan Berbahasa Lisan
Biasanya guru lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk berbicara dan kurang memberikan kesempatan kepada murid untuk
mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Baik dalam kegiatan yang bersifat
klasikal maupun dalam kegiatan kelompok. Dalam pembelajaran bahasa secara
holistik, (berdasarkan pandangan, whole language) situasinya jauh berbeda,
setiap anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan mengajar (menjelaskan,
mengemukakan pendapat, bertanya, menjawab pertanyaan, dan sebagainya). Baik
guru maupun murid bertanggung jawab untuk mengemukakan pandangan dan
pendapatnya. Dengan demikian setiap anak mengerti bahwa menyimak merupakan
bagian yang penting sekali untuk mengembangkan Keterampilan Berbahasa Lisan.
Pemberian kesempatan kepada murid
untuk saling menyampaikan pendapatnya secara lisan dalam bentuk diskusi sangat
besar artinya, kesempatan ini juga dapat merupakan latihan untuk murid
mengemukakan kritik yang konstruktif. Agar pembelajaran berbahasa lisan
memperoleh hasil yang baik, srategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus
memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. relevan dengan tujuan
pembelajaran.
b. menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
c. mengembangkan kreativitas siswa secara individual atau kelompok.
d. memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
e. mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan pembelajaran yang telah di tetapkan.
f. mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakan peralatan yang rumit.
b. menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
c. mengembangkan kreativitas siswa secara individual atau kelompok.
d. memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
e. mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan pembelajaran yang telah di tetapkan.
f. mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakan peralatan yang rumit.
RPS 6
Cakupan Materi Ajar Bahasa Indonesia
SD
Bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan
penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran
bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan
maupun tulis, baik reseptif maupun produktif, yang diharapkan dapat menunjang
keberhasilan siswa dalam mempelajari bidang studi lain (Azmy, Bahauddin.
2012:2).
Cakupan atau ruang lingkup materi
perlu ditentukan untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh
murid terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai
dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Cakupan materi ajar Bahasa
Indonesia SD terdiri dari aspek kebahasaan, keterampilan, dan kesusastran.
Aspek kebahasaan meliputi sistem bunyi (fonem), kata (morfem), kalimat
(sintkas) sampai makna (semantik). Aspek keterampilan meliputi
keterampilan reseptif (menyimak dan membaca) dan keterampilan produktif
(berbicara dan menulis). Sedangkan aspek kesusastraan meliputi puisi,
rosa, dan drama.
Bahan ajar atau materi ajar
merupakan seperangkat materi pembelajaran
(teaching materials) yang disusun secara sistematis,
menampilkan sosok utuh dari
kompetensi
yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran (website
Dikmenjur Depdiknas). Ketersediaan
bahan ajar merupakan tanggung jawab pendidik yang berfungsi sebagai pedoman
bagi pendidik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan
kepada siswa; pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam
proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya
dipelajari/dikuasainya; dan alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil
pembelajaran (Direktorat Pembinaan SMA, 2008: 6)
2.1.1
Kebahasaan
Aspek kebahasaan bahasa Indonesia
meliputi, aspek bunyi, bentukan kata, kalimat, dan makna. Aspek kebahasaan
tidak secara eksplisit dituangkan di dalam KTSP, namun dalam pembelajaran
bahasa Indonesia aspek kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari komponen
keterampilan berbahasa dan bersastra. Aspek kebahasaan merupakan unsur
pembentuk bahasa yang dipakai dalam kegiatan berbahasa. Pembelajaran aspek
kebahasaan bukan hal yang dapat begitu saja ditinggalkan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia, namun juga bukan berarti dominasi pembelajaran bahasa
dilakukan pada aspek kebahasaan (Azmy, Bahauddin. 2012:7).
Materi pembelajaran kebahasaan,
meliputi bunyi atau huruf, lafal, intonasi, kata, kalimat, dan makna. Materi
pembelajaran kebahasaan di kelas awal SD meliputi pengenalan bunyi
atau huruf, lafal, intonasi, kata, dan kalimat sederhana. Materi pembelajaran
kebahasaan di kelas tinggi SD, meliputi merangkai kata menjadi kalimat dengan
bahasa yang baik dan benar (ejaan yang tepat dan pilihan kata yang tepat dan
santun).
a.
Bunyi (Fonem)
Fonem adalah unsur bahasa yang
terkecil dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1961: 9).
b.
Lafal
Lafal adalah suatu cara seseorang
atau sekelompok orang dalam mengucapkan bunyi bahasa. Bunyi bahasa Indonesia
meliputi vokal, konsonan, diftone, gabungan konsonan.
c.
Intonasi
Intonasi adalah naik turunnya lagu
kalimat. Intonasi berfungsi sebagai pembentuk makna kalimat
d.
Kata (Morfem)
Morfem adalah bentuk terkecil yang
dapat membedaka makna dan atau mempunyai makna. Wujud morfem dapat berupa
imbuhan, klitika, partikel dan kata dasar (misalnya –an, -lah, -kah, bawa).
Sebagai kesatuan pembeda makna, semua contoh wujud morfem tersebut merupakan
bentuk terkecil dalam arti tidak dapat lagi dibagi menjadi kesatuan bentuk yang
lebih kecil. (Lamuddin, 2012:4)
Menurut bentuk dan maknanya, morfem
dikelompokkan menjadi 2 yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas,
yaitu morfem yang berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan
dengan morfem yang lain. Semua kata dasar tergolong morfem bebas. Morfem
terikat, yaitu morfem tidak dapat berdiri sendiri dari segi makna. (Lamuddin,
2012:5)
Makna morfem terikat baru jelas
setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem lainnya. Semua imbuhan (awalan,
sisipan, akhiran, serta kombinasi awalan dan akhiran) tergolong sebagai morfem
terikat. Selain itu unsur-unsur kecil seperti klitika, partikel, dan bentuk
lain yang tidak dapat berdiri sendiri, juga tergolong sebagai morfem terikat.
e.
Kalimat (Sintkas)
Kalimat adalah satuan bahasa
terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang
utuh . kalimat ada yang berupa fakta ada pula yang berupa opini. (Widjono,
2010:11)
Kalimat fakta adalah kalimat yang
berisi peristiwa atau berita yang pasti. Mempunyai data yang valid dan dapat
dibuktikan. Sedangkan kalimat opini adalah kalimat pernyataan yang berupa
perkiraan atau pendapat terhadap suatu hal baik yang tidak pasti atau belum
terjadi, tidak membutuhkan data yang valid dan bersifat subjektif.
2.1.2
Keterampilan Berbahasa
Komunikasi
menurut Tohir, Muhammad (2011) adalah hubungan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya. Dalam melakukan interaksi komunikasi, manusia tidak bisa
terlepas dari komunikasi lisan dan tulisan. Dilihat dari segi aktivitas,
ketrampilan komunikasi terbagi menjadi dua yaitu ketrampilan reseptif dan
ketrampilan produktif. Ketrampilan reseptif yang terdiri dari membaca dan
mendengarkan tidak bisa dipisahkan dengan berbicara dan menulis yang merupakan ketrampilan
produktif. Produktif adalah sikap aktif dari manusia dalam menghasilkan sesuatu
yang telah diperolehnya.
1. a. Aspek
Keterampilan Berbahasa Reseptif
Aspek keterampilan berbahasa
reseptif meliputi mendengarkan/menyimak dan membaca.
1. Mendengarkan/Menyimak
Menyimak merupakan kegiatan
berbahasa yang dilakukan dalam bentuk reseptif lisan. Menyimak dapat diartikan
sebagai aktivitas penggunaan alat pendengaran secara sengaja yang bertujuan
untuk memperoleh pesan atau makna dari apa yang disimak. Dalam KTSP SD
dirumuskan standar kompetensi lulusan
untuk keterampilan menyimak adalah
memahami wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk, pesan,
pengumuman, berita, deskripsi berbagai
peristiwa dan benda di sekitar,
serta karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun dan cerita
rakyat (Azmy, Bahauddin. 2012:9).
Mendengarkan/menyimak dapat terjadi
dalam 2 situasi yang berbeda, yaitu secara interaktif dan non-interaktif.
Mendengarkan/menyimak secara interaktif terjadi dalam percakapan tatap muka
melalui telepon/sejenisnya dimana komunikasi terjadi secara bergantian antara
penutur yang satu dengan penutur yang lainnya (2 orang/lebih) yang melakukan
aktivitas mendengarkan dan berbicara sehingga memiliki kesempatan bertanya guna
mendapatkan penjelasan, meminta lawan bicara mengulang apa yang telah
diucapkan/meminta penutur untuk melambatkan tempo bicaranya.
Mendengarkan/menyimak secara
non-interaktif berlangsung tanpa ada penutur yang berhadapan langsung dengan
penuturnya. Situasi ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat meminta penjelasan
dari pembicara, tidak dapat meminta pembicara mengulangi apa yang diucapkannya,
dan tidak dapat meminta pembicaraan diperlambat.
2. Membaca
Membaca adalah keterampilan reseptif
bahasa tulis yang bertujuan untuk memahami isi bacaan dan maksud penulisnya
(Mulyati, 2008). Membaca merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan
dalam bentuk reseptif tulis. Keterampilan membaca merupakan modal dasar yang
sangat krusial untuk menunjang keberhasilan belajar siswa. Kurang terampilnya
siswa dalam membaca dapat menyebabkan terhambatnya siswa untuk mempelajari
bidang studi lain. Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk
keterampilan membaca adalah menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami
wacana berupa petunjuk, teks panjang, dan berbagai karya sastra untuk anak
berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
Membaca dikelmpokkan menjadi 2
bagian yaitu membaca permulaan dan membaca lanjut. Membaca permulaan adalah
tahap awal dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal symbol-simbol
atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf, sehingga menjadi pondasi
agar dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut (Dalwadi, 2002). Sedangkan
membaca lanjut adalah anak tidak sekedar mengenal symbol atau tanda-tanda tapi
sudah mulai mempergunakannya untuuk membaca kata atau kalimat sehingga anak
memahami apa yang dibacanya (Amin, 1995).
Pada tahap membaca permulaan anak
lebih diarahkan kepada membaca huruf atau kata (Shodiq, 1996). Tahap membaca
permulaan dilakukan pada masa peka yaitu usia enam atau tujuh tahun bagi anak
normal dan sembilan tahun bagi anak tunagrahita. Tahap membaca permulaan
merupakan saat kritis dan strategis dikembangkannya kemampuan membaca tanpa
teks yaitu membaca dengan cara menceritakan gambar situasional yang tersedia.
1. b. Aspek
Keterampilan Berbahasa Produktif
1. Berbicara
Berbicara merupakan keterampilan
berbahasa lisan yang bersifat produktif. Jenis situasi dalam berbicara
meliputi: 1) sistuasi interaktif, missalnya percakapan secara tatap muka dan
berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya aktivitas pergantian antara
berbica ra dan mendengarkan; 2) situasi semi-interaktif, misalnya sitiuasi
berpidato dihadapan umum secara langsung. Audiens memang tidak dapat melakuka
interupsi terhadap pembicara, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar
dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka; dan 3) situasi non-interaktif,
misalnya berpidato lewat radio/TV. Audiens sama sekali tidak bisa melakukan komunikasi
secara langsung dengan narasumber karena berada dalam dua dimensi media yang
berbeda.
2. Menulis
Menulis merupakan salah satu aspek
kemamouan berbahasa yang bersifat produktif. Kemampuan ini biasanya hadir
setelah seseorang diidentifikasi mampu menguasai tiga kemampuan berbahasa
lainnya. Kemampuan membaca seseorang biasanya sangat berpengaruh terhadap
tingkat kemampuan menulis seseorang.
Menulis merupakan kegiatan berbahasa
yang dilakukan dalam bentuk kegiatan produktif tulis. Menulis dapat diartikan sebagai
kegiatan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk tulis.
Keterampilan menulis juga memegang peranan penting bagi keberhasilan belajar
siswa. Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk keterampilan
menulis adalah melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana, petunjuk,
surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan,
parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan
pantun.
2.1.3
Kesusastraan
Pengertian
sastra menurut Sumarno dan Saini (dalam situsnya http://sugikmaut.blog.com/) adalah ungkapan pribadi
manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan,
dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat
bahasa. Pembelajaran sastra di SD ditekankan pada apresiasi sastra Indonesia,
khususnya pada apresiasi sastra anak. Yang dimaksud dengan sastra anak adalah
karya sastra untuk konsumsi anak, yang dapat ditulis oleh orang dewasa maupun
oleh anak. Seperti halnya karya sastra secara umum, sastra anak juga meliputi
puisi anak, cerita anak, dan drama anak.
a.
Puisi
Salah satu materi karya sastra anak
adalah puisi. Karakteristik puisi adalah
adanya baris, bait, dan penggunaan
bahasa yang indah. Dalam pembelajarannya, puisi dapat dipakai sebagai media
apresiasi reseptif maupun produktif. Unsur-unsur yang ada dalam puisi itu
berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera,
susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
b.
Prosa
Kata
prosa berasal dari bahasa
latin “prosa” yang artinya “terus
terang”. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu
fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah,
novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa
lama dan prosa baru. Prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum
terpengaruhi budaya barat. Sedangkan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas
tanpa aturan apa pun. Jenis prosa lama meliputi: hikayat, kisah, dongeng, dan
cerita berbingkai. Sedangkan jenis prosa baru meliputi: roman, novel, cerpen,
riwayat, kritik, resensi, esai (http://id.wikipedia.org/wiki/Prosa).
c.
Drama
Drama
adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa Yunani). Sedangkan dramatik adalah
jenis karangan yang dipertunjkkan dalam suatu tingkah laku, mimik, dan
perbuatan. Orang yang memainkan drama disebut actor atau lakon (http://dhono-wareh.blogspot.com/2012/04/pengertian-drama-adalah.html). Drama sebagai karya sastra
sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah ditulis sebagai dasar untuk
dipentaskan. Dengan demikian tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang
membaca novel atau puisi. Pokok drama ialah cerita yang membawakan tema
tertentu, diungkapkan oleh dialog dan perbuatan para pelakunya. Dialog dalam
drama dapat berbentuk bahasa prosa maupun puisi.
2.2 Pembelajaran Bahasa
Indonesia secara Terpadu
Pembelajaran terpadu sebagai suatu
konsep dapat diartikan sebagai pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa
mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Dikatakan
bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, siswa akan memahami konsep-konsep
yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan
konsep lain yang sudah mereka pahami (Resmini, Novi. 2008:3).
Penerapan
pendekatan pembelajaran terpadu di sekolah dasar bisa disebut sebagai suatu
upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan, terutama dalam rangka mengimbangi
gejala penjejalan isi kurikulum yang sering terjadi dalam proses pembelajaran
yang dilaksanakan di sekolah-sekolah kita. Penjejalan isi kurikulum tersebut
dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan anak, karena terlalu banyak menuntut
anak untuk mengerjakan aktivitas atau tugas-tugas yang melebihi kapasitas dan
kebutuhan mereka. Dengan demikian, anak kehilangan sesuatu yang seharusnya bisa
mereka kerjakan. Jika dalam proses pembelajaran, anak hanya merespon segalanya
dari guru, maka mereka akan kehilangan pengalaman pembelajaran yang alamiah dan
langsung (direct experiences).
Fokus perhatian pembelajaran terpadu
terletak pada proses yang ditempuh siswa saat berusaha memahami isi
pembelajaran sejalan dengan bentuk-bentuk keterampilan yang harus
dikembangkannya (Aminuddin, 1994). Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian
pembelajaran terpadu dapat dilihat sebagai:
1. Pembelajaran yang beranjak dari
suatu tema tertentu sebagai pusat perhatian (center of interest) yang
digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang berasal dari
mata pelajaran yang bersangkutan maupun dari mata pelajaran lainnya
2. Suatu pendekatan pembelajaran yang
menghubungkan berbagai mata pelajaran yang mencerminkan dunia nyata di
sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak
3. Suatu cara untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan anak secara serempak (simultan)
4. Merakit atau menggabungkan sejumlah
konsep dalam beberapa mata pelajaran yang berbeda, dengan harapan siswa akan
belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Terdapat beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa secara terpadu di sekolah
dasar, terutama pada saat penggalian tema-tema. Dalam proses penggalian
tema-tema perlu diperhatikan prinsip-prinsip yang meliputi: 1) tema hendaknya
tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan mata
pelajaran; 2) tema harus bermakna, maksudnya tema yang dipilih untuk dikaji
harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya; 3) tema harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa; 4) tema yang dikembangkan harus
mampu menunjukkan sebagian besar minat siswa; 5) tema yang dipilih hendaknya
mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang
waktu belajar; 6) tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang
berlaku serta harapan masyarakat; dan 7) tema yang dipilih hendaknya juga
mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar.
2.3 Temuan Materi Ajar Bahasa Indonesia SD dikaitkan dengan GBPP/Silabus
Di dalam kurikulum mata pelajaran
Bahsa Indonesia SD kelas IV semester 2 terdapat 4 Standar Kompetensi dengan
10Kompetensi Dasar. Cakupan materi ajar yang ada di dalam buku paket Bahasa
Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas IV yang ditulis oleh Umri Nur Aini sudah
sesuai dengan materi yang ada di silabus (kurikulum) tersebut. Adapun materi
yang terdapat di dalam buku tersebut meliputi kebahasaan (bunyi, lafal,
intonasi, kata, kalimat, dan makna); keterampilan berbahasa (pemahaman dan
penggunaan); dan kesusastraan (pantun).
2.4
Keterkaitan Materi Ajar Bahasa Indonesia dengan Materi Ajar Bidang Studi yang
Lain
Materi ajar yang ada di dalam buku
paket Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas IV yang ditulis oleh Umri Nur
Aini memiliki keterkaitan dengan materi ajar bidang studi yang lain. Adapun
contohnya adalah sebagai berikut.
1. Tema 4: pekerjaan berkaitan dengan
mata pelajaran IPS dan Pendidikan Agama Islam.
·
Teks
bacaan tentang lowongan pekerjaan berkaitan dengan mata pelajaran IPS. Karena
di dalam teks tersebut berisi tentang pokok bahasan ilmu ekonomi, sosiologi,
geografi, dan sejarah yang semuanya ada di mata pelajaran IPS SD.
·
Teks
bacaan pantun nasehat berkaitan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Karena pantun tersebut berisi perintah untuk menunaikan sholat.
1. Tema 8: budi pekerti berkaitan
dengan mata pelajaran PKn dan IPS
·
Teks
bacaan pantun nasehat berkaitan dengan mata pelajaran PKn. Karena pantun
tersebut berisi perintah untuk saling tolong menolong antar sesama. Dalam tema
8 juga terdapat teks bacaan tentang kejujuran, dimana kejujuran merupakan pokok
bahasan mata pelajaran PKn SD.
·
Teks
bacaan yang berisi pengumuman pengadaan bakti sosial berkaitan dengan mata
pelajaran IPS dan PKn. Karena kegiatan tersebut bentuk dari sosialisasi yang
merupakan pokok bahasan ilmu sosiologi yang termasuk dalam mata pelajaran IPS
SD. Bakti sosial juga merupakan bentuk tenggang rasa, yang
merupakan pokok bahasan PKn.
1. Tema 9: informasi berkaitan dengan
mata pelajaran Penjasorkes dan PKn,
·
Teks
bacaan pantun nasehat berkaitan dengan mata pelajaran penjasorkes. Karena
pantun tersebut berisi perintah untuk berolahraga.
·
Teks
bacaan yang berjudul “Sesudah suatu Kegagalan” berkaitan dengan mata pelajaran
PKn. Karena teks bacaan tersebut memberikan amanat kepada pembaca agar tidak
mudah putus asa.
1. Tema 10: lingkungan berkaitan dengan
mata pelajaran PKn.
·
Teks
pengumuman mengenai menghadiri rapat berkaitan dengan mata pelajaran PKn.
Karena rapat adalah salah satu bentuk dari musyawarah.
1. Tema 11: komunikasi berkaitan dengan
mata pelajaran IPS.
·
Teks
pengumuman mengenai lomba baca puisi tema kemerdekaan berkaitan dengan mata
pelajaran IPS. Karena kemerdekaan adalah salah satu pokok bahasan dalam mata
pelajaran IPS.
RPS 7 Hakek Menyimak
Sebelum mendeskripsikan teknik pengajaran menyimak di Sekolah Dasar,
dipandang perlu untuk memaparkan terlebih dahulu tentang hakikat menyimak.
1. Pengertian Menyimak
Menyimak adalah proses mendengarkan
dengan penuh pemahaman, apresiasi dan evaluasi. Dalam proses menyimak, diawali
dengan kegiatan mendengarkan bahan simakan oleh siswa (penyimak), selanjutnya
bahan simakan dipahami berdasarkan tingkat pemahaman siswa yang dimaksud,
kemudian dalam proses pemahaman tersebut terjadi proses evaluasi –
menghubungkan antara topik yang disimak dengan pengalaman dan/atau pengetahuan
yang dimiliki siswa. Setelah proses tersebut selesai, barulah siswa memberikan
respon terhadap isi bahan yang disimaknya. Jadi dapat dikatakan bahwa menyimak
merupakan kegiatan yang disengaja melalui proses mendengar untuk memahami
bunyi-bunyi bahasa, sedangkan mendengar adalah kegiatan yang dilakukan hanya
sekedar tahu tetapi tidak memahami bunyi-bunyi bahasa yang disimak.
2. Tujuan Menyimak
Secara umum tujuan menyimak ada dua
macam, yaitu tujuan bersifat khusus dan tujuan bersifat umum. Adapun tujuan
yang bersifat khusus adalah untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta
memahami makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh si pembicara melalui
ujaran. Namun tujuan yang bersifat umum tersebut dapat dipecah-pecah menjadi
beberapa bagian sesuai dengan aspek tertentu yang ditekankan. Adapun tujuan
menyimak menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a. Mendapatkan fakta
Mendapatkan
fakta dapat dilakukan melalui penelitian, riset, eksperimen, dan membaca. Cara
lain yang dapat dilakukan adalah menyimak melalui radio, tape recorder,
TV, dan percakapan.
b. Menganalisis fakta
Fakta atau
informasi yang telah terkumpul dianalisis. Kaitannya harus jelas pada
unsur-unsur yang ada, sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Apa yang
disampaikan penyimak harus dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman penyimak
dalam bidang yang sesuai.
c. Mendapatkan inspirasi
Dapat
dilakukan dalam pertemuan ilmiah atau jamuan makan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan ilham. Penyimak tidak memerlukan fakta baru. Mereka yang datang
diharapkan untuk dapat memberikan masukan atau jalan keluar berkaitan dengan
masalah yang dihadapi.
d. Menghibur diri
Para
penyimak yang datang untuk menghadiri pertunjukkan sandiwara, musik untuk
menghibur diri. Mereka itu umumnya adalah orang yang sudah jenuh atau lelah
sehingga perlu menyegarkan fisik, mental agar kondisinya pulih kembali.
3. Jenis-jenis Menyimak
Jenis menyimak dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Menyimak Ekstensif
Menyimak
ekstensif merupakan kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang umum
dan bebas terhadap suatu bahasa. Dalam prosesnya di sekolah tidak perlu
langsung di bawah bimbingan guru. Pelaksanaannya tidak terlalu dituntut untuk
memahami isi bahan simakan. Bahan simakan perlu dipahami secara sepintas, umum,
garis besarnya saja atau butir-butir yang penting saja. Jenis menyimak
ekstensif dapat dibagi empat, yaitu sebagai berikut.
1) Menyimak
sekunder
Menyimak
sekunder adalah sejenis mendengar secara kebetulan, maksudnya menyimak
dilakukan sambil mengerjakan sesuatu.
2) Menyimak
estetik
Dalam
menyimak estetik penyimak duduk terpaku menikmati suatu pertunjukkan misalnya,
lakon drama, cerita, puisi, baik secara langsung maupun melalui radio. Secara
imajinatif penyimak ikut mengalami, merasakan karakter dari setiap pelaku.
3) Menyimak
pasif
Menyimak
pasif merupakan penyerapan suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasanya
menandai upaya penyimak pada saat belajar dengan teliti. Misalnya,
seseorang mendengarkan bahasa daerah, setelah itu dalam kurun waktu dua atau
tiga tahun berikutnya orang itu sudah dapat berbahasa daerah tersebut.
4) Menyimak
sosial
Menyimak ini
berlangsung dalam situasi sosial, misalnya orang mengobrol, bercengkrama
mengenai hal-hal menarik perhatian semua orang dan saling menyimak satu dengan
yang lainnya, untuk merespon yang pantas, mengikuti bagian-bagian yang menarik
dan memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa yang dikemukakan atau
dikatakan orang.
b. Menyimak
Intensif
Menyimak intensif adalah kegiatan
menyimak yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh konsentrasi untuk
menangkap makna yang dikehendaki. Menyimak intensif ini memiliki ciri-ciri yang
harus diperhatikan, yakni: (a) menyimak intensif adalah menyimak pemahaman, (b)
menyimak intensif memerlukan konsentrasi tinggi, (c) menyimak intensif ialah
memahami bahasa formal, (d) menyimak intensif diakhiri dengan reproduksi bahan
simakan. Adapun yang tergolong menyimak intensif ada lima, yaitu sebagai
berikut.
1) Menyimak
kritis
Menyimak dengan cara ini bertujuan
untuk memperoleh fakta yang diperlukan. Penyimak menilai gagasan, ide, dan
informasi dari pembicara.
2) Menyimak
konsentratif
Menyimak konsentratif merupakan
kegiatan untuk menelaah pembicaraan/hal yang disimaknya. Hal ini diperlukan
konsentrasi penuh dari penyimak agar ide dari pembicara dapat diterima dengan
baik.
3) Menyimak
kreatif
Menyimak kreatif mempunyai hubungan
erat dengan imajinasi seseorang. Penyimak dapat menangkap makna yang terkandung
dalam puisi dengan baik karena ia berimajinasi dan berapresiasi terhadap puisi
itu.
4) Menyimak
interogatif
Menyimak interogatif merupakan
kegiatan menyimak yang menuntut konsentrasi dan selektivitas, pemusatan
perhatian karena penyimak akan mengajukan pertanyaan setelah selesai menyimak.
5) Menyimak
eksploratori
Menyimak eksploratori atau menyimak
penyelidikan adalah sejenis menyimak dengan tujuan menemukan;
a) hal-hal
baru yang menarik,
b) informasi
tambahan mengenai suatu topik,
c) isu,
pergunjingan atau buah bibir yang menarik.
Metode Pembelajaran Menyimak
Pada dasanya terdapat banyak Metode
Pembelajaran Menyimak di Sekolah Dasar kelas rendah di antaranya
1. Metode
berkisah
Diberikan oleh guru di depan kelas
dengan membawakan sebuah kisah. Dongeng dan fabel dapat dijadikan bahan ajar
dalam pembelajaran dengan metode berkisah. Metode berkisah tidak semata-mata
disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dialog dan humor
dengan suara berubah-ubah.
2. Metode
pembacaan
Pembacaan yang menarik dicontohkan
oleh guru di depan kelas dapat mengundang perhatian siswa untuk ikut terlibat
dan berempati dalam suasana karya sastra yang dibacanya. Siswa kelas 1-3
sekolah dasar dapat dengan cepat menangkap irama puisi atau cerita pendek yang
dibacakan oleh gurunya tanpa menghiraukan maknanya.
3. Metode
tanya-jawab
Pertanyaan diberikan guru kepada
siswa, setelah siswa itu mendengarkan cerita gutu atau menonton pertunjukan
pentas karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk ukuran kelas
rendah biasanya lebih sederhana seperti siapa tokoh dalah cerita tersebut ?
dimana kisah tersebut terjadi ? dsb.
4. Metode
penugasan
Guru dapat memberi tugas membaca,
mendengar, ataupun menonton pertunjukan karya sastra baik di dalam kelas
ataupun sebagai pekerjaan rumah.
Teknik Pembelajaran Menyimak
Teknik atau cara pengajaran menyimak
di Sekolah Dasar dapat dilakukan secara variatif untuk menghindari kesan
yang monoton terhadap strategi mengajar guru di Sekolah Dasar.
Selain itu, melalui penggunaan teknik menyimak yang beragam menjadikan
pembelajaran lebih menarik bagi siswa. Adapun beberapa teknik menyimak yang
dapat digunakan guru dalam proses belajar mengajar di Sekolah Dasar, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Teknik
Ulang-Ucap (Menirukan)
Teknik ini biasa digunakan guru pada
siswa yang belajar bahasa permulaan, baik belajar bahasa ibu maupun bahasa
asing. Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa dengan dengan
pengucapan atau lafal yang tepat dan jelas oleh guru.
Dengan teknik ini, pertama-tama guru
mengucapkan kata-kata yang sederhana, seperti “mata”, misalnya, kemudian guru
memperjelas kata tersebut dengan cara mendemonstrasikannya; guru menggunakan
jari tangannya untuk menunjuk salah satu bagian wajahnya, yaitu mata. Langkah
kedua, guru mengucapkan kata “mata” dengan jelas dan keras, siswa diminta
menyimaknya dengan baik, kemudian menirukan apa yang diucapkan guru. Langkah
ketiga, guru memberikan latihan ekstensif dengan mengulang kata-kata yang sudah
dikenalkan, kemudian menambah kosa kata serta mengenalkan struktur kalimat
kepada siswa sampai siswa dapat mengucapkan kata-kata dengan tepat, dan
akhirnya menggunakan kata itu dalam struktur yang sederhana
2. Teknik
Informasi Beranting
Guru memberi informasi kepada salah
seorang siswa kemudian informasi tersebut disampaikan kepada siswa di dekatnya;
begitu seterusnya, informasi disampaikan secara beranting. Siswa yang menerima
informasi terakhir, mengucapkan keras-keras informasi tersebut di hadapan
teman-temannya. Dengan demikian, kita tahu apakah informasi itu tetap sama
dengan sumber pertama atau tidak. Jika tetap sama, berarti daya simak siswa
sudah cukup baik, akan tetapi, bila informasi pertama berubah setelah
beranting, ini berarti daya simak siswa masih kurang
ContohInformasi: Andi membeli mie
bersama Rani tadi pagi.
3. Teknik
Satu Mulut Satu Kelas
Guru membacakan sebuah wacana yang
dapat berupa artikel atau cerita di hadapan siswa, dan siswa diminta menyimak
baik-baik. Sebelum siswa menyimak, guru memberi penjelasan tentang apa-apa yang
pernah disimak. Setelah guru selesai membacakan, guru dapat meminta siswa,
misalnya:
a. menceritakan
kembali isi materi yang disimaknya;
b. menyebutkan
urutan ide pokok dari apa yang disimak;
c. menyebutkan
tokoh atau pelaku cerita dari apa yang disimaknya;
d. menemukan
makna yang tersurat dari apa yang disimaknya;
e. menemukan
makna yang tersirat dari apa yang disimaknya;
f. menemukan
ciri-ciri atau gaya bahasa yang digunakan dalam wacana yang dibacakan;
g. menilai
isi dari apa yang disimaknya
Pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan guru kepada siswa tentu saja harus disesuaikan dengan tujuan yang
telah dirumuskan.
Dalam penggunaan teknik ini, guru dituntut
untuk dapat membaca dengan baik sesuai dengan jenis wacana yang dibacanya. Oleh
karena itu, guru perlu menyiapkan benar-benar bahan bacaan dan cara membacanya,
jangan sampai siswa mengalami kesulitan memahami isi yang disimaknya hanya
karena pembacaan yang kurang siap.
4. Teknik
Satu Rekaman Satu Kelas
Guru terlebih dahulu menyiapkan
rekaman melalui kaset (tape recorder), CD, ataupun laptop yang berisi
ceramah, pembacaan puisi, pidato, cerita/dongeng, drama, dan sebagainya.
Kemudian guru memberi petunjuk-petunjuk sebelum kaset di putar tentang hal-hal
yang perlu disimak. Setelah itu guru memutar rekaman yang telah disiapkan
sebelumnya (dongeng, misalnya). Siswa diminta menyimak baik-baik. Rekaman dapat
diputar ulang bila siswa belum dapat mengikuti tentang apa yang diputar.
Kemudian siswa diberikan tugas menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk menguji
pemahamannya terhadap rekaman yang disimaknya, seperti:
a. apa
tema dari dongeng yang anak-anak simak?
b. siapa
yang menjadi tokoh dalam dongeng tersebut?
c. bagaimana
watak dari tokoh tersebut?
d. sebutkan
amanat yang terdapat dalam dongeng tersebut! dan lain-lain.
5. Teknik Group
Cloze
Dalam penggunaan teknik ini, guru
membacakan sebuah wacana sekali, siswa diminta menyimak baik-baik. Kemudian,
guru membacakan lagi wacana tersebut dengan cara membaca paragraf awal
penuh, sedangkan paragraf berikutnya ada beberapa kata atau kelompok kata yang
dihilangkan. Setelah itu, tugas siswa adalah memikirkan konteks wacana dan mengisi
tempat yang kosong dengan kata-kata atau peristilahan atau kelompok kata yang
asli dari wacana yang dibacakan sebelumnya.
6. Teknik
Parafrase
Dalam penggunaan teknik ini, guru
terlebih dahulu menyiapkan sebuah puisi untuk disimak oleh siswa. Setelah itu,
guru membacakan puisi yang telah disiapkan dengan jelas. Kemudian setelah siswa
selesai menyimak, siswa secara bergiliran disuruh menceritakan kembali isi
puisi yang telah disimaknya dengan kata-kata sendiri.
Dalam menerapkan teknik ini, guru
harus menyesuaikan dengan perkembangan kebahasaan siswa, agar dalam
pelaksanaannya dapat berjalan sesuai tujuan.
7. Teknik
Simak Libat Cakap
Sesuai dengan nama teknik ini,
penyimak terlibat dalam pembicaraan. Dalam pelaksanaan teknik ini guru dapat
menugaskan siswa mengadakan wawancara, misalnya dengan guru wali, guru pengajar
bahasa Bali, budayawan. Sebelum mengadakan wawancara, siswa diminta menyiapkan
apa yang perlu ditanyakan kepada orang yang diwawancarai. Tugas selanjutnya
siswa menyusun hasil wawancara yang kemudian diserahkan kepada guru untuk
teliti.
8. Teknik
Simak Bebas Libat Cakap
Teknik ini senada dengan teknik
simak libat cakap yang mementingkan keterlibatan penyimak dalam pembicaraan.
Penyimak di sini hanya berlaku sebagai pemerhati yang penuh minat, tekun
menyimak apa yang disampaikan oleh pembicara sehingga penyimak dapat memahami
isi pembicaraan, tujuan pembicaraan, menganalisis apa yang dibicarakan, serta
akhirnya menilai isi pembicaraan.
BERBICARA
Kegiatan berbicara adalah kegiatan
yang tidak dapat dilepaskan dalam keseharian kehidupan kita sebagai manusia.
Sehingga sejak dini melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa dilatih untuk
belajar bicara. Tujuan dari belajar berbicara adalah menyampaikan buah pikiran,
gagasan dan ide dengan bahasa yang dapat dipahami orang lain dengan tingkat
kebahasaan sesuai dengan karakter umur dan kelompok kelas siswa bersangkutan.
Dengan berbicara maka segala unek-unek, gagasan, ide dan pendapat akan
tersampaikan. Apabila isi dari pembicaraan seseorang mendapat tanggapan yang
baik dari si penyimak maka akan menciptakan efek kepercayaan diri yang lebih
dari si pembicara untuk selanjutnya berkreasi menyampaikan gagasan lainnya.
Melalui penyampaian gagasan akan berdampak pada daya imajinasi siswa dalam mengolah
pikirannya sehingga akan meningkatkan daya pikir dan logika. Tak ayal lagi
hanya melalui melatih siswa dalam berbicara mereka akan berkreasi tanpa batas
menghasilkan manusia-manusia unggul dan berhasil kelak dikemudian hari.
1. BAHAN PEMBELAJARAN BERBICARA
Sebagai pendukung upaya guru dalam
membelajarkan pembelajaran berbicara beberapa bahan pelajaran yang digunakan
disesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan. Kesesuaian itu
diperlukan karna antara media/bahan pembelajaran dengan metode saling terkait.
Bahan pembelajaran tersedia apbila tidak didukung oleh metode yang tepat maka
pembelajaran menjadi tidak bermakna. Demikian pula jika metode pembelajaran
dengan prosedur yang teratur dan baik tetapi tidak dilengkapi dengan media
ataau bahan ajar yang baik maka proses pembelajaran menjadi tidak baik pula.
Beberapa bahan atau media yang layak
dipertimbangkan dalam membelajarkan berbicara kepada siswa SD adalah :
§ Media bacaan sederhana baik fiksi
maupun non fiksi yang dibaca habis oleh siswa yang diramu dengan metode tanya
jawab diskusi dan bermain peran
§ Media audio visual yang disajikan
oleh guru yang diramu dengan metode diskusi, tanya jawab dan bermain peran.
Melalui tema yang disajikan pada media tersebut guru memancing siswa agar dapat
berbicara.
§ Cerita rekaan guru berdasarkan
kejadian yang bersifat fiktif ataupun fakta, yang diakhiri dengan kegiatan
diskusi yang memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk berpendapat dan
setiap pendapat adalah baik dan mendapat reward dari guru.
§ Bahan dibawa sendiri oleh siswa
melalui metode penugasan dimana siswa ditugaskan untuk menceritakan
pengalamannya sendiri berdasarkan suatu tema yang selanjutnya disajikan oleh
siswa dalam bentuk tulisan untuk mempermudah guru dalam mengevaluasi. Dengan
kegiatan ini akan didapatkan manfaat berganda selain siswa dibelajarkan tentang
berbicara selebihnya mereka akan mendapat pembelajaran menulis pula.
§ Kegiatan membahas puisi yang
disajikan oleh siswa untuk kemudian di paraprase. Kegiatan diskusi dapat
mengikutinya sehingga terjadi interaksi lebih baik antara siswa dan guru.
2. METODE
PEMBELAJARAN BERBICARA
Senada dengan pembahasan di atas
bahwa tanpa metode yang tepat maka bahan pembelajaran dalam kaitannya dengan
pembelajaran bahasa menjadi tidak berarti. Maka berikut akan diuraiakan
beberapa metode pembelajaran yang layak dipertimbangkan dalam kegiatan
berbicara pada pembelajaran Bahasa Indonesia SD.
a. Metode Ulang Ucap
Kegiatan ini dapat dimulai dari
kegiatan sederhan terutama untuk kelas awal SD yaitu dengan menugaskan siswa
mengulang kata yang diucapakan oleh guru.
b. Metode Lihat Ucap
Siswa ditugaskan untuk mengucapkan
sesuatu kata atau kalimat yang berhubungan dengan benda yang diperlihatkan oleh
guru
c. Metode Memberikan Deskripsi
Dengan metode ini siswa diberikan
tugas untuk untuk mendeskripsikan suatu benda yang diperlihatkan oleh guru.
Keterampilan yang dilatih selain kemampuan pokok yaitu mengungkapkan pendapat
adalah megamati benda, memilih dan mencocokkan sehingga sangat cocok diterapkan
pada siswa kelas awal sampai menengah di Sekolah Dasar.
d. Metode Menjawab Pertanyaan
Metode ini sudah sangat umum
sehingga dapat diterapkan pada kondisi dan jenis sembarang bahan ajar.
Pertanyaan dapat dikondisikan sedemian rupa oleh guru untuk merangsang
kreatifitas berfikir dan menyampaikan tanggapan terhadap suatu masalah yang
diajukan.
e. Metode Bertannya
Metode bertanya juga sangat layak
digunaka pada sembarang bahan ajar. Dengan menyajikan bahan ajar telebih dahulu
kemudian siswa ditugaskan untuk membuat pertanyaan tentang sesuatu yang tidak
dipahami oleh siswa atau bahkan dalam tataran menguji materi ajar itu sendiri.
Dengan bertanya mereka akan mendapat jawaban dan tanggapan tersebut. Tanggapan
dan jawaban tersebut yang diterima oleh siswa akan masuk dalam suatu kondisi
benar dan tidak. Apabila siswa memang dasarnya adalah murni bertanya maka
setelah mendengarkan jawaban/tanggapan dan menganalisanya akan menanggapi benar
atau salah. Dan apabila siswa bermaksud menguji sudah barang tentu mereka sudah
memiliki jawaban dan hal itu adalah proses berfikir yang selangkah lebbih maju.
Sehingga siswa ini tergolong memiliki kecerdasan lebih dan layak mendapatkan
penghargaaan yang lebih pula. Kondisi-kondisi unik lainnya dapat ditemui secara
langsung dilapangan dengan tingkat variasi dan kompleksitas yang lebih tinggi.
f. Metode Pertanyaan Menggali
Metode ini sangat baik digunakan
jika kondisi siswa yang stagnan dan dengan rata-rata tingkat pemahaman bahkan
IQ biasa-biasa saja. Karna untuk mengantarkan mereka kepada suatu pemahaman
yang menjadi tujuan pembelajaran diperlukan langkah-langkah yang menggiring
siswa sehingga sampai pada suatu keadaan paham kepada tema atau permasalahan
yang ingin kita sampaikan. Terkadang usaha ini agak sulit dan membuat kita
jengkel karna harus berputar-putar mencari pengandaian dan logika lain, akan
tetapi disinilah letak seni kita sebagai guru.Akhirnya siswa akan dapat
berbicara untuk menyampaikan gagasan, ide dan pendapat mereka.
g. Metode Melanjutkan
Pada kegiatan ini siswa secara
bergilir ditugaskan untuk membuat ide cerita dan siswa yang lainnya melanjutkan
cerita tersebut. Dalam keadaan tertentu dapat dikondisikan suatu bentuk
permainan dalam kegiatan ini.
h. Metode Menceritakan Kembali
Kegiatan ini sudah sangat umum
dilaksanakan terutama dalam pembelajaran yang menggunakan bahan ajar certai
baik fiksi maupun non fiksi. Dimana siswa ditugaskan untuk membaca atau
mendengar cerita untuk kemudian menceritakan kembali isi cerita tersebut secara
lisan di depan teman-teman mereka yang berperan sebagai audien. Dengan kegiatan
ini maka siswa akan tertantang untuk berlomba memahami cerita yang sudah pernah
mereka dengar atau basa.
i. Metode Percakapan atau Bermain
Peran
Kegiatan ini sangat baik
dilaksanakan untuk pemahaman tingkat lanjut tentang suatu cerita dimana dengan
memerankan siswa akan lebih memahami bukan hanya kepada alur cerita akan tetapi
akan lebiih kepada penjiwaan karakter masing masing tokoh. Dalam keadaan ini
pemahaman siswa terhadap cerita akan utuh karna dengan berbicara mengucapkan
naskah cerita atau drama mereka akan sangat menghayati setiap adegan dan
untaian kata percakapan yang diucapkan.
j. Metode Parafrase
Metode ini dapat dilaksanakan dalam
kegiatan belajar menggunakan bahan ajar puisi yang selanjutnya dirubah menjadi
prossa yang kemudian siswa ditugaskan menceritakan secara lisan hasil paraprase
tersebut.
k. Metode Reka Cerita Gambar
Metode ini sangat kreatif dan layak
untuk dicoba karna dengan menyajikan gambar acak siswa akan mereka kembali
dengan susunan yang benar urutan gambar tersebut. Dalam kegiatan tersebut
dengan sudah sangat pasti mereka akan berbicara setelah guru bertanya, “Anak
anak, Bagaimanakah susunan yang benar dai gambar tersebut ?” .
l. Metode Memberi Petunjuk
Metode ini layak juga untuk dicoba
terutama untuk mempelajari bahan ajar tentang denah, petunjuk penggunaan obat
dan alat tertentu. Dengan penugasan untuk menyampaikan hal tersebut siswa akan
tertantang untuk berbicara dan menyampaikan penjelasan berdasarkan ide dan
pendapat masing-massing melalui bahasa sederhana dan sesederhanapun penyampaian
layak mendapat penghargaaan.
m. Metode Pelaporan
Melalui pengamatan terhadap obyek
pada kegiatan tertentu siswa kemudian melaporkan hasil pengamatan dengan
penyampaian lisan yang didahului oleh konsep tulisan. Dalam hal ini terjadi
proses mirip dengan proses pada metode identifikasi akan tetapi memiliki
tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Sehingga sesederhana apapun penyampaian
siswa layak dihargai karna sebagai awal mula yang baik untuk proses penelitian
dan pelaporan dalam kegiatan ilmiah yang sangat mendukung proses meningkatkan
kreatifitas siswa.
n. Metode Wawancara
Kegiatan ini adalah kegiatan tingkat
tinggi dari bertanya hingga menganalisa jawaban audien kemudian mengajukan
pertanyaan berikutnya yang diikuti oleh proses pelaporan layaknya seorang
wartawan. Proses berbicara dari nkegiatan ini adalah awal dari membentuk pribadi
yang kritis dan santun.
o. Metode Diskusi
Kegiatan ini adalah proses interaksi
tingkat tertinggi yang merangsang daya fikir, logika, kritis dan santun. Dalam
kegiatan ini sejelek apapun pendapat, sanggahan dan klarifikasi siswa adalah
hal yang maha baik dalam memulai suatu sikap peka terhadap lingkungan dan
isu-isu tertentu dalam mencari jalan keluar. Dimana sudah barang tentu merupakan
kreatifitas yang sangat layak mendapat penghargaan.
p. Metode Bertelpon
Seiring dengan teknologi informasi
yang kian maju maka keterampilan bertelpon sangat penting dalam membentuk sikap
cepat, efektif dan sopan dalam berkomunikasi. Karna berbicara melalaui telpon
tanpa hadirnya lawan bicara secara langsung memerlukan tingkat kepekaan yang
tinggi dalam tata cara pergaulan sehari-hari dalam kegiatan bertelpon
q. Metode Dramatisasi
Metode ini adalah kelanjutan dari
kegiatan bermain peran yang dilengkapi dengan tema, seting, perwatakan, seting
dan naskah drama yang ditampilkan secara utuh. Kegiatan ini penuh dengan
kegiatan berbicara sesuai dengantuntunan naskah yang runtut.
METODE
PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS RENDAH
Membaca
dan menulis di kelas rendah tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran
di kelas permulaan. Membaca dan Menulis Permulaan merupakan program
pembelajaran yang diorientasikan kepada kemampuan membaca dan menulis permulaan
di kelas-kelas awal pada saat anak-anak mulai memasuki bangku sekolah. Pada
tahap awal anak memasuki bangku sekolah di kelas 1 sekolah dasar.
Kemampuan membaca
permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan membaca tingkat dasar, yakni
kemampuan melek huruf sedangkan, kemampuan menulis permulaan tidak jauh berbeda
dengan kemampuan membaca permulaan. Pada tingkat permulaan, pembelajaran
menulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik.
Berikut akan diuraikan
beberapa metode pembelajaran di kelas rendah, diantaranya:
1. Metode
Eja
Pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan
dengan metode eja memulai pengajarannya dengan memperkenalkan huruf-huruf
secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihapalkan dan dilafalkan murid sesuai
dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A a, B b, C c, D d, E e, F f, dan
seterusnya. Dilafalkan sebagai a, be, ce, de, e, ef, dan seterusnya. Kegiatan
ini diikuti dengan latihan menulis lambing tulisan, seperti a, b, c, d, dan
seterusnya atau dengan huruf rangkai, a, b, c, d, dan seterusnya. Setelah
melalui tahapan ini, para murid diajarkan untuk perkenalan dengan suku kata
dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.
Misalnya :
b, a → ba (dibaca be. a → ba )
d, u → du ( dibaca de, u → du )
ba-du dilafalkan Badu
Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah
murid-murid dapat menulis huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan
belajar menulis rangkai huruf yang berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah
kata badu tadi. Selanjutnya, murid diminta menulis seperti
: ba - du → badu.
Pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya
dimulai dari hal-hal yang konkrit menuju hal-hal yang abstrak, dari hal-hal
yang mudah, akrab, familiar, dengan kehiduipan murid menuju hal-hal yang sulit
dan mungkin meruipakan sesuatu yang baru bagi murid.
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan
metode eja ini meskipun murid mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun murid
tetap mengalami kesulitan dalam mengenal rangkaian huruf yang berupa suku kata
atau kata.
2. Metode
Suku Kata dan Metode Kata
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini
diawali dengan pengenalan suku kata, seperti ba, bi, bu, be, bu, ca, ci, cu,
ce, cu, da, di ,du, de, du, ka, ki, ku, ke, ku dan seterusnya. Suku-suku kata
tersebut kemudian dirangkai menjadi kata bermakna. Sebagai contoh, dari daftar
suku kata tadi, guru dapat membuat berbagai variasi paduan suku kata menjadi
kata-kata bermakna, kata-kata tadi misalnya :
ba
–
bi
cu – ci
da – da
ka – ki
ba
–
bu
ca – ci
du – da
ku – ku
bi
–
bi
ci –
ca
da – du
ka – ku
ba
–
ca
ka – ca du –
ka
ku – da
Kegiatan tersebut dapat dilanjutkan dengan
proses perangkaian kata menjadi kalimat sederhana. Proses perangkaian suku kata
menjadi kata, kata menjadi kalimat sederhana, kemudian ditindak lanjuti dengan
proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk tersebut menjadi satuan bahasa
terkecil dibawahnya, yakni dari kalimat kedalam kata dan kata kedalam suku-suku
kata. Proses pembelajaran Menulis dan Memmbaca Permulaan yang
melibatkan kegiatan merangkai dan mengupas, kemudian dilahirkan istilah lain
untuk metode ini yakni metode rangkai kupas.
3. Metode
Global
Metode Global artinya secara utuh dan
bulat. Dalam metode global yang disajikan pertama kali pada murid adalah
kalimat seutuhnya. Kalimat tersebut dituliskan dibawah gambar yang sesuai
dengan isi kalimatnya. Setelah berkali-kali membaca, murid dapat membaca
kalimat-kalimat itu secara global tanpa gambar. Sebagai contoh dapat dilihat
bahan ajar yang menggunakan metode global yaitu :
a. Memperkenalkan gambar dan kalimat
b. Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata, kata
menjadi suku kata.
Contoh: Kata menjadi
huruf-huruf
Ini mama
i n
i
m a m a
i
-ni
ma – ma
i – n –
i m - a – m - a
4. Metode
Structural Analisis Sintesis (SAS)
SAS merupakan salah satu jenis metode yang
biasa digunakan proses pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan bagi siswa
pemula. Pembelajaran menulis dengan metode ini mengawali pembelajarannya dengan
dua tahap, yakni menampilkan dan memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-mula
anak disuguhi sebuah struktur yang memberi makna lengkap, yakni skruktur
kalimat. Hal ini dimaksudkan untuk membangun konsep-konsep “kebermaknaan” pada
diri anak. Akan lebih baik jika strukturnya kalimat yang disajikan sebagai
bahan pembelajaran menulis dengan metode ini adalah struktur kalimat yang
digali dari pengalaman berbahasa si pembelajar itu sendiri. Untuk itu, sebelum
kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya dimulai, guru dapat melakukan
pra-KBM melalui berbagai cara.
Proses penguraian atau penganalisisan dalam
pembelajaran MMP dengan metode SAS meliputi :
a. Kalimat menjadi kata-kata
b. Kata menjadi suku-suku kata
c. Suku kata menjadi huruf-huruf
Metode ini yang dipandang paling cocok dengan jiwa
anak atau siswa adalah metode SAS menurut Supriyadi dkk (1992). Alasan mengapa
metode SAS ini dipandang baik adalah:
a. Metode ini menganut prinsip ilmu bahasa umumbahwa
bentuk bahasa terkecil adalah kalimat.
b. Metode ini memperhitungkan pengalaman bahasa anak.
c. Metode ini menganut prinsip menemukan sendiri.
Kelemahan metode SAS, yaitu:
a. Kurang praktis
b. Membutuhkan banyak waktu
c. Membutuhkan alat peraga
5. Metode
Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah suatu teknik
mengajar dengan memperagakan, mempertunjukan, atau menayangkan sesuatu. Siswa
dituntut memperhatikan objek yang didemonstrasikan. Melalui metode ini siswa
dapat mengembangkan keterampilan mengamati, menggolongkan, menarik kesimpulan,
menerapkan atau mengkomunikasikan.
6. Metode
Ceramah
Metode ceramah adalah suatu metode
mengajarkan sesuatu bahan dengan penuturan, penerangan, atau penjelasan bahasa
lisan kepada siswa. Keberhasilan siswa melalui teknik ceramah sangat bergantung
kepada kemampuan siswa dalam menyimak.
7. Metode
Penugasan
Metode penugasan adalah teknik pengajaran
yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan tugas berdasarkan
petunjuk atau instruksi guru. Tugas dapat bersifat individu dan kelompok.
8.
Metode Tanya Jawab
Melalui pertanyaan guru memancing waktu
jawaban tertentu dari siswa jawaban yang diharapkan akan tercapai apabila siswa
telah mempunyai pengetahuan siap, ingatan, atau juga penalaran tentang yang
ditanyakan. Gambaran situasi yang mendahului pertanyaan sangat membantu siswa
dalam menanggapi pertanyaan. Melalui metode ini dapat dikembangkan keterampilan
mengamati, menafsirkan, menggolongkan, menyimpulkan, menerapkan, dan
mengkomunikasikan.
9. Metode
Abjad dan Metode Bunyi
Menurut Alhkadiah, kedua metode ini sudah
sangat tua. Menggunakan kata-kata lepas, misalnya:
RPS
8 METODE
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SD KELAS TINGGI
A. PENGERTIAN METODE
Dalam KBBI (2001: 740) metode yaitu cara yang
digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki. Selain itu, juga didefanisikan sebagai cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan. Dalam pembelajaran bahasa indonesia metode diartikan sebagai
sisitem perencanaan pembelajaran bahasa indonesia secara menyeluruh untuk
memilih, mengorganisasikan, dan meyajikan materi pelajaran bahasa indonesia
secara teratur.
Metode bersifat prosedural artinya, penerapan
pembelajaran bahasa Indonesia harus dikerjakan menurut langkah-langkah yang
teratur, bertahap yakni mulai perencanaan pembelajaran, penyajian sampai dengan
penilaian dan hasil belajar.
B. FAKTOR YANG
BERPENGARUH TERHADAP METODE PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
1. Persamaan dan perbadaan antar sistem bahasa pertama
siswa dengan bahasa kedua yang mereka pelajari.
2. Usia siswa pada saat mereka belajar bahasa indonesia
3. Latar belakang sosial budaya siswa
4. Pengalaman, pengetahuan dan keterampilan berbahasa
siswa dalam bahasa yang dipelajarinya yang sudah mereka punyai.
5. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa guru dalam
bahasa yang akan dipelajarinya:
1) Guru bahasa menguasai bahan ajar
2) Guru bahasa mampu mengelola program-program belajar mengajar
bahasa indonesia
6. Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipelajari siswa
dalam masyarakat tempat dimana mereka berada.
7. Tujuan pembelajaran yang di inginkan
8. Alokasi waktu yang tersedia untuk kegiatan
pembelajaran
9. Metode yang digunakan dalam pembelajaran bahasa
C. JENIS-JENIS METODE DALAM BAHASA
INDONESIA
1) Metode Audiolingual
Metode audiolingual sangat mengutamakan drill (pengulangan).
Metode itu muncul karena terlalu lamanya waktu yang ditempuh dalam belajar
bahasa target. Padahal untuk kepentingan tertentu, perlu penguasaan bahasa
dengan cepat. Dalam audiolingual yang berdasarkan pendekatan struktural itu,
bahasa yang diajarkan dicurahkan pada lafal kata, dan pelatihan pola-pola
kalimat berkali-kali secara intensif. Guru meminta siswa untuk mengulang-ulang
sampai tidak ada kesalahan.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan adalah (a)
penyajian dialog atau teks pendek yang dibacakan guru berulang-ulang dan siswa
menyimak tanpa melihat teks yang dibaca, (b) peniruan dan penghafalan teks itu
setiap kalimat secara serentak dan siswa menghafalkannya, (c) penyajian kalimat
dilatihkan dengan pengulangan, (d) dramatisasi dialog atau teks yang dilatihkan
kemudian siswa memperagakan di depan kelas, dan (e) pembentukan kalimat lain
yang sesuai dengan yang dilatihkan.
2) Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan komunikatif harus mencakup semua
keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran.
Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan konkret yang merupakan produk
akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat
dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistis. Sepucuk
surat adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah perintah, pesan, laporan, atau
peta, juga merupakan produk yang dapat dilihat dan diamati. Dengan begitu,
produk-produk tersebut dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang berhasil.
Contohnya menyampaikan pesan kepada orang lain yang
sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan itu dapat dipecah menjadi (a)
memahami pesan, (b) mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan keraguan, (c)
mengajukan pertanyaan untuk memperoleh lebih banyak informasi, (d) membuat
catatan, (e) menyusun catatan secara logis, dan (f) menyampaikan pesan secara
lisan.
Dengan begitu, untuk materi bahasan penyampaian pesan
saja, aktivitas komunikasi dapat terbangun secara menarik, mendalam, dan
membuat siswa lebih intensif.
3) Metode Produktif
Metode produktif diarahkan pada berbicara dan menulis.
Siswa harus banyak berbicara atau menuangkan gagasannya. Dengan menggunakan
metode produktif diharapkan siswa dapat menuangkan gagasan yang terdapat dalam
pikirannya ke dalam keterampilan berbicara dan menulis secara runtun. Semua
gagasan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.
Yang dimaksud dengan komunikatif di sini adalah adanya
respon dari lawan bicara. Bila kita berbicara lawan bicara kita adalah
pendengar, bila kita menulis lawan bicara kita adalah pembaca.
4) Metode Langsung
Metode langsung berasumsi bahwa belajar bahasa yang
baik adalah belajar yang langsung menggunakan bahasa secara intensif dalam
komunikasi. Tujuan metode langsung adalah penggunaan bahasa secara lisan agar
siswa dapat berkomunikasi secara alamiah seperti penggunaan bahasa Indonesia di
masyarakat.
Siswa diberi latihan-latihan untuk mengasosiasikan
kalimat dengan artinya melalui demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik
secara langsung.
5) Metode Partisipatori
Metode pembelajaran partisipatori lebih menekankan
keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu keberhasilan
belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan berpartisipasi aktif,
siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau
fasilitator.
Dalam metode partisipatori siswa aktif, dinamis, dan
berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga
aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding,
dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi,
pandai berperan sebagai moderator dan kreatif. Konteks
siswa menjadi
tumpuan utama.
6) Metode Membaca
Metode membaca bertujuan agar siswa mempunyai
kemampuan memahami teks bacaan yang diperlukan dalam belajar siswa.
Berikut langkah-langkah metode membaca:
(1) pemberian kosakata dan istilah yang dianggap sukar
dari guru ke siswa. Hal ini diberikan dengan definisi dan contoh ke dalam
kalimat
(2) Penyajian bacaan di kelas. Bacaan dibaca dengan
diam selama 10-15 menit (untuk mempercepat waktu, bacaan dapat diberikan sehari
sebelumnya)
(3) Diskusi isi bacaan dapat melalui tanya jawab
(4) Pembicaraan tata bahasa dilakukan dengan singkat.
Hal itu dilakukan jika dipandang perlu oleh guru
(5) Pembicaraan kosakata yang relevan
(6) Pemberian tugas seperti mengarang (isinya relevan
dengan bacaan) atau membuat denah, skema, diagram, ikhtisar, rangkuman,
dan sebagainya yang berkaitan dengan isi bacaan.
7) Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen materi
pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan.
Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan
disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, konkret, dan konseptual.
Tema yang telah ditentukan haruslah diolah dengan perkembangan
lingkungan siswa yang terjadi saat ini. Begitu pula isi tema disajikan secara
kontemporer sehingga siswa senang. Apa yang terjadi sekarang di lingkungan
siswa juga harus terbahas dan terdiskusikan di kelas. Tema tidak disajikan
secara abstrak tetapi diberikan secara konkret. Semua siswa dapat mengikuti
proses pembelajaran dengan logika yang dipunyainya. Konsep-konsep dasar tidak
terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari analisis ke konsep
kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman.
8) Metode Kuantum
Quantum Learning (QL)
merupakan metode pendekatan belajar yang bertumpu dari metode Freire dan
Lozanov. QL mengutamakan kecepatan belajar dengan cara partisipatori peserta
didik dalam melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar
mengacu pada otak kanan dan otak kiri menjadi ciri khas QL. Menurut QL bahwa
proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatu dapat
berarti setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi, serta sejauh mana guru
mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran maka sejauh itulah
proses belajar berlangsung.
Hubungan dinamis dalam lingkungan kelas merupakan
landasan dan kerangka untuk belajar. Dengan begitu, pembelajar dapat mememori,
membaca, menulis, dan membuat peta pikiran dengan cepat.
9) Metode Kerja Kelompok Kecil (Small-Group
Work)
Mengorganisasikan siswa dalam kelompok kecil merupakan
metode yang banyak dianjurkan oleh para pendidik. Metode ini dapat dilakukan
untuk mengajarkan materi-materi khusus. Kerja kelompok kecil merupakan metode
pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Siswa dituntut untuk memperoleh
pengetahunan sendiri melalui bekerja secara bersama-sama. Tugas guru hanyalah
memonitor apa yang dikerjakan siswa. Yang ingin diperolah melalui kerja kelompok
adalah kemampuan interaksi sosial, atau kemampuan akademik atau mungkin juga
keduanya.
10) Metode Alamiah
Metode ini banyak memiliki nama, yaitu metode murni,
metode natural atau “customary method”. Metode ini memiliki prinsip bahwa
mengajar bahasa baru (seperti bahasa kedua) harus sesuai dengan kebiasaan
belajar berbahasa yang sesungguhnya sebagaimana yang dilalui oleh anak-anak
ketika belajar bahasa ibunya. Proses alamiah inilah yang harus dijadikan
landasan dalam setiap langkah yang harus ditempuh dalam pengajaran bahasa
kedua, seperti bahasa Indonesia.
Seperti Anda ketahui proses belajar bahasa anak-anak
dimulai dengan mendengar, kemudian berbicara, kemudian membaca dan akhirnya
menulis atau mengarang. Jadi pada awal pelajaran, gurulah yang banyak
berbicara/bercerita dalam rangka memperkenalkan bunyi-bunyi, kosa kata dan
struktur kalimat sederhana. Setelah mereka dapat menyimak dengan baik, kemudian
anak-anak diajak berbicara dan selanjutnya mulai diperkenalkan dengan membaca
dan menulis.
11) Metode Terjemahan
Metode terjemahan (the translation method) adalah
metode yang lazim digunakan untuk pengajaran bahasa asing, termasuk dalam hal
ini Bahasa Indonesia yang pada umumnya merupakan bahasa kedua setelah
penggunaan bahasa ibu yakni bahasa daerah. Prinsip utama pembelajarannya adalah
bahwa penguasaan bahasa asing dapat dicapai dengan cara latihan terjemahan dari
bahasa asing ke dalam bahasa ibu murid atau ke dalam bahasa yang dikuasainya.
Misal: latihan terjemahan dari Bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah atau
dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Kelebihan metode ini dalam hal
kepraktisan dalam pelaksanaannya dan dalam hal penguasaan kosakata dan
tatabahasa dari bahasa yang baru dipelajari siswa.
12) Metode Pembatasan Bahasa
Metode ini menekankan pada pembatasan dan
penggradasian kosakata dan struktur bahasa yang akan diajarkan. Pembatasan itu
dalam hal kekerapan atau penggunaan kosakata dan urutan penyajiannya. Kata-kata
dan pola kalimat yang tinggi pemakaiannya di masyarakat diambil sebagai sumber
bacaan dan latihan penggunaan bahasa. Pola-pola kalimat, perbendaharaan kata,
dan latihan lisan maupun tulisan dikontrol dengan baik oleh guru.
RPS
9
Keterampilan
berbahasa terdiri dari keterampilan berbahasa tulis dan keterampilan berbahasa
lisan. Klasifikasi seperti ini dibuat berdasarkan pendekatan komunikatif.
Implikasinya pembelajaran bahasa pada ABK harus difokuskan pada kemampuan anak
memahami dan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Keterampilan
berbahasa tulis terdiri dari keterampilan membaca dan menulis. Sedangkan
keterampilan berbahasa lisan terdiri dari menyimak dan berbicara.
A.
MEMBACA
1. Hakikat
Membaca
Pada hakikatnya membaca terdiri
dari dua bagian, yaitu membaca sebagai proses dan membaca sebagai produk.
Membaca sebagai proses mengacu pada aktivitas fisik dan mental. Sedangkan
membaca sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan
pada saat membaca.
2. Tujuan
Membaca
Tujuan setiap pembaca adalah
memahami baca yang dibacanya. Dengan demikian,pemahaman merupakan faktor yang
amat penting dalam membaca. Pembelajaran membaca harus mempunyai tujuan yang
jelas. Tujuan yang dimaksud meliputi :
a.
Menikmati keindahan yang terkandung
dalam bacaan;
b.
Membaca bersuara untuk memberikan
kesempatan kepada anak menikmati bacaan;
c.
Menggunakan strategi tertentu untuk
memahami bacaan;
d.
Menggali simpanan pengetahuan atau ske
mata anak tentang suatu topik;
e.
Menghubungkan pengetahuan baru dengan
skemata anak;
f.
Mencari informasi untuk pembuatan
laporan yang akan disampaikan dengan lisan
g.
ataupun tertulis;
h.
Memberikan kesempatan kepada anak untuk
melakukan eksperimentasi untuk
i.
meneliti sesuatuyang dipaparkan dalam sebuah
bacaan;
j.
Mempelajari struktur bacaan.
3. Teknik
dan Strategi Pembelajaran Membaca
Untuk meningkatkan pemahaman
terhadap keseluruhan teks, biasanya guru menerapkan kegiatan prabaca, kegiatan
inti membaca, dan kegiatan pascabaca dalam pembelajaran membaca.
a.
Kegiatan prabaca dimaksudkan untuk
menggugah perilaku anak dalam penyelesaian masalah dan memotivasi penelaahan
materi bacaan.
1)
Gambaran awal cerita, yang berisi
informasi yang berkaitan dengan isi cerita, dapat meningkatkan pemahaman.
Pemberian gambaran awal cerita kepada anak yang dirancang sebagian untuk
membangun latar belakang pengetahuan tentang cerita tersebut dapat membantu anak
menyimpulkan isi bacaan.
2)
Petunjuk untuk melakukan antisipasi,
merupakan sarana kegiatan awal membaca yang bermanfaat. Petunjuk semacam ini
dirancang untuk menstimulus pikiran, berisi pertanyaan yang berkaitan dengan
materi yang akan dibaca.
3)
Pemetaan semantik, merupakan strategi
prabaca yang baik, sebab kegiatannya memperkenalkan kosa kata yang akan
ditemukan dalam bacaan dan dapat menggugah skemata yang berkaitan dengan topik
bacaan.
4)
Menulis sebelum membaca, menulis
pengalaman pribadi yang relevan, sebelum mereka membaca materi, bermanfaat pada
kegiatan mengerjakan tugas, dan reaksi yang lebih positif.
5)
Drama/simulasi, dapat digunakan sebelum
cerita dibaca untuk meningkatkan pemahaman.
b.
Kegiatan inti membaca
Beberapa
strategi dan kegiatan dalam membaca dapat digunakan untuk meningkatkan
pemahaman anak. Strategi yang dimaksud adalah strategi metakognitif, cloze procedure dan pertanyaan pemandu
1)
Strategi metakognitif, berkaitan dengan
pengetahuan seseorang atas penggunaan intelektual otaknya dan usaha sadarnya
dalam memonitor atau mengontrol penggunaan kemampuan intelektualnya.
Metakognitif ini meliputi cara terjadinya berpikir . Dalam kegiatan membaca,
orang yang menerapkan metakognitif akan memilih keterampilan dan teknik membaca
yang sesuai dengan tugas membacanya.
2)
Cloze procedure, digunakan juga untuk
meningkatkan pemahaman dengan cara menghilangkan sejumlah informasi dalam
bacaan dan anak diminta untuk mengisinya. Latihan cloze procedure dalam
pelaksanaannya melibatkan penghilangan huruf, suku kata, kata, frase, klausa,
atau sebuah kalimat.
3)
Pertanyaan pemandu, selama membaca
pertanyaan pemandu sering digunakan untuk meningkatkan pemahaman. Anak dilatih
untuk mengingat fakta dengan cara mengubah fakta itu menjadi pertanyaan
”mengapa”. Pertanyaan pemandu dapat diajukan guru kepada anak atau diajukan anak
untuk dirinya sendiri ketika sedang membaca.
c.
Kegiatan pascabaca
Kegiatan
dan strategi setelah membaca membantu anak mengintegrasikan informasi baru ke
dalam skemata yang sudah ada. Selain itu, kegiatan pascabaca dapat memperkuat
dan mengembangkan hasil belajar yang telah diperoleh sebelumnya.
Ada
beberapa kegiatan dan strategi yang dapat dilakukan anak setelah membaca,
yaitu, memperluas kesempatan belajar, mengajukan pertanyaan, mengadakan pameran
visual, melaksanakan pementasan teater aktual, menuturkan kembali apa yang
telah dibaca kepada orang lain, dan mengaplikasikan apa yang diperoleh dari
membaca ketika melakukan sesuatu.
B.
MENULIS
1. Hakikat
Menulis
Menulis merupakan kegiatan yang
dilakukan seseorang untuk menghasilkan sebuah tulisan. Seorang penulis yang
memahami dengan baik makna kata menulis akan betul-betul peduli terhadap
kejelasan apa yang ditulis, kekuatan tulisan itu dalam mempengaruhi orang lain,
kepiawaian penulis dalam memilih dan mengolah kata-kata.
Kiat-kiat yang dapat digunakan guru
dalam melaksanakan pembelajaran menulis sebagai suatu proses, yaitu:
a.
langsung menulis, teori belakangan
b.
mulai dari mana pun boleh
c.
belajar sambil bercanda
d.
pembelajaran menulis nonlinear (tidak
harus ada urutan tertentu)
2. Teknik
dan Strategi Pembelajaran Menulis
Pembelajaran menulis dapat
dilaksanakan di dalam kelas (pada jam pelajaran sekolah) dan diluar kelas (di
luar jam pelajaran).
a.
Pembelajaran menulis di dalam kelas
Kegiatan
pembelajaran menulis di dalam kelas sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan jam
yang telah ditetapkan dalam jadual pelajaran. Beberapa contoh teknik yang dapat
kita gunakan:
1)
bermain dengan bahasa dan tulisan
2)
kuis
3)
memberi atau mengganti akhir cerita
4)
menulis meniru model: copy the master
b.
Pembelajaran menulis di luar kelas
Pembelajaran
menulis di luar kelas ini dapat dilakukan, misalnya, anak dilatih menulis buku
harian, majalah dinding (mading), dan kegiatan kliping.
C.
MENYIMAK
1. Hakikat
Menyimak
Hakikat menyimak dapat dilihat dari
berbagai segi (Logan, 1972). Menyimak dapat dipandang sebagi satu sarana,
sebagai suatu keterampilan, sebagai seni, sebagai suatu proses atau sebagai
suatu pengalaman kreatif. Menyimak dikatakan sebagai suatu sarana sebab adanya
kegiatan yang dilakukan seseorang pada waktu menyimak yang harus melalui
tahapan mendengarkan bunyi-bunyi yang telah dikenalnya. Kemudian, secara
bersamaan is memakai bunyi-bunyi itu. Dengan cara ini ia mampu
mengintepretasikan dan memahami makna bunyi-bunyi itu.
Menyimak sebagai seni berarti
kegiatan menyimak itu memerlukan adanya kedisiplinan, konsentrasi, partisipasi
aktif, pemahaman, dan penilaian. Sebagai suatu proses menyimak berkaitan dengan
proses keterampilan yang kompleks, yaitu keterampilan mendengarkan, memahami,
menilai, dan merespons. Menyimak dikatakan sebagai respon, sebab respons
merupakan unsur utama dalam menyimak. Menyimak sebagai pengalaman kreatif
melibatkan pengalaman yang nikmat, menyenangkan, dan memuaskan.
2. Bahan
Pembelajaran Menyimak
Tujuan pembelajaran menyimak,
melatih anak memahami bahasa lisan. Oleh sebab itu, pemilihan bahan
pembelajaran menyimak harus kita sesuaikan dengan karakteristik ABK.
D.
BERBICARA
1. Hakikat
Berbicara
Berbicara dapat diartikan sebagai
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau
menyampaikan pikiran, gagsan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983).
Berbicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol
sosial karena berbicara merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang
memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas.
2. Jenis-jenis
Berbicara
a.
Berbicara berdasarkan tujuannya
1)
Berbicara memberitahukan, melaporkan,
dan menginformasikan.
2)
Berbicara menghibur
3)
Berbicara membujuk
c.
Berbicara berdasarkan situasinya
1)
Berbicara formal
2)
Berbicara informal
d.
Berbicara berdasarkan cara
penyampaiannya
1)
Berbicara mendadak
2)
Berbicara berdasarkan catatan
3)
Berbicara berdasarkan hafalan
4)
Berbicara berdasarkan naskah
e.
Berbicara berdasarkan jumlah
pendengarnya
1)
Berbicara antarpribadi
2)
Berbicara dalam kelompok kecil
3)
Berbicara dalam kelompok besar
3. Bahan
dan Strategi Pembelajaran Berbicara
Tujuan pembelajaran berbicara untuk ABK
adalah melatih anak dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita dapat menggunakan bahan
pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan
pembelajaran berbicara, misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan,
menceritakan kembali isi cerita yang pernah dibaca atau didengar, bermain
peran, pidato.
RPS
10
Kata media berasal dari bahasa Latin
medio atau medius. Dalam bahasa Latin, media dimaknai sebagai antara. Sedangkan
dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim
kepada penerima pesan. Media merupakan bentuk jamak dari medium, yang secara
harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara khusus, kata tersebut dapat
diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa informasi dari
satu sumber kepada penerima. Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai
sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa
informasi berupa materi ajar dari pengajar kepada peserta didik sehingga
peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
Menurut Gerlach dan Ely (1971), media
apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan
atau sikap. Sehingga guru, buku teks dan lingkungan sekolah marupakan media.
Fleming (1987: 234) menyatakan media berfungsi untuk mengatur hubungan yang
efektif antara dua pihak yaitu siswa dan isi pelajaran. Latuheru(1988:14),
menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi
komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna
dan berdaya guna. Berdasarkan definisi tersebut, media pembelajaran memiliki
manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran. Media
pembelajaran yang digunakan harus dapat menarik perhatian siswa pada kegiatan
belajar mengajar dan lebih merangsang kegiatan belajar siswa.
Adapun mengapa media pembelajaran yang
tepat dapat membawa keberhasilan belajar dan mengajar di kelas, menurut Levie
dan Lentz (1982), itu karena media pembelajaran khususnya media visual memiliki
empat fungsi yaitu:
1.
Fungsi atensi,
yaitu dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada
isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau
menyertai teks materi dan pelajaran.
2.
Fungsi afektif,
yaitu dapat menggugah emosi dan sikap siswa.
3.
Fungsi kognitif,
yaitu memperlancar tujuan untuk memahami dan mengingat informasi/pesan yang
terkandung dalam gambar.
4.
Fungsi
compensations, yaitu dapat mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat
menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau secara
verbal. Alasan-alasan mengapa media pembelajaran
dapat mempertinggi proses belajar siswa yaitu: a. Alasan yang pertama yaitu
berkenaan dengan menfaat media pengajaran itu sendiri, antara lain: 1)
Pengajaran lebih menarik perhatian siswa, sehingga menumbuhkan motivasibelajar.
2) Bahan pengajaran lebih jelas maknanya, sehingga dapat menguasai tujuan
pembelajaran dengan baik. 3) Metode pengajaran akan bervariasi. 4) Siswa dapat
lebih banyak melakukan aktivitas belajar, seperti mengamati, melakukan,
mendemonstrasikan dan lain-lain. b. Alasan kedua yaitu sesuai dengan taraf
berpikir siswa. Dimulai dari taraf berfikir konkret menuju abstrak, dimulai
dari yang sederhana menuju berfikir yang kompleks.
Sejumlah pertimbangan dalam memilih
media pembelajaran yang tepat dapat kita rumuskan dalam satu kata ACTION, yaitu
akronim dari:
1.
Access
Kemudahan akses menjadi
pertimbangan pertama dal;am memilih media. Misalnya kita menggunakan media
internet perlu dipertimbangkan terlebih dahulu saluran untuk koneksi keinternet
tersebut. Akses juga menyangkut aspek kebijakan.
2.
Cost
Biaya juga harus
dipertimbangkan. Banyak jenis media yang dapat menjadi pilihan kita. Media
canggih biasanya mahal. Namun mahalnyaa biaya harus kita hitung asfek
manfaatnya. Semakin banyak yang menggunakan maka unit cost dari sebuah media
akan semakin menurun.
3.
Technology
Mungkin saja kita
tertaarik terhadaap suatu media tetapi kita harus mempertimbangkan tentang
aspek pendukungnya.
4.
Interactivity
Media yang baik adalah
yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau intraktivitas. Setiap kegiatan
pembelajaran yang anda kembangkan tentu saja memerlukan media yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran tersebut.
5.
Organization
Pertimbangan yang juga
penting adalah dukungan organisasi. apakah kepala sekolah mendukung atau tidak.
6.
Novelty
Kebaruan dari media yang anda pilih juga
harus menjadi pertimbangan. Media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih
menarik bagi siswa.
Dilihat dari sifatnya, media dapat dibagi kedalam:
1. Media audio, yaitu media yang hanya dapat
didengar saja atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan
rekaman suara
2. Media visual, yaitu media yang hanya dapat
dilihat saja tidak mengandung unsur suara. Yang termasuk kedalam media adalah
film slide, foto, transparasi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang
dicetak seperti media grafis
3. Media audiovisual, yaitu jenis jenis media yang
selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat,
seperti rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya.
Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung
kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua.
Dilihat dari kemampuan jangkauannya, media dapat
pula dibagi kedalam:
1. Media yang memiliki daya lipat yang luas dan
serentak seperti radio dan televisi. Melalui media ini siswa dapat mempelajari
hal-hal atau kejadian-kejadian yang aktual secara serentak tanpa harus
menggunakan ruangan khusus
2. Media yang mempunyai daya lipat yang terbatas
oleh ruang dan waktu, seperti filim slide, film, video, dan lain sebagainya
Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media
dapat dibedakan menjadi:
1. Media yang proyeksikan, seperti film, slide, fim
strip, transparansi, dan lain sebagainya. Jenis media yang demikian memerlukan
alat proyeksi khusus, seperti film proyektor untuk memproyeksi film, slide
projector untuk memproyeksikan film slide, Over Head Projector ( OHP ) untuk
memproyeksi semacam ini, maka media semacam ini tidak akan berfungsi apa-apa
2. Media yang tidak diproyeksikan seperti gambar,
foto, lukisan, radio, dan lain sebagainya
Klasek membagi media pembelajaran sebagai berikut:
a.
Media visual
b.
Media audio
c.
Media display
d.
Pengalaman nyata
dan simulasi
e.
Media cetak
f.
Belajar
terprogram
g.
Pembelajaran
melalui komputer atau sering dikenal dengan Program Computer Aided Instruction
( CAI ).[13]
Media audiovisual dibagi menjadi;
1. Audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan suara
dan gambar diam seperti filim bingkai suara ( sound slide ), film rangkai
suara, dan cetak suara
2. Audiovisual gerak yaitu media yang dapat menampilkan
unsur suara dan gambar yang bergerak seperi film suara dan video cassette
Pembagian lainnya tentang media ini adalah:
1. Audiovisual murni yaitu baik unsur suara maupun
unsur gambar berasal dari satu sumber seperti: film video-cassette
2. Audiovisual tidak murni yaitu yang unsur suara dan
unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara
yang unsur gambarnya bersumber dari slides proyektor dan unsur suaranya
bersumber dari tape recorder. contoh lainnya: flim strip suara dan cetak suara
RPS 11 CONTOH MEDIA
SESUAI JENIS MEDIA ; VISUAL, AUDIO, AUDIO 13 VISUAL, PERMAINAN BAHASA
Pengertian
Media
Kata
media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti ”Tengah”,
”Perantara”, atau ”Pengantar”. Dalam bahasa arab ”Media” adalah perantara atau
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely
menyatakan bahwa ”media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia,
materi, atau kejadian, yang membangun kondisi yang membuat peserta didik mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap”. Berdasarkan pengertian
tersebut maka yang dimaksud media diantaranya adalah guru, buku teks, dan
lingkungan sekolah.
Sementara
itu Romiszowki (dalam Darmojo,1991:8) mengatakan bahwa ”media ialah pembawa pesan
yang berasal dari suatu sumber pesan (yang dapat berupa orang atau benda)
kepada penerima pesan”. Adapun yang dimakud penerima pesan adalah siswa. Jadi
media merupakan suatu perantara untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada
siswa.
Jenis-jenis
Media
Menurut
Bretz dan Briggs mengemukakan bahwa klasifikasi media digolongkan menjadi
kelompok yaitu media audio, media visual, media audo visual, dan media
serbaneka.
1. Media Audio : Media audio berfungsi
untuk menyalurkan pesan audio dari sumber pesan ke penerima pesan. Media audio
berkaitan erat dengan indra pendengaran.contoh media yang dapat dikelompokkan
dalam media audio diantarany : radio, tape recorder, telepon, laboratorium
bahasa, dll.
2. Media Visual : Media visual yaitu media yang
mengandalkan indra penglihat. Media visual dibedakan menjadi dua yaitu (1)
media visual diam (2) media visual gerak
a. Media visual diam contohnya foto, ilustrasi, flashcard,gambar pilihan dan potongan gambar, film bingkai, film rngkai,OHP, grafik, bagan, diagram, poster, peta, dan lain- lain.
b. Media visual gerak contohnya gambar-gambar proyeksi bergerak seperti film bisu dan sebagainya.
a. Media visual diam contohnya foto, ilustrasi, flashcard,gambar pilihan dan potongan gambar, film bingkai, film rngkai,OHP, grafik, bagan, diagram, poster, peta, dan lain- lain.
b. Media visual gerak contohnya gambar-gambar proyeksi bergerak seperti film bisu dan sebagainya.
3. Media audio visual : Media audiovisual
merupakan media yang mampu menampilkan suara dan gambar. Ditinjau dari karakteristiknya
media audio visual dibedakan menjadi 2 yaitu (1) madia audio visual diam, dan
(2) media audio visual gerak.
a). Media audiovisual diam diantaranya TV diam, film rangkai bersuara, halaman bersuara, buku bersuara.
a). Media audiovisual diam diantaranya TV diam, film rangkai bersuara, halaman bersuara, buku bersuara.
b). Media audio visual gerak diantaranya film TV,
TV, film bersuara, gambar bersuara,dll.
4.
Media Serbaneka : Media serbaneka
merupakan suatu media yang disesuaikan dengan potensi di suatu daerah, di
sekitar sekolah atau di lokasi lain atau di masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai
media pengajaran. Contoh media serbaneka diantaranya : Papan tulis, media tiga
dimensi, realita, dan sumber belajar pada masyarakat.
a). Papan (board) yang termasuk dalam media ini diantaranya : papan tulis, papan buletin, papan flanel, papan magnetik, papan listrik, dan papan paku.
b). Media tiga dimensi diantaranya : model, mock up, dan diorama.
c). Realita adalah benda-benda nyata seperti apa adanya atau aslinya . contoh pemanfaatan realit misalnya guru membawa kelinci, burung, ikan atau dengan mengajak siswanya langsung ke kebun sekolah atau ke peternakan sekolah.
d). Sumber belajar pada masyarakat diantaranya dengan karya wisata dan berkemah
a). Papan (board) yang termasuk dalam media ini diantaranya : papan tulis, papan buletin, papan flanel, papan magnetik, papan listrik, dan papan paku.
b). Media tiga dimensi diantaranya : model, mock up, dan diorama.
c). Realita adalah benda-benda nyata seperti apa adanya atau aslinya . contoh pemanfaatan realit misalnya guru membawa kelinci, burung, ikan atau dengan mengajak siswanya langsung ke kebun sekolah atau ke peternakan sekolah.
d). Sumber belajar pada masyarakat diantaranya dengan karya wisata dan berkemah
Macam-macam permainan bahasa:
Ada beberapa
macam permainan yang dapat diguanakan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia.
Beberapa contoh diantaranya sebagai berikut:
a.
Bisik berantai; Permainan ini dilakukan dengan cara setiap siswa harus membisikkan suatu
kata (untuk kelas rendah) atau kalimat atau cerita (untuk kelas tinggi) kepada
pemain berikutnya. Terus berurut sampai pemain terakhir. Pemain terakhir harus
mengatakan isi kata atau kalimat atau cerita yang dibisikkan. Betul atau salah?
Bila salah. Dimana atau siapa yang melakukan kesalahan. Permainan ini dapat dilombakan dengan cara berkelompok. Permainan ini
melatih keterampilan menyimak atau mendengarkan
b.
Kim Lihat
(lihat katakan); Sediakan beberapa benda
atau sayuran, atau buah-buhan dalam suatu kotak tertutup. Siswa berkelompok,
seorang siswa anggota kelompok harus melihat satu benda yang ada di dalam kotak.
Setelah dilihat jelas, siswa tersebut harus menjelaskan sejelas-jelasnya kepada
kelomponya, baik ciri-cirinya, rasanya, warnanya atau apa saja yang dapat
dilihatnya. Anggota kelompok yang lain harus mengambil benda yang dijelaskan
oleh siswa yang melihat tadi. Kelompok yang paling cepat dan paling banyak
mengambil benda dalam kotak itulah yang menang. Permainan ini untuk melatih
keterampilan berbicara dan menyimak
c.
Aku seorang
detektif; Permainan ini dilakukan
berpasangan. Seorang siswa menjadi ditektif, seorang lagi menjadi informan.
Informan harus menentukan-memilih salah seorang dari temannya yang ada di kelas
sebagai penjahat yang akan dicari oleh ditektif. Ia harus memberi keterangan
secara tertulis yang sejelas-jelasnya tentang penjahat yang akan dicari
ditektif. Ditektif membaca informasi tertulis dari informan dan menerka siapa
yang menjadi target pencarian di kelas itu. Setelah selesai posisi diubah, yang
tadinya informan menjadi ditektif dan tadinya ditektif menjadi informan.
Permainan dapat difariasikan dengan sasaran yang dicari dari foto atau gmbar
dari koran. Permainan ini untuk melatih keterampilan membaca dan menulis
d.
Bertanya dan
menerka; para siswa dibagi dua kelompok.
Kelompok satu sebagai penjawab dan kelompok kedua sebagai penannya. Kelompok
penjawab harus menyembunyikan satu benda yang akan diterka oleh kelompok
penannya dengan cara memberi pertanyaan yang mengarah kepada benda yang harus
diterka. Setiap anggota kelompok penanya diberi kesempatan untuk memberikan
satu pertanyaan kepada kelompok penjawab. Kelompok penjawab hanya boleh
menjawab ”ya” atau ”tidak”. Setelah seluruh anggota kelompok bertanya, maka
kelompok harus berunding dari hasil jawaban penjawab, benda apa yang
disembunyikannya itu. Bila dapat diterka, maka kelompok penanya mendapat nilai.
Permainan ini untuk melatih berbicara dan berpikir analitis
e.
Baca lakukan. Permainan ini untuk kelas rendah yang sudah bisa membaca. Dilakukan
berpasangan. Seorang anak harus membaca suruhan tertulis yang dibuat guru,
pasangan harus melakukan apa yang diperintahkan dalam bacaan. Perhatikan
Misalnya saya harus merunduk. Saya memegang lutut kiri. Saya menari sambil
memegang kepala. Guru memperhatikan beberapa perintah yang dilaksanakan dengan
benar dan apakah pembaca membaca perintah dengan benar. Permainan dilakukan
bergantian. Permainan ini untuk melatih membaca dan menyimak.
f.
Bermain telepon. Permainan ini untuk kelas rendah. Siswa secara berpasangan harus
mempersiapkan alat untuk menelpon, baik telepon biasa maupun telepon genggam.
Siswa harus menelpon temannya menanyakan pekerjaan rumah atau buku pelajaran
yang dibawa besok hari. Biarkan siswa mengembangkan percakapannya sendiri,
kecuali kalau terhenti, guru memberi pancingan berupa pertanyaan kepada
siswa. Guru memperhatikan cara siswa
mengungkapkan gagasan dan kalau perlu cara pelafalan yang benar. Permainan ini
untuk melatih berbicara.
g.
Meloncat bulatan kata. Buatlah
bulatan-bulatan dari kertas karton, kira-kira sebesar piring. Tulislah
nama-nama susuna keluarga, misalnya; ayah, ibu, kakak, adik. Pasanglah bulatan kata itu di lantai. Bentuklah siswa menjadi beberapa
kelompok. Seluruh siswa setiap kelompok meloncati bulatan kata yang diucapkan
kelompok lain atau guru. Misalnya loncat ke kakak, loncat ke ibu, loncat ke
adik. Dengan demikian, setiap anak membaca bulatan untuk diinjak. Lebih meningkat lagi, bulatan kata bisa dalam bentuk yang lebih sulit,
misalnya kata yang bila digabung menjadi kalimat. Kata dalam bulatan disebar di
lantai dan memungkinkan dapat menyusun beberapa kalimat bila diloncati dengan
benar. Misalnya: Ayah pergi ke pasar. Ayah membawa buku. Jadi siswa harus
loncat ke ayah, pergi ke dan pasar. Permainan ini untuk membaca permulaan.
RPS 12 & 13
PENGERTIAN EVALUASI / ASESMEN, JENIS-JENIS EVALUASI, ASESMEN BAHASA INDONESIA
DAN CONTOH
Evaluasi Dan Asesmen
Evaluasi
adalah proses melakukan pertimbangan nilai tentang sesuatu (produk, kinerja,
tujuan, proses, prosedur, program pendekatan, fungsi). Evaluasi Belajar dan
Kemampuan (dapat menghasilkan kelulusan). Evaluasi sering menggunakan asesmen.
Sedangkan, Asesmen adalah proses untuk memperoleh informasi yang dapat
digunakan pada evaluasi. Asesmen atau penilaian merupakan tahapan dalam proses
belajar mengajar yang relatif cukup rumit pelaksanaannya. Penilaian sering
diterjemahkan dari dua istilah asing yang sebenarnya memiliki makna berbeda.
Dua istilah tersebut adalah evaluation dan assessment.
Assessment merupakan
proses pengumpulan dan diskusi tentang informasi yang diperoleh dari berbagai
sumber, dalam rangka mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang apa yang
sudah diketahui dan dipahami oleh mahasiswa, dan apa yang dapat mereka lakukan
dengan pengetahuan dan pemahamannya itu sebagai hasil dari pengalaman belajar
yang mereka peroleh. Melalui Assessment dapat ditentukan
seberapa jauh kemajuan belajar mahasiswa. Melalui assessment dapat diketahui
capaian competency level melalui program-program yang mereka
tempuh dan memungkinkan bagi mereka untuk menunjukkan capaian standar
sebagaimana yang telah ditetapkan. Assessment lebih bermakna
sebagai penilaian yang dilakukan untuk memberikan ‘ grade’ baik
secara numeric (misalnya skala 100 atau skala 5), abjad (A – F), dan deskripsi,
baik yang menyangkut order seperti sangat baik, baik, cukup, kurang dan
sebagainya atau yang bersifat dikotomi seperti kompeten atau tidak kompeten.
Banyak
orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement),
tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang
berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu
program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak,
dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi
berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin
Syamsuddin Makmun, 1996) memengemukakan bahwa : educational evaluation is the
process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging
decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa
esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan
keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap
kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos
kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.
Penilaian
(assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat
penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta
didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik.
Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar
seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan
naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran
berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.
Jenis
Asesmen dan Evaluasi
Assesmen
a. Asesmen Konvensional : Secara
konvensional, evaluasi terhadap suatu kemampuan (pengetahuan atau keterampilan)
siswa dilakukan dengan suatu proses pengukuran terhadap kemampuan tersebut
menggunakan teknik tes
b. Asesmen Alternatif : Teknik
pengukuran untuk mengevaluasi kemampuan siswa dengan menggunakan teknik
pengukuran non-tes.
c. Asesmen Otentik : Salah satu bentuk asesmen alternatif yang
teknik pengukurannya meminta siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan atau
menunjukkan keterampilan sebagaimana pengetahuan atau keterampilan itu dipakai
dalam dunia nyata.
d. Asesmen Kinerja : Bentuk asesmen
alternatif lain yang teknik pengukurannya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menciptakan berbagai situasi untuk siswa atau menciptakan berbagai
situasi agar siswa dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengaplikasikan
pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai situasi (Marzano, 1992). Pemanfaatan bentuk-bentuk asesmen di atas
dilakukan dengan mengacu pada prinsip asesmen berikut. Dilakukan secara sistematis melalui
pengamatan, perekaman,dan analisis
Delakukan dengan dengan memperhatikan tujuan pengajaran (prilaku yang
terukur, kondisi, dan kriteria).
e. Asesmen Alternatif
Bentuk Asesmen Alternatif. Teknik
asesmen alternatif yang dibahas pada bagian ini meliputi catatan sekolah,
cuplikan kerja, portofolio, wawancara, observasi, dan jurnal.
·
Catatan
sekolah :
laporan tentang kemajuan belajar siswa berupa deskripsi tentang aspek – aspek
yang dialami siswa berkaitan dengan mata pelajaran di sekolah
·
Cuplikan
kerja dan tes performansi : unjuk kerja kegiatan yang
dihasilkan siswa berkaitan dengan pengetahuan yang sedang dipelajari.
·
Portofolio :
berkas bukti – bukti yang disusun untuk mendapatkan akreditasi perolehan
belajar melalui pengalaman. Dalam format penilaian portofolio dideskripsikan
tentang metode, pemenuhan kriteria, dan keputusan (diterima,ditolak, bersyarat
dengan tambahan). Untuk ini lampiran berkas bukti – bukti untuk kerja siswa
harus diperhatikan.
·
Wawancara :
teknik asesmen lisan yang digunakan untuk memperoleh jawaban dari siswa tentang
sesuatu yang telah dipelajari. Asesmen dengan wawancara ini dapat dipakai
sebagai penunjang atan pelengkap jika dengan asesmen yang lain belum didapatkan
gambaran yang jelas tentang siswa.
·
Observasi : teknik asesmen alternatif
yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara teliti serta mencatat
secara sistematis tentang sesuatu yang terjadi dikelas berkaitan dengan materi
yang ditargetkan guru. Observasi ini harus selalu diusahakan dalan situasi yang
alami agar mendapatkan data yang sebenarnya.
·
Jurnal :
Jurnal merupakan catatan harian siswa yang menggambarkan kegiatan siswa setiap
hari. Jurnal ini dapat berisikan hal – hal yang dilakukan siswa diluar jam
sekolah. Selain itu dapat juga dipakai oleh guru untuk memberi pertimbangan,
motivasi, dan penguatan kepada siswa.
·
Catatan
Anekdotal : catatan pengamatan informal yang menggambarkan
perkembangan bahasa maupun perkembangan sosial, kebutuhan, kelebihan,
kekurangan, kemajuan, gaya belajar, ketarampilan, dan strategi yang digunakan
peserta didik atau yang berkaitan dengan hal apa saja yang tampak bermakna
ketika dilakukan pengamatan. Catatan ini berisi komentar singkat yang spesifik
mengenai sesuatu yang dikerjakan dan yang perlu dikerjakan siswa yang
didokumentasikan secara terus menerus sehingga menggambarkan kemampuan
berbahasa anak secara luas.
Evaluasi (Penilaian)
Sasaran
yang dinilai dalam penilaian proses adalah tingkat efektivitas KBM dalam rangka
pencapaian tujuan pengajaran. Penilaian proses merupakan upaya mengumpulkan
informasi tentang kemajuan belajar siswa. Jenis penilaian ini dimaksudkan untuk
mengetahui kemajuan belajar siswa untuk keperluan perbaikan dan peningkatan
kegiatan belajar siswa serta untuk memperoleh umpan balik bagi perbaikan
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Untuk mengetahui kegiatan kemajuan
belajar, serta hasil belajar dapat digunakan 3 jenis penilaian, yaitu : ulangan
harian (formatif), tugas dan pekerjaan rumah, serta ulangan umum (sumatif).
1. Ulangan harian dapat dilakukan dalam bentuk
tulis, lisan/mencongak, perbuatan, dan pengamatan pada setiap akhir pokok
bahasan. Ulangan harian dilaksanakan minimal 4 kali dalam satu semester.
2. Tugas dan pekerjaan rumah dilaksanakan untuk
setiap mata pelajaran di setiap tingkatan/kelas. Pemberian tugas dan pekerjaan
rumah dilakukan secara teus menerus dengan menggunakan teknik yang bervariasi,
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran (pokok bahasan). Pelaksanaan
pemberian tugas dan pekerjaan rumah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan
berikut.
(a) Jumlah tugas dan pekerjaan rumah hendaknya
tidak memberatkan siswa.
(b) Tujuan pokok pemberian tugas dan pekerjaan
rumah adalah agar siswa dapat menerapkan atau menggunakan apa yang telah
dipelajarinya.
(c)
Waktu pemberian tugas dan pekerjaan rumah diatur sedemikian rupa, sehingga
tidak terjadi dalam waktu yang sama.
(d) Ulangan umum (sumatif) dilakukan dalam bentuk
tulis, lisan, atau perbuatan pada akhir semester. Alat penilaian yang digunakan
disesuaikan dengan karakteristik setiap mata pelajaran, tingkat kelas, dan
kondisi yang ada.
Bentuk
soal uraian lebih diutamakan, dengan maksud untuk merangsang daya pikir siswa
dan melatih siswa dalam mengemukakan pendapat, tanggapan, dan pemikirannya.
Pusat perhatian penilaian proses belajar adalah tingkat efektivitas proses
kegiatan belajar dalam mencapai tujuan pengajaran sedangkan pusat perhatian
penilaian hasil belajar adalah tingkat penguasaan peserta didik terhadap
materi yang dipelajari. Keduanya bersifat saling mengisi, masalah proses
dan hasil sama pentingnya. Hasil yang baik dapat dicapai jika proses belajar
mengajarnya baik dan proses yang baik akan dapat melahirkan hasil yang baik
pula.
Jenis
penilaian yang pertama dari kedua (ulangan dan tugas/pekerjaan rumah) dapat
dikategorikan sebagai penilaian proses, sedangkan jenis penilaian yang ketiga
(ulangan umum) termasuk penilaian hasil belajar.
Penilaian
proses dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis alat penilaian, yakni
menggunakan alat yang berupa tes dan nontes. Jenis tes yang dapat digunakan
berupa tes tulis, tes lisan, dan tes perbuatan/tindakan. Para ahli menyarankan,
sebaiknya tes yang digunakan dalam penilaian proses berupa tes uraian, bukan
tes objektif, dengan pertimbangan tes uraian dapat mendorong siswa untuk
berpikir analitis, kritis, dan kreatif. Dalam penilaian proses ini guru
memiliki peluang yang cukup untuk dapat mengimplementasi prinsip-prinsip bahasa
Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh KBK.
Penerapan Teknik Asesmen Alternatif dalam Aspek
Kognitif
Penjelasaan
mengenai penerapan teknik asesmen alternatif dalam aspek kognitif ini akan
diuraikan melalui pemberian contoh pengajaran menulis sebagai berikut. Materi:
Menulis Deskripsi untuk Kelas V SD. Tujuan Pengajaran: Siswa memahami cara
menulis prosa deskripsi dengan ejaan yang benar. Serta mengkomunikasikan ide
atau pesan secara tertulis. Isi/Keterampilan: Aspek kognitif (K1, K2, K3, K4,
K5, K5).
Teknik
asesmen alternatif yang dapat dipilih:
1. Cuplikan Kerja : Buat sebuah paragraf
deskripsi dengan topik : kegiatan disekolah: Upacara Bendera paling sedikit 30
kata, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasil tulisanmu akan
dinilai dari segi: ketepatan isi, kerapihan, tulisan, penggunaan ejaan dan tanda-
tanda baca, dan pemakaiaan kata – kata. Selesaikan tuhas ini dalam waktu 30
menit.
2. Observasi : Guru mengamati murid –
murid ketika ditugasi membuat karangan deskripsi tentang kegiatan sekolah:
Upacara Bendera. Guru juga mencatat murid – murid yang dapat dan yang belum
dapat membuat karangan deskripsi terutama murid – murid yang mengalami
kesulitan dalam memulai tulisannya. Dari hasil observasi ini, secara individual
guru memberikan bimbingan cara menulis deskripsi dalam bahasa indonesia yang
baik dan benar.
3. Wawancara : Wawancara yang digunakan
dalam asesmen ini adalah wawancara terbatas yang digunakan sebagai penunjang
teknik asesmen alternatif lainnya. Dari hasil observasi kita menemui murid yang
mengalami kesulitan membuat karangan deskripsi dan pada kegiatan wawancara guru
melihat kembali pengetahuan dan pemahaman murid mengenai mengarang deskripsi,
dengan memancing melalui pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan deskripsi?
- Kapan kemu mengikuti upacara bendera?
Di mana?
- Siapa saja yang mengikuti upacara
bendera?
- Apa saja yang terjadi pada saat
upacara bendera? dan lain – lain.
4. Portofolio : Guru dapat memberikan
pangakuan atas kemampuan mengarang deskripsi siswa berdasarkan berkas – berkas
bukti cuplikan kerja, hasil observasi, dan wawancara. Bila siswa sudah memenuhi
kriteria yang ditentukan guru, ini berarti siswa telah diakui memiliki
kemamupan tersebut. Akan tetapi bila siswa sudah dapat mengarang deskripsi
tetapi belum sempurna dalam arti misalnya kurang mampu menulis dengan ejaan
yang baik dan benar maka siswa dinyatakan bersyarat. Dengan demikian, siswa
yang bersangkutan harus mengikuti petunjuk yang diberikan guru. Misalnya
mengikuti wawancara, dan atau mengulang membuat karangan deskripsi dengan topik
yang sama.
5. Catatan Sekolah : Dari uraian
portofolio di atas, hasil akreditasi kemampuan siswa dilaporkan dalam bentuk
catatan sekolah, misalnya dari hasil pengalaman belajar siswa (Gia) pada catur
wulan ini Gia sudah tahu dan paham mengenai karangan deskripsi. Pemilihan
kosakata cukup bagus, hanya Gia masih kurang tepat menggunkan ejaan atau tanda
baca.
6. Catatan Anekdotal : Catatan menulis
Gia, siswa kelas V
Sikap: 10
Mei 2003 senang menulis cerita, banyak melakukan kegiatan berbicara tentang isi
tulisannya
Penilaian Aspek Pengajaran Bahasa
Indonesia
Untuk
dapat menilai kegiatan belajar yang bertumpu pada keterampilan membaca guru
perlu mengetahui cara yang efektif dalam kegiatan belajar membaca. Berikut
dikemukakan beberapa hal yang seringkali dipandang sebagai penghambat dalam
belajar membaca, khususnya membaca permulaan. Tingkah laku dalam membaca
tersebut antara lain sebagai berikut.
·
membaca kata demi kata dengan cara yang
lambat
·
membaca cepat, tanpa memperhatikan tanda
baca
·
menggunakan telunjuk jari
·
mengulang kata, frasa, atau baris
·
kehilangan jejak/tempat sewaktu membaca
·
membaca gambar sebagai ganti membaca
huruf
·
tidak dapat membedakan frasa dalam
membaca bersuara
·
menggunakan suara yang monoton
·
menggunakan suara yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah
·
menggunakan suara yang terlalu keras
atau terlalu lemah
·
menggerakkan kepala dalam membaca
·
bergumam dalam membaca
·
membaca dengan cara yang sama untuk
semua jenis bacaan
·
tampak tegang dalam membaca
·
mudah terkecoh oleh bacaan
·
menghindari hal yang dianggap sulit
·
tidak dapat duduk tenang dalam membaca
·
terlalu banyak bertanya selama membaca
Kesulitan menganalisis kata
·
kata dan kebalikannya
·
huruf dan kebalikannya
·
sulit mengucapkan kata
·
mengganti kata dengan sinonimnya
·
sulit mengidentifikasikan rima kata
·
tidak dapat mengucapkan rima kata secara
otomatis
·
salah mengucapkan huruf
·
tidak dapat mengidentifikasi kata yang
dimulai dengan bunyi-bunyi tertentu
·
sulit membedakan antara bunyi panjang dan
bunyi pendek
·
sulit membedakan vokal panjang dalam
suatu kata
·
sulit mengingat kata
·
butuh waktu ekstra untuk mengerjakan
tugas membaca
Kesulitan pemahaman
·
menambah atau mengurangi kata dalam
membaca
·
berhenti setiap ada tanda baca
·
menghindari ketidaksesuaian dalam
membaca
·
tidak dapat mengingat detail isi
·
tidak dapat mengurutkan isi bacaan
·
tidak dapat meramalkan akhir isi bacaan
·
sulit menceritakan kembali isi
·
menjawab pertanyaan berdasarkan
pengalaman pribadi, bukan teks bacaan
·
sulit membuat inferensi
·
sulit menyimpulkan apa yang dibacanya
·
sulit menunjukkan tempat suatu informasi
dalam teks
·
sulit mengidentifikasi ide pokok
·
tidak dapat menjawab pertanyaan
sehubungan dengan kata yang terdapat dalam teks
·
tidak dapat memberikan sinonim atau
antonim kata
·
sulit mengikuti petunjuk dalam bacaan
(Rofi’uddin, 1996).
RPS 14 & 15
PEMBELAJARAN KONSTEKTUAL, QUANTUM LEARNING, PEMBELAJARAN KOOPERATIF,
PEMBELAJARAN INTERAKTIF, PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCESS, PROGRAM
INDIVIDU, AKSELERASI, PAKEM,CONTOH RPP TIAP MODEL
Pembelajaran
Kontekstual
Sebuah sistem belajar yang
didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka
menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap
makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru
dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine
B. Johnson, 2007:14).
Dalam
Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu:
(1)
Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
(2)
melakukan pekerjaan yang berarti,
(3)
melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
(4)
bekerja sama,
(5)
berpikir kritis dan kreatif,
(6)
membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
(7)
mencapai standar yang tinggi, dan
(8)
menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).
Berdasarkan pengertian di atas dapat
dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar
yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa
secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat
makna di dalamnya. Pembelajaran Kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam
bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari
guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pembelajaran
Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses
keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari
dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109). Dari
konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami.
Pertama, pembelajaran Kontekstual
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya,
proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran
Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang
diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, pembelajaran Kontekstual
mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional
dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Ketiga, pembelajaran Kontekstual
mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya,
Pembelajaran Kontekstual tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran
Kontekstual tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai
bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.
Terdapat
lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan
pendekatan Kontekstual:
1)
Dalam Pembelajaran Kontekstual pembelajaran
merupakan proses pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activing
knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari
pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan
diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu
sama lain.
2)
Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran
dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu dapat diperoleh
dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara
keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
3)
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan
diyakini.
4)
Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya,
pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan nyata.
5)
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan
pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan
penyempurnaan strategi.
Quantum Learning
Pengajaran yang dapat mengubah suasana belajar yang
menyenangkan serta mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi sesuatu
yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Quantum Learning
merupakan suatu pembelajaran yang mempunyai misi utama untuk mendesain suatu
proses belajar yang menyenangkan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang
mempengaruhi kesuksesan siswa. Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan
seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta
membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa
teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah
populer dan umum digunakan.
Namun, Bobbi DePorter mengembangkan
teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi
responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas. Quantum
learning muncul dari upayaGeorgi Lozanov, pendidik
berkebangsaan Bulgaria yang melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology(suggestopedia).[3] Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti
mempengaruhi hasil situasi belajar, dan set iap detil apa pun memberikan
sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa
teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman.
Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar,
yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni
pengajaran sugestif bermunculan.
Selanjutnya, Bobbi DePorter &
Mike Hernacki (2011:30) mengungkapkan mengenai karakterisitik dari pembelajaran
kuantum (quantum learning) yaitu sebagai berikut.
Pembelajaran
kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba
sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai.
1)
Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan
positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis.
2)
Pembelajaran kuantum lebih bersifat
konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau
maturasionistis.
3)
Pembelajaran kuantum berupaya memadukan
(mengintegrasikan), menyinergikan, dan mengkolaborasikan faktor potensi diri
manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks
pembelajaran.
4)
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada
interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna.
5)
Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada
pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
6)
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan
kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang
dibuat-buat.
7)
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan
dan kebermutuan proses pembelajaran.
8)
Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan
konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang
memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau
mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis.
9)
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada
pembentukan keterampilan akademis, keterampilan (dalam) hidup, dan prestasi
fisikal atau material.
10)
Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan
sebagai bagian penting proses pembelajaran.
11)
Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan
kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban.
12)
Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh
dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Tujuan
Menurut Bobbi DePorter & Mike
Hernacki (2011:12) adapun tujuan dari pembelajaran kuantum (quantum
learning) adalah sebagai berikut. Untuk menciptakan lingkungan belajar
yang efektif. Untuk menciptakan proses belajar yang menyenangkan. Untuk
menyesuaikan kemampuan otak dengan apa yang dibutuhkan oleh otak. Untuk
membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karir. Untuk membantu mempercepat
dalam pembelajaran
Tujuan di atas, mengindikasikan
bahwa pembelajaran kuantum mengharapkan perubahan dari berbagai bidang mulai
dari lingkungan belajar yaitu kelas, materi pembelajaran yang menyenangkan,
menyeimbangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan, serta mengefisienkan waktu
pembelajaran. Menurut Kompasiana (2010) Lingkungan belajar dalam pembelajaran
kuantum terdiri dari lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro
adalah tempat siswa melakukan proses belajar, bekerja, dan berkreasi. Lebih
khusus lagi perhatian pada penataan meja, kursi, dan belajar yang teratur.
Lingkungan makro yaitu dunia luas, artinya siswa diminta untuk menciptakan
kondisi ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta berinteraksi sosial ke
lingkungan masyarakat yang diminatinya, sehingga kelak dapat berhubungan secara
aktif dengan masyarakat.
Selain itu, Bobbi DePorter,et
al., (2004:14) menyatakan mengenai lingkungan dalam konteks panggung
belajar. “Lingkungan yaitu cara guru dalam menata ruang kelas, pencahayaan
warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, musik, dan semua hal yang mendukung
proses belajar”. Jadi, dapat dikatakan bahwa pembelajaran kuantum sangat
memperhatikan pengkondisian suatu kelas sebagai lingkungan belajar dari peserta
didik mengingat model pembelajaran kuantum merupakan adaptasi dari model
pembelajaran yang diterapkan di luar negeri.
Keunggulan dan Kelemahan Model pembelajaran
Kuantum (Quantum Learning) Bobbi DePorter & Mike Hernacki (2011:18-19) dalam
bukunya yang berjudul ”Quantum Learning” juga menjelaskan mengenai
keunggulan dan kelemahan dari pembelajaran kauntum (quantum learning) yaitu
sebagai berikut.
Keunggulan
1)
Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi
kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep
kuantum dipakai.
2)
Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan
positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis.
3)
Pembelajaran kuantum lebih konstruktivis(tis), bukan
positivistis-empiris, behavioristis.
4)
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada
interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna.
5)
Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada
pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
6)
Pembelajaran kuantum sangat menentukan kealamiahan dan
kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang
dibuat-buat.
7)
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan
dan kebermutuan proses pembelajaran.
8)
Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan
konteks dan isi pembelajaran.
9)
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada
pembentukan keterampilan akademis, keterampilan (dalam) hidup, dan prestasi
fisikal atau material.
10) Pembelajaran
kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses
pembelajaran.
11) Pembelajaran
kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan
ketertiban.
12) Pembelajaran
kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Kelemahan
1)
Membutuhkan pengalaman yang nyata
2)
Waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan motivasi dalam
belajar
3)
Kesulitan mengidentifikasi keterampilan siswa
Berdasarkan pemaparan keunggulan dan
kelemahan pembelajaran kuantum, pembelajaran kauntum sangat memperhatikan
keaktifan serta kreatifitas yang dapat dicapai oleh peserta didik. Pembelajaran
kuantum mengarahkan seorang guru menjadi guru yang “baik”. baik dalam arti
bahwa guru memiliki ide-ide kreatif dalam memberikan proses pembelajaran,
mengetahui dengan baik tingkat kemampuan siswa.
Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan
pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja
sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Konsep Dasar
Pembelajaran Kooperatif
Pada
dasarnya manusia mempunyai perbedaan, dengan perbedaan itu manusia saling asah,
asih, asuh ( saling mencerdaskan ). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan
saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat
belajar ( learning community ). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru,
tetapi dengan sesama siswa juga. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran
yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk
menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan
permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
Ciri-Ciri
Pembelajaran Kooperatif
Didalam
pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan. Menurut
Lie ( 2004 ):
1. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru
menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan atau
yang biasa disebut dengan saling ketergantungan positif yang dapat dicapai
melalui : saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan
menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling
ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah.
2. Interaksi tatap muka
Dengan hal ini dapat memaksa siswa
saling bertatap muka sehingga mereka akan berdialog. Dialog tidak hanya
dilakukan dengan guru tetapi dengan teman sebaya juga karena biasanya siswa
akan lebih luwes, lebih mudah belajarnya dengan teman sebaya.
3. Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan
wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian
ini selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok
mengetahui siapa kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat
memberikan bantuan,maksudnya yang dapat mengajarkan kepada temannya. Nilai kelompok
tersebut harus didasarkan pada rata-rata, karena itu anggota kelompok harus
memberikan kontribusi untuk kelompnya. Intinya yang dimaksud dengan
akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang didasarkan pada
rata-rata penguasaan semua anggota secara individual.
4. Keterampilan menjalin hubungan antar
pribadi
Keterampilan sosial dalam menjalin
hubungan antar siswa harus diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan
antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga siswa lainnya.
Unsur – Unsur
Model Pembelajaran Kooperatif. Menurut Roger dan
David Johnson ada 5 unsur dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu :
1. Positive interdependence ( saling
ketergangtungan positif ). Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran
kooperatif ada 2 pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang
ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara
individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
Beberapa cara membangun saling
ketergantungan positif yaitu :
a) Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa
dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua
anggota kelompok mencapai tujuan.
b) Mengusahakan agar semua anggota kelompok
mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai
tujuan.
c) Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap
peserta didik dalam kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas
kelompok.
d) Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau
peran yang saling mendukung dan saling berhubungan, saling melengkapi dan
saling terikat dengan peserta didik lain dalam kelompok.
2. Personal responsibility ( tanggung
jawab perorangan ). Tanggung jawab perorangan merupakan kunci untuk menjamin
semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.
3. Face to face promotive interaction (
interaksi promotif ). Unsur ini penting untuk dapat menghasilkan saling
ketergantungan positif. Ciri – ciri interaksi promotif adalah :
a. Saling membantu secara efektif dan efisien
b. Saling memberi informasi dan sarana yang
diperlukan
c. Memproses informasi bersama secara lebih
effektif dan efisien
d. Saling mengingatkan
e. Saling percaya
f. Saling memotivasi untuk memperoleh
keberhasilan bersama
4.
Interpersonal skill ( komunikasi antar anggota / ketrampilan ). Dalam unsur ini
berarti mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan
peserta didik, maka hal yang perlu dilakukan yaitu :
a. Saling mengenal dan mempercayai
b. Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak
ambisius
c. Saling menerima dan saling mendukung
d. Mampu menyelesaikan konflik secara
konstruktif.
5. Group processing ( pemrosesan
kelompok ). Dalam hal ini pemrosesan berarti menilai. Melalui pemrosesan
kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan
kegiatan dari anggota kelompok. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif
untuk mencapai tujuan kelompok.
Tujuan
Pembelajaran Kooperatif
1. Meningkatkan hasil belajar akademik. Meskipun
pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan social, tetapi juga
bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas – tugas akademik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami
konsep – konsep yang sulit.
2. Penerimaan terhadap keragaman. Pembelajaran
kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbada latar belakang dan kondisi
untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas – tugas bersama.
3. Pengembangan ketrampilan sosial. Mengajarkan
kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi untuk saling berinteraksi
dengan teman yang lain.
Model pembelajaran
Interaktif
Suatu cara atau teknik pembelajaran yang digunakan guru
pada saat menyajikan bahan pelajaran dimana guru pemeran utama dalam menciptakan
situasi interaktif yang edukatif, yakni interaksi antara guru dengan siswa,
siswa dengan siswa dan dengan sumber pembelajaran dalam menunjang tercapainya
tujuan belajar. Menurut
Syah (1998) proses belajar mengajar keterlibatan siswa harus secara totalitas,
artinya melibatkan pikiran, penglihatan, pendengaran dan psikomotor
(keterampilan, salah satunya sambil menulis). Dalam proses mengajar seorang
guru harus mengajak siswa untuk mendengarkan, menyajikan media yang dapat
dilihat, memberi kesmpatan untuk menulis dan mengajukan pertanyaan atau
tanggapan sehingga terjadi dialog kreatif yang menunjukan proses belajar
mengajar yang interaktif.
Dari
beberapa pendapat mengenai model pembelajaran interaktif tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa model ini dirancang untuk menjadikan suasana belajar mengajar
di kelas berpusat pada siswa agar aktif membangun pengetahuannya melalui
penyelidikan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Didalam model
pembelajaran interaktif siswa diberi kesempatan untuk melibatkan
keingintahuannyadengan cara membuat pertanyaan mengenai topik yang akan
dipelajari, kemudian melakukan penyelidikan tentang pertanyaan mereka sendiri.
Pertanyaan
yang muncul dari siswa dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mengetahui
pengetahuan awal siswa. Disini guru berperan untuk membimbing siswa agar
pertanyaan tidak melenceng dari tujuan pembelajaran. Pertanyaan yang
dilontarkan oleh siswa menunjukkan rasa ingin tahu siswa terhadap topik yang
akan dibahas dan menimbulkan minat siswa untuk meneliti dan berinvestigasi.
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences
Inteligensi terkait erat dengan tingkat kemampuan
seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik itu kemampuan secara
fisik maupun non fisik. Banyak hal yang telah diteliti orang tentang kemampuan
ini, sehingga melahirkan rumus tetang bagaimana mengukur tingkat inteligensi
seseorang. Teori Kecerdasan manusia pertama kali dikembangkan oleh Alfred Binet
seorang psikolog dengan nama IQ (Intellegent Quotient). Namun IQ bukanlah satu-satunya
komponen kecerdasan.
Seseorang yang memiliki nilai IQ tinggi belum tentu
mandiri dalam berfikir, bertindak, menghargai keindahan, humor yang baik,
memiliki akal, fasih, fleksibel, cerdik dan komprehensif. Dengan kata
lain, IQ bukanlah tolak ukur utama kecerdasan manusia. Jean Piaget yang
merupakan ahli psikolog cognitive developmental mendefinisikan kecerdasan
merupakan sesuatu yang digunakan jika kamu tidak tahu apa yang harus kamu
lakukan (intelligence is what you use when you don`t know what to do).
Sedangkan Gardner mendefinisikan
kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk
yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya dan masyarakat
(intelligence has ability to solve problems, to create products, that are
valued within one or more cultural). Dari uraian diatas dapat diartikan
bahwa kecerdasan harus mengandung dua aspek yakni kemampuan berfikir abstrak
dan kapasitas untuk belajar dari pengalaman. Menurut Gardner, manusia mempunyai
lebih dari satu intelegensi dengan kemampuan yang berbeda yang kemudian
disebutnya dengan sebutan multiple intelligence (kecerdasan majemuk).
Kecerdasan tersebut diantaranya;
a. Kecerdasan Bahasa (Linguistik Intelligence). Kecerdasan Linguistik yaitu kemampuan dalam menggunakan dan mengolah kata dalam bentuk tulisan atau lisan. Kecerdasan liguistik berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi dan berdebat, kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa secara umum. Seseorang yang mempunyai kecerdasan linguistik biasanya merespon dan mendengar setiap suara dan ritme. Biasanya ahli dalam makna kata (semantik), aturan kata (sintaksis), ungkapan kata maupun fungsi bahasa (pragmatik).
a. Kecerdasan Bahasa (Linguistik Intelligence). Kecerdasan Linguistik yaitu kemampuan dalam menggunakan dan mengolah kata dalam bentuk tulisan atau lisan. Kecerdasan liguistik berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi dan berdebat, kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa secara umum. Seseorang yang mempunyai kecerdasan linguistik biasanya merespon dan mendengar setiap suara dan ritme. Biasanya ahli dalam makna kata (semantik), aturan kata (sintaksis), ungkapan kata maupun fungsi bahasa (pragmatik).
Seseorang
yang mempunyai kecerdasan linguistik tinggi senang mengekspresikan diri dengan
bahasa. Untuk mengembangkan kecerdasan linguistic peserta didik, guru
dapat melakukan kegiatan pembelajaran diantaranya bermain kata, diskusi
kelompok, sandiwara/pertunjukan, tim debat, curah gagasan, tell story, teka
teki silang dan menulis jurnal.
b.Kecerdasan Matematika -logika (Logical-Mathematical Intelligence). Kecerdasan Matematika – logika (Logical-Mathematical Intelligence) yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah dengan penalaran yang logis, menggunakan angka dengan baik. Kecerdasan ini digunakan untuk menciptakan hipotesis dan mengujinya dengan data eksperimen. Kecerdasan ini adalah kepekaan pada pola logika untuk menganalisa kasus atau permasalahan, dan melakukan perhitungan matematis.
Seseorang
yang dominan kecerdasan matematik logika biasanya senang dengan
angka-angka, menyukai ilmu pengetahuan, suka memecahkan misteri, senang
menghitung, senang mengestimasi, atau menerka jumlah, mudah mengingat
angka-angka, menyukai permainan yang menggunakan strategi seperti catur,
memperhatikan hubungan antara perbuatan dengan akibatnya (yang disebut sebab
akibat), menghabiskan waktu mengerjakan asah otak atau teka-teki logika, senang
mengorganisasikan informasi dalam tabel serta grafik, dan menggunakan komputer
lebih dari sekedar untuk bermain permainan.
Cara ataupun kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengembangkan kecerdasan Logis-Matematis diantaranya adalah: menggunakan tanya jawab, pemecahan masalah, mengkonstruksi model-model dari konsep-konsep kunci, ekspeiman, dan permainan yang menggunakan strategi dan logika.
Cara ataupun kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengembangkan kecerdasan Logis-Matematis diantaranya adalah: menggunakan tanya jawab, pemecahan masalah, mengkonstruksi model-model dari konsep-konsep kunci, ekspeiman, dan permainan yang menggunakan strategi dan logika.
c.Kecerdasan dimensi
ruang (Visual-Spatial Intelligence). Kecerdasan spasial disebut juga kecerdasan visual
yaitu kemampuan untuk memahami konsep ruang, posisi, letak dan bentuk-bentuk
tiga dimensi. Biasanya suka menggambarkan ide-ide atau membuat sket untuk
membantu memecahkan masalah, berpikir dalam bentuk gambar-gambar serta mudah
melihat berbagai objek. Kegiatan
pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan dimensi ruang
ini dengan cara membangun lingkungan belajar , presentasi bergambar, permainan
kartu, memperbanyak visual baik secara konvensional maupun dengan teknologi.
d. Kecerdasan Kinestetik (Bodily-Kinestehetic Intelligence). Kecerdasan Kinestetik-Jasmani (Bodily-Kinestehetic Intelligence) yaitu kemampuan mengkoordinasi penglihatan dan gerak tubuh atau keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Kecerdasan ini berhubungan dengan penggunaan tubuh secara terampil. Kecerdasan kinestetik dapat juga diartikan sebagai keterampilan dalam menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu menjadi karya (kerajinan). Seseorang yang memiliki kecerdasan kinestetik biasanya suka bergerak dan aktif, mudah dan cepat mempelajari keterampilan-keterampilan fisik, bergerak sambil berfikir, senang berakting, pandai meniru gerak-gerik serta ekspresi orang lain, berprestasi dalam sport tertentu, terampil membuat kerajinan atau membangun model-model, lihai dalam berdansa/menari. Proses pembelajaran yang dapat dilaksanakan adalah dengan melibatkan fisik secara umum dalam proses pembelajaran dan lakukan latihan melaui gerakan, permainan peran dan simulasi.
e. Kecerdasan Musical (Musical Intelligence). Kecerdasan Musical (Musical Intelligence) yaitu kemampuan untuk mengenali, mengolah yang berkaitan dengan nada-nada, dengan cara mempersepsi, membedakan, mengubah dan mengekspresikan. Seseorang yang memiliki kecerdasan musical biasanya senang menyanyi, senang mendengarkan musik, senang memainkan instrumen musik, mudah mengingat melodi atau nada, mudah mengenali banyak lagu yang berbeda, mendengar perbedaan antara instrumen yang berbeda-beda yang dimainkan bersama-sama, bersenandung atau bernyanyi sambil mengerjakan tugas, mudah menangkap irama dan suara-suara di sekelilingnya, senang membuat suara-suara musikal dengan tubuh (bersenandung, bertepuk tangan, menjentikkan jari atau menghentakkan kaki, mengarang atau menulis lagu-lagu atau rap sendiri).
Untuk mengembangkan
kecerdasan musical guru dapat melakukan pembelajaran di antaranya: mengemas
materi pelajaran dalam format berirama yang dapat dinyanyikan, menghafal
perkalian dengan menyanyikan dalam irama lagu tertentu dan guru juga bisa
mengubah lirik lagu untuk mengajarkan konsep.
f.
Kecerdasan Antarpribadi (Interpersonal Intelligence).
Kecerdasan antarpribadi (Interpersonal
Intelligence) yaitu kemampuan untuk menjalin interaksi sosial dan memelihara
hubungan sosial yaitu keterampilan seseorang dalam menciptakan, membangun dan
mempertahankan relasi tersebut atau kemampuan mempersepsi dan membedakan
suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan antarpribadi
biasanya suka mengamati sesama, mudah berteman, suka menawarkan bantuan ketika
seseorang membutuhkannya, senang dengan kegiatan-kegiatan kelompok, percaya
diri, dapat menerka bagaimana perasaan seseorang hanya dengan memandang,
menyemangati teman lain, lebih suka bekerja dan belajar berkelompok daripada
sendiri. Pengembangan kecerdasan interpersonal dalam kegiatan belajar dapat
dilakukan dengan melakukan kegiatan belajar secara kelompok, beri waktu luang
untuk siswa dapat berinteraksi antar sesamanya. Metodologi yang dapat dilakukan
adalah dengan problem solving.
g.
Kecerdasan Intrapribadi (Intrapersonal Intelligence).
Kecerdasan intrapribadi (Intrapersonal
Intelligence) yaitu kemampuan untuk memahami diri sendiri yaitu memahami
keinginan, minat hasrat dan harapan yang ada pada diri dan bertindak
berdasarkan pemahaman tersebut. Indikator yang menunjukkan kecerdasan
Intrapribadi adalah menyadari dan mengerti tentang emosi diri sendiri dan
oranglain, mampu mengembangkan konsep diri yang baik dan benar, lebih suka dan
mampu bekerja sendiri, menjunjung tinggi rasa percaya diri. Untuk melatih dan
mengembangkan kecerdasan ini dalam pembelajaran oleh guru diantaranya dengan
menyediakan waktu untuk refleksi diri dan menghargai perasaan serta
memberikan motivasi.
h.
Kecerdasan Naturalis: Naturalist Intelligence.
Kecerdasan Naturalis/Naturalist Intelligence
yaitu keahlian mengenali dan mengelompokan spesies flora dan fauna di
lingkungan sekitar. Orang yang memiliki kecerdasan ini mempunyai kepekaan pada
fenomena alam, suka memelihara binatang, suka berkebun, peduli tentang alam
serta lingkungan seperti pantai, gunung, cagar alam dan hutan, suka
mengobservasi lingkungan alam seperti mengobservasi batuan, jenis dan lapisan
tanah, aneka macam flora dan fauna. Untuk mengembangkan dan memanfaatkan
kecerdasan naturalis ini, guru dapat melakukan pembelajaran dengan menggunakan
media lingkungan sekitar, belajar di alam terbuka, mempelajari suatu materi
pembelajaran dengan mengamati fenomena alam atau mempelajari kejadian alam.
Pengertian Program Pembelajaran
Individual
Program
Pembelajaran Individual (PPI) adalah suatu program pendidikan dalam bentuk
pernyataan tertulis, untuk setiap siswa Anak Berkebutuhan Khusus yang
dikembangklan berdasarkan hasil pertemuan Tim Pengembang PPI.
Isi
Program Pembelajaran Individual
a. Pernyataan
tentang taraf kinerja anak saat ini
b. Pernyataan
tentang tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran untuk jangka waktu tertentu
(1 Semerter / 2 Semester)
c. Pernyataan tentang bentuk layanan khusus yang tersedia bagi setiap
siswa dengan kebutuhan khusus dan perluasan untuk mengikuti program regular.
d. Proyeksi waktu yang digunakan untuk memulai kegiatan dan antisipasi
waktu pelayanan
e. Kriteria pencapaian tujuan pembelajaran dan prosedur evaluasi
Kegunaan
Program Pembelajaran Individual
Program Pendidikan Individu untuk
menjamin bahwa siswa dengan kebutuhan khusus memiliki suatu program yang
diindividualkan untuk mempertemukan kebutuhan untuknya dan mengkomunikasikan
secara tertulis kepada individu-individu yang berkepentingan.
Langkah-langkah
Pengembangan Program Pembelajaran Individual
a. Membentuk
Tim
b. Membentuk
Asesmen kekuatan, kelemahan dan minat anak
c. Membentuk
tujuan umum (jangka panjang) dan tujuan khusus (jangka pendek) pembelajaran.
d. Membentuk
prosedur dan metode pembelajaran
e. Membentuk
metode evaluasi kemampuan anak
Tim
Program Pembelajaran Individual
a. Guru
Pendidikan Khusus
b. Guru
regular/ guru kelas
c. Diagnostician
d. Kepala
sekolah
e. Orang
tua
f. Siswa
yang bersangkutan (apabila diperlukan)
g. Spesialis
lain (konselor, guru musik, guru seni, guru olahraga dan lain-lain
Akselerasi
Menurut E.Mulyasa (2003:161)
akselerasi adalah belajar dimungkinkan untuk diterapkan sehingga siswa yang
memiliki kemampuan diatas rata-rata dapat menyelesaikan pelajarannya lebih
cepat dari masa belajar yang telah ditentukan. Jadi kelas akselerasi adalah
kelas yang diperuntukan bagi siswa yang belajarnya dipercepat sesuai dengan
tingkat pemahaman materisehingga ia dapat menempuh waktu studinya lebih cepat
dari waktu yang telah ditentukan pada kelas biasa.
Pembelajaran Kombinasi yang tersusun
meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur
yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Belajar akselerasi
adalah belajar yang dilakukan dengan waktu lebih pendek tanpa mengurangi materi
yang seharusnya dipelajari. Trianto Southern dan Jones dalam Akbar (2004: 7)
menyebutkan keuntungan dari penyelenggaraan program kelas akselerasi bagi anak
berbakat, antara lain:
Meningkatkan efisiensi .Siswa yang
telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat
akan belajar lebih baik dan efisien. Meningkatkan efektivitas. Siswa yang
terikat belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai
keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif.
Penghargaan Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya
memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya. Meningkatkan waktu untuk
karier. Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa,
penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain. Membuka siswa pada
kelompok barunya. Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung
dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama. Keuntungan
bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendidik guru
khusus anak berbakat.
Berdasarkan uraian diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa program akselerasi memberikan manfaat bagi anak yang
mempunyai bakat dan kemampuan lebih cepat dalam menangkap materi pelajaran,
selain itu dengan pembelajaran akselerasi siswa dimungkinkan untuk bergabung
dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama.
Akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan pendidikan yang tepat
bagi siswa yang cerdas. Proses yang terjadi akan memungkinkan siswa untuk
memelihara semangat dan gairah belajarnya. Akselerasi membawa siswa pada
tantangan yang berkesinambungan yang akan menyiapkan siswa menghadapi kekakuan
pendidikan selanjutnya dan produktivitas selaku orang dewasa. Melalui program
akselerasi ini, siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional pada usia yang
lebih muda dan memperoleh kesempatan-kesempatan untuk bekerja produktif
Kelas akselerasi berfungsi ssebagai
kelas percepatan bembelajaran yang disajikan kepada peserta didik yang memiliki
kemampuan lebih atau istimewa dengan materi atau kurikulum yang padat sehingga
dalam waktu lebih pendek mereka dapat menyelesaikan pendidikannya. Meskipun
pembelajaran akselerasi mempunyai loncatan perkembangna kognitif dan motorik
yang kasar , dapat tertinggal soal kematangan perkembangan, baik fisik, emosi,
motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara mereka. Mereka juga
membutuhkan pendekatan yang intensif dalam pembelajarannya.
Mereka membutuhkan pendekatan dua
arah sekaligus yaitu mengeliminasi kesulitan akibat perkembangan yang
dimilikinya dan bakat yang dimiliki oleh dirinya. Artinya : pertama, kearah
kesulitannya dimana ia membutuhkan dukungan, stimulasi, terapi, remidial
teaching, dan kesabaran. Kedua, membutuhkan berbagai materi yang sesuai dengan
karakteristik berpikir seseorang anak yang memiliki bakat yang lebih terhadap
materi yang penuh tantangan pengembangan kreativitas dan analisis.
Guru adalah tenaga pendidik yang
mempunyai tugas berat dan tanggung jawab kemanusiaan yang besar berkaitan
dengan proses pendidikan yang ada dalam diri generasi bangsa menuju
keberhasilan dalam mlepaskan bekenggu kebodohan. Guru merupakan contoh
bagi peserta didik untuk ditiru dalam perilaku yang dimiliki serta kemampuan
yang dimiliki untuk manambah wawasan yang luas. Guru diharapkan dapat
membimbingnya dalam menapaki tahapan tumbuh kembangnya yang sulit tersebut
dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dalam
lingkungan yang nyaman.
PAKEM
PAKEM merupakan model pembelajaran
dan menjadi pedoman dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, (Rusman, 2010:322). Dengan pelaksanaan pembelajaran PAKEM,
diharapkan berkembangnya berbagai macam inovasi kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang partisipatif, aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Pembelajaran merupakan implementasi kurikulum di sekolah dari
dari kurikulum yang sudah dirancang dan menuntut aktivitas dan kreativitas guru
dan siswa sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan secara efektif dan
menyenangkan. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Brooks (Rusman, 2010;323),
yaitu “ pembaruan dalam harus dimulai dari bagaimana anak belajar, dan
bagaimana guru mengajar, bukan dari ketentuan hasil.”
Guru harus mengambil keputusan atas
dasar penilaian yang tepat ketika siswa belum dapat membentuk kompetensi dasar
dan standar kompetensi berdasarkan interaksi yang terjadi dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus mampu menciptakan suasana
pembelajaran partisipatif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan supaya
kompetensi dasar dan standar kompetensi yang telah di rancang dapat tercapai.
Guru juga harus ditutut agar melakukan inovasi dalam segala hal yang berkaitan
dengan kompetensi yang disandangnya seperti inovasi dalam pembelajaran.
Untuk itu guru juga dituntut harus
memiliki pengetahuan yang luas mengenai jenis-jenis belajar ( multimetode dan
multimedia) dan suasana belajar yang kondusif, baik eksternal maupun internal.
Dalam model PAKEM menurut (Rusman, 2010;323); guru dituntut untuk dapat
melakukan kegiatan pembelajaran yang dapat ,elibatkan siswa melalui
partisipatif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang pada akhirnya
membuat siswa dapat menciptakan membuat karya, gagasan, pendapat, ide atas hasil
penemuannya dan usahanya sendiri, bukan dari gurunya.
1.
Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran
partisipatif yaitu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan
pembelajaran secara optimal. Pembe pembelajaranlajaran ini menitikberatkan pada
keterlibatan siswa pada kegiatan ( childcentre/student centre) bukan pada
dominasi guru dalamn materi pelajaran (teacher centre). Jadi pembelajaran akan
lebih bermakna bila siswa diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas kegiatan pembelajaran, sementara guru berperan sebagai
fasilitator dan mediator sehingga siswa mampu berperan dan berpartisipasi aktif
dalam mengaktualisasikan kemampuannya di dalam dan di luar kelas.
2.
Pembelajaran Aktif
Pembelajaran
aktif merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan aktivitas
siswa dalam mengases berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan
dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai
pengalaman yang dapat meningkatkan pemahaman dan kompetensinya. Dalam
pembelajaran aktif, guru lebih banyak memosisikan dirinya sebagai fasilitator,
yang bertugas memberikan kemudahan belajar (to facilitate of kearning) kepada
siswa. Dalam kegiatan ini siswa terlibat secara aktif dan berperan dalam proses
pembelajaran, sedamngkan guru lebih banyak memberikan arahan dan bimbingan,
serta mengatur sirkulasi dan jalannya proses pembelajaran.
3.
Pembelajaran Kreatif
Pembelajaran
kreatif merupakan proses pembelajaran yang mengharuskan guru untuk dapat
memotivasi dan memunculkan kreativitas siswa selama pembelajaran berlangsung,
dengan menggunakan beberapa metode dan strategi yang bervariasi, misalnya kerja
kelompok, bermain peran, dan pemecahan masalah. Pembelajaran kreaktif menuntut
guru untuk merangsang kreativitas siswa, baik dalam mengembangkan kecakapan
berpikir maupun dalam melakuakan suatu tindakan. Berpikir kreatif selalu
dimulai dengan berpikir kritis, yakni menemukan dan melahirkan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada atau memperbaiki sesuatu. Berpikir kritis harus
dikembangkan dalam proses pembelajaran agar siswa terbiasa mengembangkan
kreativitasnya. Pada umumnya, berpikir kreatif memiliki empat tahapan sebagi
berikut ( Mulyasa, 2006: 192), yaitu:
a. Tahapan
pertama; persiapan, yaitu proses pengumpulan informasi untuk diuji.
b. Tahap kedua; inkubasi, yaitu
suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis informasi tersebut sampai
diperoleh keyakinan bahwa hipotesis tersebut rasional.
c. Tahap ketiga; iluminasi, yaitu
suatu kondisi untuk menemukan keyakinan bahwa hipotesis tersebut benar, tepat
dan rasional
d. Tahap
keempat; verifkasi, yaitu pengujian kembali hipotesis untuk dijadikan sebuah
rekomendasi, konsep, atau teori. Siswa dikatakan kreatif apabila mampu
melakukan sesuatu yang menghasilkan sebuah kegiatan baru yang diperoleh dari
hasil berpikir kreatif dengan mewujudkannya dalam bentuk sebuah hasil karya
baru.
4.
Pembelajaran Efektif
Pembelajaran
dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan pengalaman baru kepada siswa
membentuk kompetensi siswa, serta mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin
dicapai secara optimal. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan serta mendidik
mereka dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran. Seluruh siswa
harus dilibatkan secara penuh agar bergairah dalam pembelajaran, sehingga
suasana pembelajaran betul-betul kondusif dan terarah pada tujuan dan
pembentukan kompetensi siswa.
Pembelajaran
efektif menuntut keterlibatan siswa secara aktif, karena mereka merupakan pusat
kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Siswa harus didorong untuk
menafsirkan informasi yang di sajikan oleh guru sampai informasi tersebut dapat
diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya perlu proses penukaran pikiran,
diskusi, dan perdebatan dalam rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap
materi standar yang harus dikuasai siswa.
Pembelajaran
efektif perlu didukung oleh suasana dan lingkungan belajar yang
memadai/kondusif. Oleh karena itu guru harus mampu mengelola siswa, mengelola
kegiatan pembelajaran, mengelola isi/materi pembelajaran, dan mengelola
sumber-sumber belajar. Menciptakan kelas yang efektif dengan peningkatan
efektivitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan secara parsial,melainkan
harus menyeluruh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Proses
pelaksanaan pembelajaran efektif dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:
(1) melakukan appersepsi ,
(2) melakukan eksplorasi, yaitu
memperkenalkan materi pokok dan kompetensi dasar yang akan dicapai, serta
menggunakan varuiasi metode,
(3) melakukan konsolidasi
pembelajaran, yaitu mengaktifkan siswa dalam pembentukan kompetensi siswa dan
mengaitkannya dengan kehidupan siswa,
(4) melakukan penilaian, yaitu
mengumpulkan fakta-fakta dan data/dokumen belajar siswa yang valid untuk
melakukan perbaikan program pembelajaran.
Untuk
melakukan pembelajaran yang efektif , guru harus memerhatikan beberapa hal, sebagai
berikut:
1)
pengelolaan tempat belajar,
2)
pengelolaan siswa,
3)
pengelolaan kegiatan pembelajaran,
4)
pengelolaan konten/materi pelajaran, dan
5)
pengelolaan media dan sumber belajar.
5.
Pembelajaran Menyenangkan
Pembelajaran
menyenangkan (joyfull instruction) merupakan suatu proses pembelajaran yang di
dalamnya terdapat suatu kohesi yang kuat antara guru dan siswa, tanpa ada
perasaan terpaksa atau tertekan ( not under pressure) ( Mulyasa, 2006:194).
Dengan kata lain, pembelajaran menyenangkan adalah adanya pola hubungan yang
baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru memosisikan diri
sebagai mitra belajar siswa, bahkan dalam hal tertentu tidak menutup
kemungkinan guru belajar dari siswanya. Dalam hal ini perlu diciptakan suasana
yang demokratis dan tidak ada beban, baik guru maupun siswa dalam melakukan
proses pembelajaran.
Untuk
mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan, guru harus mampu merancang
pembelajaran dengan baik, memilih materi yang tepat, serta memilih dan
mengembangkan strategi yang dapat melibatkan siswa secara optimal.
Ada empat aspek yang memengaruhi model PAKEM, yaitu pengalaman, komunikasi, interaksi, dan refkeksi. Apabila dalam suatu pembelajaran terdapat empat aspek tesebut, maka pembelajaran PAKEM terpenuhi.
Ada empat aspek yang memengaruhi model PAKEM, yaitu pengalaman, komunikasi, interaksi, dan refkeksi. Apabila dalam suatu pembelajaran terdapat empat aspek tesebut, maka pembelajaran PAKEM terpenuhi.
a.
Pengalaman
Aspek
pengalaman ini siswa di ajarkan dapat belajar mandiri. Di dalamnya terdapat
banyak cara untuk penerapannya antara lain seperti eksperimen, pengamatan,
penyelidikan , dan wawancara. Aspek pengalaman ini siswa belajar banyak melalui
berbuat dan dengan melalui pengalaman langsung.
b.
Komunikasi
Aspek
komunikasi ini dapat dilakukan dengan beberapa bentuk, mengemukakan pendapat,
peresentasi laporan, dan memajangkan hasil kerja. Kegiatan ini siswa dapat
mengungkapakan gagasan, dapat mengkonsolidasi pikirannya, mengeluarkan
gagasannya, memancing gagasan orang lain, dan membuat bangunan makna mereka
dapat diketahui oleh guru.
c.
Interaksi
Aspek
interaksi ini dapat dilakukan dengan cara interaksi, Tanya jawab, dan saling
melempar pertanyaan. Dengan hal-hal seperti itulah kesalahan makna yang
diperbuat oleh siswa-siswa berpeluang untuk terkorelasi dan makna yang
terbangun semakin mantap, sehingga dapat menyebabkan hasil belajar meningkat.
d.
Refleksi
Aspek
ini yang dilakukan adalah memikirkan kembali apa yang telah
diperbuat/dipikirkan oleh siswa selama mereka belajar. Hal ini dilakukan supaya
terdapatnya perbaikan gagasan/makna yangbtelah dikeluarkan oleh siswa dan agar
mereka tidak mengulangi kesalahan. Di sini siswa diharapkan juga dapat
menciptakan gagasan-gagasan baru.
Dari
hasil uraian model PAKEM khususnya guru, diharapkan dapat menghasilkan
pembelajaran yang berkualitas/bermutu dan menghasilkan perubahan yang
signifikan, seperti dalam peran guru di kelas, perlakuan terhadap siswa,
pertanyaan, latihan, interaksi, pengelolaan kelas serta menjadikan guru menjadi
inovatif. Model-model pembelajaran yang mendukung pembelajaran PAKEM menurut
Udin S.Saud ( Rusman, 2010:329) antara lain:
1.
Pembelajaran kuantum
2.
Pembelajaran berbasis kompetensi
3.
Pembelajaran kontekstual
Komentar
Posting Komentar